Fiction
Lelaki Berambut Perak [1]

30 Oct 2013


Dia masih mengingat kesukaanku.
Setidaknya itulah yang kusimpulkan ketika melihat bingkisan yang dibalut dengan pembungkus transparan dengan motif bunga-bunga kecil. Dominan warna oranye. Ada beberapa buku dari penulis kesukaanku. Ya, dia masih mengingatku. Aku mendiamkan saja bingkisan itu tergeletak di sudut teras mungilku. Sudah tidak ada waktu untuk kembali membuka pintu rumah dan meletakkannya di dalam. Taksi yang kupesan sudah menunggu, siap membawaku menuju acara reuni kecil dengan beberapa orang sahabat lamaku semasa kuliah. Sudah dua tahun sejak lulus kami jarang sekali menghabiskan waktu bersama. Inga, Rani, dan Laras. Hanya Rani yang masih sering bertemu denganku, setidaknya dua minggu sekali karena kami tinggal sekota. Apakah dia yang main ke rumah bersama anaknya, atau aku yang main ke rumahnya sambil membawakan cupcake kesukaannya atau es krim karamel kesukaan Dio, anaknya.

"Ketemuan di tempat biasa, yuk. Sabtu ini jam lima sore."
Itu pesan di BBM dari Inga tiga hari yang lalu. Semua langsung menyanggupi, termasuk aku. Jarang sekali kami bisa langsung sepakat secepat ini. Jarak memang membuat kami jarang berkumpul lengkap berempat. Inga di Bandung dan Laras di Bogor. Biasanya selalu saja ada salah satu dari kami yang sudah lebih dulu punya acara. Aku memasuki pelataran parkir sebuah kafe yang didominasi warna kesukaanku ini. Orange. Nama kafenya pun sama. Menemukan tempat ini seperti menemukan rumah kedua buatku. Selain suasana yang nyaman, makanan dan minumannya lezat. Di kafe ini juga ada perpustakaan mini dengan interior berwarna pastel yang terkesan hangat. Aku lebih menyukai area ini apabila sedang datang sendirian. Bisa memilih salah satu buku dan menikmati croissant ditemani secangkir cokelat panas.

Dan di tengah siang yang hujan, beberapa bulan lalu, saat aroma croissant yang baru disajikan di hadapanku berpadu sempurna dengan aroma cokelat, aku melihat lelaki itu. Lelaki setengah baya, mungkin pertengahan lima puluh, mungkin seusia Ayah kalau saja beliau masih ada sekarang. Meskipun sebagian rambutnya sudah mengabu, tulang wajahnya yang tegas dan hidung mancungnya pada wajah yang sudah mulai keriput itu masih meninggalkan gurat ketampanan masa mudanya. Sudah beberapa kali aku melihatnya mengunjungi kafe ini. Aku teringat pada Matt Harmon, pemeran Leroy Jethro Gibbs pada serial NCIS di salah satu saluran TV berlangganan yang saat ini sudah jarang kuikuti kelanjutan kisahnya.

Dari sudut favoritku di perpustakaan mini ini, aku melihatnya berdiri di depan teras kafe. Tampak ragu apakah akan menembus ribuan jarum bening yang ditumpahkan langit siang itu, atau kembali masuk ke  kafe dan menunggu hujan reda. Sesekali dia melirik ke pergelangan kirinya. Mungkin dia sedang terburu-buru. Aku mengambil sesuatu dari dalam tasku, kemudian beranjak meninggalkan kursiku dan menghampirinya.
“Bapak mau ke mana? Mari saya antar?”  kataku sambil membuka payung.
Aku bisa menangkap keterkejutan. Pandangan mata kami bertemu.

“Wah, terima kasih sekali. Mobil saya diparkir di seberang jalan,” ucapnya.
Suaranya masih terdengar tegas. Beberapa hari setelahnya, aku melihatnya lagi di kafe yang sama. Tapi, kali ini dia yang melihatku lebih dulu. Dia tersenyum, menghampiriku sejenak untuk mengucapkan terima kasih atas pinjaman payungku tempo hari.
Pernah sekali kami berbincang lumayan lama. Obrolan sangat mengalir, seperti dua orang yang sudah saling kenal bertahun-tahun. Mulai dari ceritanya tentang anak perempuannya yang mungkin saat ini sudah seusia aku. Aku tidak bertanya lebih jauh ke manakah anak perempuannya kini. Kemudian tentang hobinya menulis, bahkan sudah banyak tulisannya, fiksi maupun nonfiksi yang sudah mondar-mandir mengisi beberapa harian ternama.
“Suka, dan dulu pernah beberapa kali mengirim tulisan ke media, tapi belum ada yang pernah tembus, Pak,” jawabku sambil tertawa, ketika beliau menanyakan apakah aku suka menulis.

Ternyata penulis favoritnya sama dengan penulis favoritku. Tiba-tiba saja aku rindu ingin kembali menulis. Bahkan membaca buku pun aku hanya sempat ketika berkunjung ke perpustakaan mini kafe ini. Aku teringat ayahku. Beliaulah yang membuat aku mencintai buku. Tiap Minggu selalu ada buku dongeng baru yang Ayah beli untukku ketika aku masih di bangku SD. Ah, kerinduanku kepada Ayah yang berusaha kukemas sedemikian rupa dengan beragam kesibukanku di kantor mendadak berantakan.

