Fiction
Laron Jakarta [4]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Tidak ada apa-apa. Hanya, aku mau minta tolong. Jay masih ada janji padaku. Pekerjaan sebelum dia keluar. Tapi, setelah keluar, aku tidak bisa menghubunginya lagi, mungkin nomor teleponnya ganti. Kebetulan sekali kamu ada di sini, ya, begitulah....” Uff, kalimat yang mengerikan. Tapi, keren juga.

“Mbak Nadia butuh nomor telepon Mas Jay?”

“Nggak, nggak. Maksudku, kamu tolong telepon dia, mungkin dia tidak mau bicara denganku. Jadi, tolong tanyakan saja janjinya itu.”

Ini jelas kalimat yang paling keren. Dengan begini, aku bisa tahu, benar tidak si gado-gadi ini pacarnya Jay. Hmm, pintar juga.

“Sekarang?”

“Kapan lagi?”

Aku akan tahu siapa yang berbohong kemarin. Aku berdoa, Siska tidak memiliki nomor Jay. Tapi, kulihat dia mengangkat telepon dan mulai menekan angka. Ah, paling dia pura-pura. Lalu, nanti dia katakan, tidak diangkat oleh Jay, mungkin Jay lagi sibuk. Basi.

Siska terlihat panik. Teleponnya belum diangkat juga. Aku jadi ingin tahu, siapa yang diteleponnya.

“Mas Jay....” Aku dengar suara itu keluar dari mulut Siska. Benarkah? Sayang, aku tidak bisa mendengar suara dari seberang sana.

Tapi, bisa saja dia menipu, ‘kan? Ya, biar tidak malu karena ketahuan berbohong, dia pura-pura menelepon Jay. Tapi, aku tidak akan tertipu. Aku jadi tertarik pada Siska, apakah dia tidak capek merangkai kebohongan ini?

“Tidak, tidak ada apa-apa. Apa? Kangen? Ye, Mas Jay yang nggak datang-datang, kapan datang? Nanti malam? Okelah, aku masakin ayam goreng, ya? Eh, Mas, jadi lupa, nih. Nggak, nggak begitu penting. Aku hanya mau cerita, aku punya teman sekarang. Kebetulan sekali, begitu dia tahu hubungan kita, dia langsung menanyakan janji Mas Jay sebelum keluar dari kantor ini. Kenapa? Aku percaya dengan dia, santai saja. Namanya Mbak Nadia. Memangnya janji apa, sih? Oh, begitu. Kenapa? Ya, sekarang dia di sampingku. Kenapa? Mau bicara langsung?” Siska memandangku. “Kan bagusnya langsung bicara dengan orangnya, biar selesai, tidak bagus ingkar janji.”
Aku terima gagang telepon. Darahku terbakar. Benarkah Jay yang ada di seberang sana?

“Halo....”

Tidak ada balasan. “Halo,” kataku lagi. Tetap sama. Kupandang Siska, dia juga bingung.

“Hai, Nadia.” Kudengar suara itu, benar-benar suara Jay. Aku harus tetap tenang. Siska tidak boleh tahu.

“Halo, Pak Jay, bagaimana dengan proyek yang kemarin itu? Bonus yang dijanjikan belum saya terima. Kata Pak Don, sudah Bapak pegang. Oh, gitu, baiklah, saya tunggu, ya.” Kututup telepon tanpa berusaha membalas ucapan Jay dari seberang sana.

Siska menatapku bingung.

“Eh, lupa, maaf, aku langsung menutup teleponnya,” kataku.

“Tidak apa-apa, Mbak, santai saja.”

Aku tersenyum.

“Oya, bagaimana kalau nanti malam bergabung dengan kami. Mbak Nadia bisa menanyakan langsung pada Mas Jay.”

Apa lagi ini?

“Ayolah, Mbak, kalian berdua kan orang terdekatku yang ada di kota ini. Ayolah, Mbak.”

Apa yang harus kujawab?

“Ayolah, mungkin Mas Jay juga kangen, kan sudah lama dia tidak bertemu dengan Mbak Nadia. Mas Jay kan sudah empat bulan tidak bekerja di sini lagi. Lama, ‘kan?”

Kangen karena lama tidak bertemu? Kau tahu Siska, tadi malam dia nyenyak sekali tidur di dadaku.

“Lain kali saja, ya. Aku ada janji nanti malam,” jawabku singkat.

“Benar?”

“Salam saja buat Jay, eh, Pak Jay maksudku.”

Aku kembali ke meja. Sudah kudapati kejujuran di hari ini. Lalu, apa yang harus kuharapkan untuk besok? Peperangan, perkelahian, tangis, atau apa? Ah, lihat besok sajalah.

