Fiction
Laron Jakarta [1]

25 Sep 2011

Tak tahu mengapa, wanita itu selalu saja melirik ke arahku. Sepertinya, aku ini terlalu menarik untuknya. Ya, apa yang membuat orang lain melirik selain ia begitu menarik – terserah menarik karena bajunya ada noda, tata rias yang berlebihan, atau ada cabai di giginya. Dan, yang kurasakan adalah ketertarikannya itu pada bagian yang jelek, tidak pada kecantikan atau kepintaranku. Itu kan bahaya. Mengancam.

Setahuku namanya Siska, sarjana dari Yogyakarta. Menurut kabar yang beredar, dia pernah tinggal di Belanda selama dua tahun. Kabarnya, dia di Belanda karena mendapat beasiswa, mempelajari tulip. Orang pertanian, kok, malah kerja di bidang periklanan? Tidak sesuai, ‘kan? Makanya, ketika dia diterima sebagai salah satu pekerja di kantorku, akulah orang pertama yang menolaknya.

Apa karena penolakanku itu ia melirikku terus? Terserah….

Dan, dia lewat lagi di depanku dengan lirikan mautnya itu.

Dia masuk ke ruang manajer. Hmm, aku tahu, dia pasti mau merayu. Ayolah, orang seperti dia, apa lagi yang dia andalkan selain kecantikannya itu. Baiklah dia sarjana atau malah pernah tinggal di Belanda, tapi dia kan belum punya pengalaman di bidang ini. Jadi, dasar apa yang membuat dia bisa dipercaya untuk menggarap iklan besar itu.

Oya, Siska langsung mendapatkan proyek besar tepat setelah seminggu bekerja, bisa bayangkan itu? Siapa yang tidak curiga? Ojek payung di bawah gedung ini saja pasti curiga.

Tapi, begitulah, kantor ini sepertinya telah buta. Pria-pria di kantor ini telah mabuk. Pantang melihat yang baru dan segar.

Jangan mengatakan aku iri atau apalah, aku hanya kasihan dengan keadaan kantor sekarang. Suasana kerja sudah sangat berubah, persaingan bukan lagi pada kualitas, tapi lebih mengarah pada dekatnya pegawai dengan pimpinan. Sayang, Jay terlalu cepat keluar, seandainya dia masih memimpin kantor ini, pasti keadaannya lebih baik. Tapi, dia salah juga, kenapa memiliki istri yang cemburuan. Bayangkan saja, Jay berhenti kerja karena istrinya tahu dia ada main di kantor.

Siska belum juga keluar, aku penasaran, apa yang terjadi di dalam sana. Pintu ruangan itu tertutup rapat, aku tak bisa mengintip. Semoga saja ada kisah di sana, kisah yang dapat membuat Pak Don berhenti kerja. Ha...ha...ha..., sepengetahuanku, istri Pak Don tak kalah dengan istri Jay, sama-sama pencemburu. Atau, kulaporkan saja pada istrinya, ya?

Ah, kenapa aku jadi seperti ini? Pekerjaan menumpuk, eh, kok, malah sibuk mengurusi urusan orang. Tapi, kalau Pak Don keluar, aku kan bisa berharap akan datang manajer baru. Ya, manajer yang bisa mengubah suasana kerja. Siska tentunya akan jatuh dan sulit dapat proyek besar.

Dan, Siska keluar ruang Pak Don, menutup pintu, berbalik dan menatapku. Dia tersenyum. Aku tahu, senyumnya pasti berarti senyum kemenangan. Ya, hebat kau Siska, kau bisa mengalahkan aku, walau baru kerja tak sampai sebulan. Hebat. Salut.

Tunggu dulu, dia mendatangiku.

“Mbak Nadia, kata Pak Don....”

Ah, aku tahu. Dia pasti akan mengatakan bahwa Pak Don barusan memecatku. Dan, mejaku ini akan menjadi miliknya. Meja terbaik dan terletak di tempat paling strategis ini akan berpindah tangan.

“Mbak, bagaimana?”

Ya, ya, aku tahu kalau harus pergi. Nikmatilah keberhasilanmu!

“Semuanya terserah Mbak Nadia, kalau Mbak Nadia tidak mau juga tidak apa-apa, tapi tolong, ya....”

Sudahlah, jangan berbasa-basi lagi. Kalau mau mengusir, ya, tinggal usir saja.

“Bagaimana, Mbak? Kok, diam saja?”

Wajah Siska kini tepat di depanku, tersenyum, berjarak hanya sejengkal. “Mbak, melamun, ya?” godanya.
Bah! Apa ini.

“Yee, Mbak Nadia, diajak berbincang kerjaan, kok, malah melotot. Aku serius, Mbak. Aku lagi panik, nih.”

