Fiction
Lelaki Pilihan [1]

19 May 2012

“Rin, orang tuaku hendak menjodohkan aku, kata Nina pada temannya, Rini, yang datang berkunjung.

Minuman yang sedang diminum Rini tumpah sebagian. “Ha? Di abad internet ini masih ada perjodohan yang diatur orang tua? Yang benar saja kamu!” kata Rini, sambil mengelap tumpahan kopinya.

“Aku sudah menduga reaksimu pasti demikian. Tapi, ini serius. Aku dijodohkan dengan seorang pengusaha,” kata Nina.

“Jadi, ini benar-benar serius?”

“Mana mungkin aku main-main untuk urusan seserius ini?”

“Soalnya, kamu sendiri kelihatannya santai-santai saja. Siapa menduga bahwa situasinya serius. Lalu, kamu sendiri suka atau tidak dengan pria itu?”

“Aku tidak bisa bilang suka atau tidak. Wajahnya saja aku tak tahu. Tapi, katanya, dia sudah pernah mengenal aku. Kata ibuku, kami sudah pernah ngobrol panjang lebar. Tapi, aku tidak ingat.”

“Lha, waktu itu kamu ngobrol tentang apa?”

“Dia datang menengok ibuku yang baru pulang haji. Kamu tahu sendiri kehidupan di kampung sebelum dan sesudah berangkat haji. Kami menerima banyak tamu. Bukan sekadar banyak, tapi buaaanyak banget. Jadi, mana aku ingat, dia itu tamu yang mana. Mana yang aku ajak ngobrol dan mana yang tidak, aku juga tak ingat. Saat itu aku hanya berperan sebagai tuan rumah yang beramah-tamah dengan tamu-tamu yang datang.”

“Hmm... berarti, saat itu dia sudah mulai tertarik padamu, dong. Kamu tidak merasa bahwa ada pria yang tertarik?”

“Tidak, tuh. Karena, saat itu mungkin dia belum tertarik padaku!”

“Lebih baik kamu jelaskan duduk perkaranya, deh. Pusing aku mendengar penjelasan yang sepotong-sepotong,” seru Rini penasaran, sambil duduk bersila.

“Dia seorang duda. Anaknya satu. Orang tuanya sudah sering menyuruh dia menikah lagi. Tapi, karena alasan kesibukan, dia tak sempat mencari jodoh. Begitulah cerita yang kudengar dari ibuku. Benar tidaknya cerita itu, aku juga tidak tahu. Sampai suatu ketika orang tuanya menawarkan untuk membantu mencarikan jodoh. Dia setuju. Kebetulan, orang tuanya sudah kenal baik dengan orang tuaku. Eh, orang tuaku langsung menawarkan aku. Kebetulan lagi, dia ingat padaku karena mengaku pernah ngobrol lama. Dia berpendapat, aku lumayan juga. Jadi, dia setuju dijodohkan. Kemudian, orang tuanya datang ke rumahku untuk melamar.”

“Apa pekerjaannya?”

“Dia pengusaha furniture rotan yang cukup sukses dan anggota DPRD di kotaku. Katanya, dia juga lulusan Universitas Kairo. Entah belajar apa di sana,” gerutu Nina, kesal. Kesal pada ibunya, kesal juga pada pria itu.

“Hmm... hebat juga dia.”

“Hei, aku ceritakan ini padamu agar kamu berada di pihakku, bukan malah memihaknya.”

“Kalau tidak setuju, kenapa kamu tak bilang pada ibumu?” tanya Rini santai, sambil menyeruput kopinya kembali.

“Sudah! Tahu sendiri jika ibuku sudah punya kemauan. Susah untuk dibelokkan. Dia malah bilang begini, “Kamu sudah sekian tahun diberi kesempatan untuk mencari jodoh sendiri. Tapi, mana hasilnya? Tak ada satu pun pria yang kamu bawa ke Bunda untuk diperkenalkan sebagai calon suami. Jadi, jangan beralasan macam-macam. Kini, giliran Bunda untuk membantumu mencarikan jodoh. Sebelum masuk ke liang kubur, Bunda ingin putriku satu-satunya menikah,” kata Nina, sambil menirukan gaya ibunya kalau marah.

“Pasti kamu tak bisa menang jika berdebat dengan ibumu. Ibumu, kan, sama kerasnya denganmu.”

“Itulah susahnya. Yang ingin aku lakukan sekarang, bertemu pria itu dan memakinya. Kenapa bikin gara-gara memintaku untuk kawin.”

“Aku jadi ingin tahu seperti apa wajah pria itu. Aku datang, ya, hari Sabtu? Nanti, aku akan berpura-pura mengambil artikel yang sudah kamu edit. Atau... aku bisa menyelamatkanmu! Aku datang menjemputmu untuk pergi dari rumah. Bilang saja, kita sudah janjian.”

