Fiction
Larasati [5]

12 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

“Serius betul? ledek Santi.

“Aku serius.”

“Jadi, kau punya rencana?” tanya Santi, tiba-tiba.

Larasati menyendok nasi gudegnya perlahan. Menikmati suapan demi suapan. Apa yang sedang kurencanakan? Benarkah aku akan menjalaninya? Ia membayangkan dirinya mulai bekerja, memiliki aktivitas untuk mengaktualisasikan diri, mendapat penghasilan sendiri, dan tidak tergantung pada Baskoro. Suatu ketika hidup harus berubah, bukan?

“Kemarin kau bilang butuh bantuanku? Apa kira-kira yang bisa kubantu untukmu?”

“Aku ingin bekerja di luar rumah. Kupikir, kaulah satu-satunya temanku yang punya banyak jaringan,” jawab Larasati, mengejutkan.

“Kenapa kau mesti bekerja, Laras?” tanya Santi, hati-hati. Ia cukup tahu bagaimana kehidupan Larasati terbentuk sejak kecil. Dan, keputusan yang diambilnya ini tentu bukan keputusan main-main bagi seorang Larasati.

“Aku ingin bahagia, Santi. Kau bisa membantuku mencari pekerjaan?”

“Jangan khawatir. Memangnya pekerjaan apa yang kau inginkan?”

“Guru.”

“Kau punya sertifikat untuk mengajar?”

“Aku punya.”

Santi memandang sahabatnya. Ia tak ingin bertanya-tanya lagi.

“Mama cantik sekali!” seru Galuh, melihat Larasati keluar dari kamarnya pagi itu dengan dandanan yang berbeda.

“Masa, sih?” tanya Larasati.

Galuh menatap mamanya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Galuh tersenyum. “Benar kan, Mbak?” Galuh menoleh pada babysitter-nya.

Baby sitter itu tersenyum, mengangguk.

Larasati memutar tubuhnya di depan cermin besar, melihat bayangannya di sana. Semalam ia pergi ke salon. Selain merawat tubuhnya, Larasati juga memotong rambutnya pendek, model bob. Ia tampak cerah dan segar dengan rambut model baru. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya Larasati memiliki rambut pendek. Rasa sesal dan berdosa akibat memotong rambut mulai terkikis dengan komentar positif dari Galuh. Pagi ini Larasati juga mengenakan baju semiresmi berwarna maroon.

“Mama seperti Bu Guru?” celoteh Galuh lagi.

Larasati memeluk putrinya. “Sekarang, Mama memang menjadi guru, Sayang.”

“Jadi, cita-cita Mama akhirnya terwujud?”

Larasati mengangguk.

“Mama akan mengajar di sekolah Galuh?”

“Tidak, Sayang. Mama mengajar di sebuah SMU.”

Galuh mengangguk-angguk. Matanya bersinar bangga melihat perubahan mamanya. Gadis cilik ini memang sudah terbiasa hidup berdua dengan Larasati. Ia jarang bertanya ke mana ayahnya pergi, meskipun tak pernah pulang.

“Apakah Galuh keberatan kalau Mama tidak sering di rumah lagi?”

“Karena Mama mengajar?”

Larasati mengangguk.

“Tidak apa-apa. Galuh dan Mbak akan menunggu Mama pulang.”

“Terima kasih, Sayang,” kata Larasati, tersendat. Dipandangnya mata Galuh dan ia terharu. “Ayo, berangkat! Kita berdua bisa terlambat sampai sekolah.”

Mereka berjalan beriringan menuju pintu. Kaki Larasati terasa ri-ngan. Bibirnya menyungging senyum. Hari baru yang luar biasa.


Awalnya Larasati tidak pernah bertanya, mengapa Santi merekomendasikan ia mengajar di sekolah itu. Sebuah SMU swasta kurang maju di pinggiran Jakarta. Sebagian besar muridnya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Dari data yang dipelajari Larasati, murid-murid di sana memiliki reputasi buruk. Gemar tawuran dan memakai narkoba. Bukankah Santi bisa mendapatkan sekolah elite di tengah kota untuknya?

“Aku sangat mengenalmu, Laras. Kau akan bahagia jika bermanfaat untuk orang lain. Di sana, potensimu sangat diperlukan.”

Larasati memahami alasan Santi. Bahkan, ia mulai jatuh cinta. Kepala sekolahnya bijaksana, teman-teman gurunya yang sederhana. Murid-muridnya nakal. Itulah yang menantang Larasati untuk melakukan sesuatu. Ya, tak sekadar mengajar pelajaran sejarah, Larasati ingin menjadi guru yang sesungguhnya dalam kehidupan anak-anak didiknya.

Terkadang, ia tertawa ketika merenungkan kehidupannya tiga bulan terakhir. Hobi sejarah, kuliah di jurusan keuangan bisnis, dan bercita-cita menjadi guru. Tetapi, kehidupannya sekarang mulai memiliki rasa. Menjadi guru dan bermanfaat untuk orang lain, bagi Larasati sangat membahagiakan hatinya. Sayang, aku baru berani memutuskan untuk bahagia sekarang.