“Kenapa?” tanyaku, spontan.

“Kuulangi, ya, Mbak. Kata Pak Don, aku bisa minta bantuan Mbak Nadia kalau sulit mengerjakan iklan itu. Mohon petunjuknya.”

Ups, sebaiknya kubenahi mentalku dulu. Dia butuh bantuanku. Berarti, dia meletakkan posisiku di atasnya, panutannya. Aku harus jaga wibawa.

“Siapa namamu? Maaf, aku sulit mengingat nama.” Sengaja kugunakan suara yang paling berat. Aku terkekeh sendiri mendengar suaraku yang mirip penyiar RRI.

“Siska, Mbak.”

“Oh, iya, Siska. Ada apa?”

“Begini, Mbak, iklan yang ditugaskan ke aku itu ternyata memiliki tingkat kesulitan yang tidak bisa kuselesaikan sendiri. Karena itu, aku minta bantuan pada, Mbak. Tolong, ya, Mbak.”

Ha...ha...ha..., makanya, kalau belum pengalaman, jangan sok pintar. Magang dulu, lihat cara kerja senior, jangan sembarang terima proyek. Kalau jelek, kantor ini akan ditinggalkan pelanggan, ‘kan?

“Bagian yang mana?” sepertinya suaraku agak berubah ketika mengucapkan kalimat barusan. Terserahlah....

Siska berlari ke mejanya yang tak seberapa jauh dan kembali membawa berkas kerjanya, menunjukkan bagian yang belum tergarap. Kuperhatikan dengan seksama dan aku mengambil kesimpulan kalau yang dimaksud Siska itu memang sulit. Butuh waktu, butuh ide kreatif, dan butuh ilham agar mendapatkan hasil yang baik.

Aku memandang Siska dan mengeluarkan senyumku yang paling manis. “Siska, ini gampang, mana yang sulit?”

Eh, kalimatku barusan malah membuatnya tersenyum senang. Ada apa dengan anak ini.

“Jadi, Mbak Nadia, mau membantu, ‘kan?”

Aduh. Kenapa dia tidak mengerti? “Aku masih ada kerjaan. Iklan kecil memang, tapi aku kan harus profesional,” elakku.

“Ya, itu dia, Mbak. Pak Don sudah merestui kita bekerja sama.”

“Bekerja sama?”

“Ya. Proyek ini kita garap bersama.”

“Aku kan punya garapan sendiri.”

“Kata Pak Don, garapan Mbak Nadia dialihkan ke Mas Beno.”

“Apa?”

Siska diam. Langsung saja kulangkahkan kaki ke ruang Pak Don.

Pak Don sedang duduk sambil memandang komputer jinjingnya.

“Oya, Nad, bantu Siska, ya.”

“Tidak bisa begitu, Pak. Tidak bisa asal tunjuk orang, apalagi saya lagi ada kerjaan. Dan, kerjaan saya itu sudah mau selesai.”

“Sudahlah, biar si Beno yang selesaikan. Kamu tahu kan kalau si Beno itu sudah sangat lama tidak dapat kerjaan yang benar.”

“Itu karena dia tidak becus....”

“Ya, anggap saja kamu malaikatnya kali ini. Garapanmu yang hampir selesai itu kan akan membantunya mengembalikan kemampuan yang pernah ia miliki. Ya, semacam perangsang gitulah.”

Apa lagi ini?

“Nad, proyek Siska ini proyek besar. Jadi, kita harus membuat yang bagus agar mereka puas. Dan, saya anggap hanya kamu yang bisa membantu Siska.”

“Tapi, Pak...”

“Sudahlah, ada bonus besar menantimu.”

Aku keluar ruangan Pak Don dengan perasaan yang tidak menentu. Membantu Siska berarti aku berada di bawahnya, kan. Terus, kalau iklan itu sukses, yang dapat nama Siska, ‘kan.

Wanita itu masih di mejaku.

“Bagaimana, Mbak? Benar kan yang aku bilang tadi?” sambutnya.

Cerewet.

“Kapan kita mulai kerja, Mbak?” sambungnya lagi.

“Aku keluar dulu, mau merokok....”

“Aku ikut, Mbak.”

Apa lagi ini.

Aku selalu merokok di atap gedung ini. Sangat menyenangkan melihat kesumpekan Jakarta dari atas. Apalagi sambil merokok, seakan menjadi Tuhan saja. Ya, berada di atas tanpa ada yang bisa melihat, bukankah seperti Tuhan? Sayang, aku tidak sendirian sekarang. Wanita kurang ajar ini masih saja menempel.


Penulis: Muram Batu



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?