“Ya, lalu kau dan aku bakal mati digantung ibuku! Tidak! Ini bukan waktu yang tepat untuk menghindari ibuku. Ibuku pasti tahu itu. Dia tak pernah bisa kubohongi. Jadi, skenariomu itu tak bakal mempan melawan ibuku.”

“Oke, aku tak akan menjemputmu. Tapi, kalau sekadar datang, boleh ‘kan? Aku bisa membantu menyuguhkan minuman, misalnya.”

“Jangan cari perkara, ah! Aku tidak ingin kau atau siapa pun datang saat itu. Nanti malah akan merusak rencanaku.”

“Kamu punya rencana apa?”

“Belum tahu, tapi sedang kupikirkan,” jawab Nina.

Rini tergelak. “Tapi, ngomong-ngomong, kamu yakin tidak ingin menikah?”

“Entahlah. Rasanya, minatku pada perkawinan makin lama makin memudar. Aku sudah merasa enak begini. Aku sudah siap secara mental maupun finansial untuk mandiri tanpa suami. Aku bahkan sudah mempersiapkan keuangan untuk masa tuaku kelak. Aku juga sudah merancang kehidupan yang akan kujalani di masa tuaku.”

“Sudah sejauh itu rencanamu? Meski begitu, apa tak sebaiknya kau lihat dulu calon suami yang disodorkan ibumu. Siapa tahu cocok.”

“Nggak akan! Tapi, aku memang harus bicara padanya. Karena, toh, menghindari ibuku juga tak ada gunanya. Dia akan terus mengejarku sampai aku menyerah. Jadi, lebih cepat kuselesaikan, lebih baik. Yang pasti, akan kumaki-maki dirinya karena telah membuat masalah,” sahut Nina, ketus.

Hari Sabtu akhirnya tiba juga. Pikiran Nina sejak pagi tak bisa tenang. Ditambah, malam sebelumnya dia tak bisa tidur memikirkan perjodohannya. Hal ini berdampak pada penampilannya. Wajahnya tak sesegar biasanya. Ada garis hitam di bawah matanya. Walau dia sudah menyapukan sedikit bedak, wajahnya tetap kelihatan tak berseri. Hai, kenapa aku mesti memusingkan penampilanku. Masa bodoh dia mau menilai bagaimana, batinnya.

Ketika ada mobil berhenti di depan rumahnya, tak urung hatinya berdebar. Dihelanya napas beberapa kali agar tenang. Seorang pria berpakaian batik lengan panjang keluar dari pintu tempat ia menyetir. Nina agak tertegun melihat wajahnya. Dengan kulit kuning langsat, ditambah mata hitam yang tajam, dan alis mata yang tebal di atasnya, bisa dibilang bukan wajah yang jelek. Bentuk tubuhnya juga sempurna untuk lelaki seusianya. Tapi, belum tentu hatinya segagah penampilannya, katanya dalam hati.

Setelah menatapnya sekilas, pria itu menganggukkan kepala, sebelum dia membukakan pintu bagi ayah dan ibunya. Cukup sopan juga, batinnya dengan kesal. Kenapa harus kesal? Karena, apa yang diharapkannya tak sesuai dengan keinginannya? Tanpa disadarinya, dia mencari-cari ‘kesalahan’ pria itu, yang sekiranya dapat dijadikan alasan kuat untuk menolak ‘tawaran’ ibunya.

“Nina, Sayang. Kau baik-baik saja, Nak?” seru ibunya demonstratif, sambil memeluknya. Wajah keriput ibunya terlihat bersinar bahagia.

“Ini anakku, Nina. Ayo, Nak, kenalan dengan masmu.” Tanpa membuang waktu, ibunya langsung menggiring anaknya pada calon menantu. Digiring seperti anak kecil begitu, membuat Nina bertambah kesal.

“Ilham,” ucap pria itu, sambil tersenyum menenangkan. Dia cukup awas melihat perubahan air muka Nina, kala ibunya menyorongnya mendekat.

“Silakan masuk,” ujar Nina formal, lalu berpaling ke arah ibunya.

Nina segera mengikuti ibunya ke belakang, sementara ayahnya menemani Ilham di ruang tamu. “Bunda, kita harus bicara lagi,” bisik Nina.

“Cakep kan pilihan Bunda?” bisik ibunya, tak menggubris Nina. “Pokoknya tak mungkin Bunda pilihkan yang mengecewakan.”

“Bunda....”

“Sudahlah, sana cepat buatkan minuman. Ayahmu dari tadi sudah kehausan,” ujarnya, membelokkan pembicaraan. Dengan menghela napas, Nina mengambil beberapa cangkir dan menyeduh teh manis. Namun, di ruang tamu ternyata hanya dijumpai Ilham, yang sedang mengamati isi rumah.

“Mana Ayah?” tanya Nina.

“Ke kamar, kelihatannya. Rumahmu sangat nyaman. Kamu ter­nyata senang pada perabot antik. Tataan yang kamu buat juga sangat cantik,” katanya, sambil memandangi isi ruangan.

                                                                                 cerita selanjutnya >>


Penulis: Indah Kunarso


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?