Mengejutkan. Baru saja aku duduk, telepon di mejaku berdering. Apakah Jay? Hmm, aku tak perlu alasannya, dia sudah berbohong. Ayolah, jangan tambah lagi kebohonganmu Jay. Apakah tidak capek menciptakan kebohongan baru. Seperti kata orang bijak, satu kebohongan harus didukung seribu kebohongan baru. Sudahlah, aku tahu kau berbohong, berarti sudah cukup. Dan, aku juga sudah mendapatkan kejujuran hari ini. Jadi, aku tidak berharap mendapatkan kejujuran yang lain.

Kuangkat telepon. “Nadia, nanti malam kita jalan, yuk....” Suara wanita. Menarik juga.

“Ke mana?” tanyaku.

“Ada tempat makan baru, tadi diliput di televisi.”

“Boleh, jemput aku, ya.”

“Beres, jam setengah delapan aku sudah di rumahmu.” Dia menutup telepon.

Karen. Kami akan menghabiskan makan malam berdua. Kau tahu Karen, kemarin malam aku habiskan waktu dengan suamimu. Dan, ketika kami menghabiskan waktu berdua menikmati makanan yang dipromosikan televisi, suamimu malah menghabiskan waktunya dengan anak baru gado-gado itu.

Ah, tidak, aku tidak akan mengajak Karen untuk melabrak suaminya. Tidak dewasa. Tapi, menarik juga, aku ingin melihat wajah Jay ketika berhadapan dengan tiga wanitanya sekaligus. Tunggu dulu, bisa saja ada wanita lain. Apakah perlu kuajak sekalian saja?

Kuperhatikan rekan kerjaku yang lain, mungkinkah ada di antara mereka yang memiliki nasib sama dengan aku dan Siska. Tampaknya tidak.

Aku kembali ke meja Siska. “Alamatmu di mana, mungkin aku bisa mampir, tapi tidak janji, ya.”

Siska tertawa senang, tawa yang jujur. Secarik kertas langsung berpindah tempat. Dan, aku kembali ke mejaku.

Baiklah, kita tunggu nanti malam, ada tontonan yang menarik. Bersiaplah. Sediakan minuman dingin dan kentang gorengmu, mungkin film ini berdurasi panjang.

Karen terlambat lima belas menit. Ah, paling-paling dia beralasan kena macet. Maklumlah, Jakarta tidak mengenal waktu kalau berhubungan dengan macet. Basi, memang. Tapi, memang begitu keadaannya.

Ya, Jakarta, kota paling tabah di Indonesia. Kota yang mengajarkan warganya untuk mengelus dada, sabar, dan menerima apa saja yang didapat. Siapa bilang kalau Jakarta kota yang kejam? Ayolah, apakah ketabahan telah menjadi sesuatu yang kejam? Tidak, ‘kan? Jakarta itu kota yang budiman karena warganya selalu menjaga pengertian. Bayangkan saja, kita bisa mengerti keterlambatan janji, walau kita sedang berada di puncak kelaparan. Hebat, ‘kan.

“Maaf, Nad, biasalah, macet.”

Benar, ‘kan. Lihatlah wajah Karen, tidak ada terlihat penyesalan karena terlambat. Sedang aku, tersenyum dan menjawab, “Santai saja.” Benar-benar suatu pengertian yang tulus.

“Ayo, berangkat, aku sudah lapar, nih,” katanya.

Kau tahu Karen, aku sudah sangat lapar sebelum kau keluar rumah tadi.

Syukurnya, tempat makan itu tidak begitu jauh. Perjalanan kami hanya membutuhkan waktu tak sampai setengah jam. Kenapa aku tak tahu tempat ini? Kelihatannya menarik, tata ruangnya sangat menggoda, mereka menggabungkan gaya Eropa dan Nusantara. Lucu juga. Bayangkan saja, di sudut ruang, tepat di dekat jendela samping, ada seikat bunga tulip yang dilindungi payung Bali. Di tempat yang berlawanan, ada miniatur Menara Pisa yang bagian bawahnya bertebaran bunga melati.

Tidak itu saja, lihatlah meja di dekat kasir, ada patung David Beckham memakai koteka. Lihat juga Rumah Gadang itu, dia berada tepat di tengah-tengah replika kota Paris. Bisa bayangkan lengkung atap Rumah Gadang bersaing dengan tingginya Menara Eiffel?

Kami memilih meja yang dekat dengan bunga tulip. Dari meja ini kita bisa memandang keluar dan bisa juga melirik koteka Beckham. Aku jadi penasaran dengan menu yang disediakan. Apakah ada pizza rasa rendang, soto london, atau burger jengkol?

Ah, nasi goreng. Karen memesan nasi goreng. Ayolah, di pinggir jalan juga banyak, ‘kan. Bagaimana ini, benarkah pilihannya?


Penulis: Muram Batu




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?