Esok harinya aku mengunjungi makam Ayah. Kuletakkan setangkai bunga matahari yang kupotong dari pekarangan rumah di atas gundukan tanah yang sudah tiga tahun ini menjadi tempat bersemayamnya.
“Ayah, kenapa Matahari?”  tanyaku suatu hari sepulang sekolah ketika teman-teman lelakiku menggodaku dengan panggilan “Mat” dan bukannya “Riri” seperti keluargaku dan teman-temanku yang lain biasa memanggilku.
“Karena kamu cantik,” jawab Ayah, sambil tersenyum dan mengelus kepalaku.

Pada hari Minggu-nya, Ayah mengajakku pergi ke sebuah rumah pembibitan bunga. Aku terpesona dengan apa yang aku lihat. Entah berapa ratus atau malah ribu kelopak bunga matahari menyembul cantik. Ayah tidak perlu lagi menjelaskan mengapa namaku Matahari, aku sudah mengerti jawabannya. Kami pulang dengan membawa beberapa benih bunga matahari untuk ditanam di pekarangan rumah. Sekarang, ketika aku tinggal dan bekerja ratusan kilometer jauhnya dari rumah, bunga matahari tetap menghiasi pekaranganku.
Suara Jason Mraz dengan I Won’t Give Up-nya membuyarkan kenangan di benakku tepat ketika aku sudah memasuki pelataran parkir Kafe Orange. Nama Inga terbaca di layar ponselku.
“Ri, di meja biasanya, ya, pojok dekat perpustakaan. Kamu sudah sampai mana?”
“Ya, aku sudah di depan.”

Rupanya, aku yang datang terakhir. Mereka menampakkan ekspresi yang aneh, terutama Inga dan Laras. Aku melirik Rani. Dia mengedip. Ya, aku tahu pasti Rani sudah sedikit membocorkan sesuatu tentang aku.

“Sudah, deh, buang ekspresi konyol kalian. Nih….” Aku menyodorkan dua buah amplop warna putih gading, tetap dengan sentuhan warna oranye di sana. Mereka pun setengah menjerit membuka amplop yang baru kuberikan. Undangan pernikahanku, tiga minggu lagi. Bergantian mereka memeluk aku.
“Ayah pasti bahagia, Ri,” ucap Ibu, sambil mengelus kepalaku ketika Levi menghadap Ibu dan kakakku, usai dia melamarku tepat pada hari ulang tahunku, sekitar enam bulan lalu. Dua minggu kemudian, Ibu datang mengunjungi aku di Jakarta, Kangen katanya. Aku berkeras supaya aku saja yang pulang ke Surabaya, tapi Ibu berkata bahwa ada seorang teman lamanya di Jakarta yang ingin Ibu temui.
Hingga suatu sore sepulang dari kantor, aku terkejut melihat ada sedan hitam terparkir di depan rumah. Bukan mobil Levi ataupun kakakku. Aku terkejut mendapati seorang lelaki setengah baya duduk di ruang tamuku. Berbincang dengan Ibu seperti dua orang teman. Aku melirik cangkir tehnya yang baru berkurang sedikit. Mungkin belum lama Pak Surya ada di sini.

“Ini teman Ibu,” ucap Ibu, seraya menjawab pertanyaan yang terlukis di wajahku. Ibu memang sangat bisa memahami aku.
“Hai, Pak,” sapaku. Kini giliran Ibu yang bertanya-tanya. Aku pun menjelaskan bahwa kami pernah bertemu.

Seperti kataku, Ibu terlalu memahamiku. Berbeda dengan aku, yang sebagai seorang anak sering merasa gagal memahami orang tuanya. Seperti malam itu. Apa yang Ibu ceritakan tentang lelaki itu gagal kupahami, meskipun Ibu menceritakannya dengan lembut dan perlahan. Mungkin agar kata-katanya tidak ada yang melukaiku. Malam itu juga untuk pertama kalinya aku membanting pintu kamar di hadapan Ibu. Di tengah tangisku, aku bisa mendengar Ibu juga terisak. Ia masih menangis di ruang tamu ketika aku keluar dari kamar. Kami berpelukan lama, hingga akhirnya aku tertidur sepanjang malam dengan kepalaku di pangkuan Ibu. Sejak itu aku tidak pernah lagi melihat lelaki itu di perpustakaan mini Kafe Orange. Ibu juga tidak pernah lagi membahasnya.

Dan sore ini, bingkisan berwarna oranye, warna kesukaanku itu, yang berisi buku baru karya penulis kesukaanku, kesukaan kami, seakan menyadarkan aku betapa lelaki itu masih tetap saja menjadi bagian dari hidupku. Bagian dari diriku. Sekuat apa pun aku menyangkal kehadirannya dalam hidupku. Seperti malam itu.
Aku menelepon Ibu dalam perjalananku pulang dari reuni bersama teman-teman.
“Bu, tidak usah minta dia untuk jadi wali nikah Riri, ya.”
Tangis Ibu pecah. Aku mengusap air mata yang juga turut menganak sungai di pipiku, seakan merasakan keharuan yang sedang dirasakan Ibu. Selama dua puluh lima tahun mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dan tanpa syarat dari Ayah dan Ibu, meskipun tahu bahwa aku bukanlah anak kandung mereka.
“Riri yang akan minta sendiri ke Bapak.”

Lalu aku menekan 12 digit nomor milik Pak Surya yang kusimpan di ponselku ketika kami berbincang cukup lama di Kafe Orange beberapa bulan yang lalu. Meminta lelaki berambut perak itu untuk menjadi wali nikahku nanti. Karena dia adalah bapakku. Satu-satunya orang tua kandung yang masih kumiliki.(f)
 
 Pipit I. Mentari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?