“Setelah tawuran dan narkoba, kabar terakhir yang menimpa sekolah ini adalah gadis-gadis yang menjajakan dirinya di hotel,” suara tinggi seorang guru wanita mengagetkan lamunan Larasati.

Larasati mengalihkan pandang dari lembar jawaban ulangan di tangannya. Guru wanita berambut keriting itu menatapnya. Ru-ang guru pada jam istirahat selalu menjadi tempat bergosip yang menggairahkan. Bahkan, terkadang menjadi tempat saling mengolok yang membuat Larasati tertawa lepas.

“Tahu dari mana berita itu, Bu?” tanya seorang guru yang lain kepada pembawa berita itu.

“Masa belum tahu? Desas-desus ini sebenarnya sudah lama berembus di kalangan murid. Sekarang makin gencar setelah primadona sekolah ini terlibat.”

Larasati mengerutkan keningnya. Primadona sekolah?

“Siswi kelas dua fisika itu! Namanya Wulan!” teman guru itu makin semangat menggosip. “Sayang sekali, cantik-cantik kelakuannya minus….”

“Itu baru gosip, bukan? Belum teruji kebenarannya!” potong teman guru yang lain dari meja ujung. Seorang pria berpipi tembam dengan jambang lebat menutupi janggutnya.

“Pak Winata perlu bukti?” tantang guru wanita itu. “Anak saya dan teman-temannya melihat Wulan masuk hotel bersama pria tua.”

“Mungkin itu ayahnya, atau pamannya. Bisa saja.” Winata ngotot.

“Wali kelas memang selalu membela muridnya,” kata guru wanita itu, sambil beranjak meninggalkan ruang guru.
Terdengar Winata menghela napas panjang, lalu menggumam. “Murid sendiri digosipkan, bukannya diluruskan.”
Larasati diam, kembali menekuri lembar-lembar jawaban ulangan. Sekilas diliriknya Winata. Sejak awal masuk sekolah ini, ia merasa cocok berteman dengan Winata. Pria itu memiliki kepedulian lebih terhadap perkembangan perilaku anak-anak didiknya.

Tiba-tiba wajah cantik Wulan melintas di mata Larasati. Benarkah kehidupan telah merenggut masa depan gadis muda yang seharusnya memiliki masa depan cemerlang itu?

Tujuh belas tahun! Ya, Baskoro akan tinggal di balik terali besi itu selama tujuh belas tahun.

Larasati memalingkan wajah dari foto besar di dinding kamarnya. Fotonya bersama Baskoro saat bulan madu. Mereka tersenyum di depan Menara Eiffel. Ia tak pernah suka foto keluarga, karena sebagian besar menyimpan dusta. Semua memamerkan senyum terindah, sementara hatinya menyimpan nganga luka. Jam menunjukkan pukul 12 malam. Larasati menggerakkan jari jemarinya yang lentik untuk menghitung detak jam.

…tiga, empat, lima, enam, tujuh….

Apakah aku akan terus menghitung detak jam itu selama tujuh belas tahun? Apakah ada bedanya Baskoro berada dalam penjara atau di luar penjara? Apa sebenarnya makna istri bagi Baskoro? Wanita yang harus ada dan bersedia ketika ia menginginkannya? Wanita pajangan yang selalu menunggu kepulangannya ketika ia pergi bersama wanita lain? Dan, hanya untuk itukah aku hidup? Tidakkah aku bisa melakukan sesuatu untuk lepas dari kebosanan menghitung detak jam?

Larasati menghentikan gerakan jarinya yang terus menghitung detak jam. Dadanya mendadak berdebar kencang. Ia bangkit dari pembaringan, berjalan mondar-mandir mengitari ruang kamar. Makhluk dalam tubuhnya kembali menggeliat lembut. Larasati meraih ponsel yang tergeletak di meja rias. Dipencetnya nomor Santi. Setelah pertemuan di Kafe Randezvous beberapa bulan lalu, mereka kembali berteman dekat. Sering pergi bersama dan selalu kontak lewat telepon.

“Tumben malam-malam menelepon?” suara di seberang terdengar bening. Larasati yakin si empunya suara belum tidur.

“Aku ingin mengganggumu, insomniaku kambuh.”

“Wah, sama.” Santi tertawa. “Tapi, ada apa, Laras?”

“Apa pendapatmu kalau aku bercerai?” kata Larasati langsung, tanpa basa-basi.

“Hah! Ngomong apa, sih?” Santi kaget.

“Selama ini aku tidak pernah tahu tujuan hidupku sesungguhnya.”

“Dan sekarang kau sudah tahu?” tanya Santi.

Larasati mendesah. “Hampir. Lagi pula, setiap orang berhak untuk bahagia, ’kan?”

“Tapi, kau juga harus memikirkan Galuh….”

Tawa Larasati pecah. “Kau pikir Galuh peduli papanya pulang atau tidak? Sebenarnya akulah papa dan mama Galuh di mana pun. Baskoro hanya tertera di rapor sekolah dan akta kelahirannya.”


Penulis: Tary


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?