Fiction
Lama Fa [5]

14 May 2012


Keesokan harinya, ditemani oleh Marten, Linda pergi ke Wulandoni. Wulandoni adalah nama sebuah pusat keramaian di Lamalera. Jaraknya hanya setengah jam dengan berjalan kaki. Semua transaksi jual-beli di Lamalera biasanya dilakukan di sini. Hampir semua barang kebutuhan penduduk Lamalera tersedia di sini. Mulai dari semen, daging, sayur-sayuran, hingga pakaian.


“Di mana kita bisa menemukan orang ini?” tanya Linda.

Marten tertawa. “Kita bisa bertanya, ‘kan?”

“Aku tahu. Karena itu, tadi aku bertanya padamu!” Linda ikut tertawa.

“Wah, kalau begitu, kau bertanya pada orang yang salah!” 

Marten celingak-celinguk. “Sebaiknya, kita mulai bertanya pada wanita itu!”

Marten menghampiri seorang wanita muda yang tengah berjalan, “Permisi, Nona, di daerah ini apakah ada yang bernama Ikke Mabengke?”

Wanita itu menggeleng yakin. Kemudian, jawaban yang sama pun mereka dapatkan pada tujuh orang yang sempat mereka tanya. Marten dan Linda nyaris putus asa. Namun, pada orang kedelapan, seorang ibu penjual minuman, respons yang didapat jauh berbeda. 

Ia tampak begitu terkejut. Matanya membulat dan suaranya terdengar sangat keras, “Mau apa kau cari wanita setan itu, heh?” Setelah berkata demikian, ia masuk ke dalam rumahnya, sambil membanting pintu.

Marten dan Linda terkejut mendapat perlakuan seperti itu. “Sepertinya, orang yang kita cari adalah orang yang bermasalah di sini, Linda!”

Linda mengangguk. “Tapi, setidaknya, sudah ada yang mengenalnya. Berarti, kita bisa mencari di sekitar sini saja!”
Seorang wanita melewati mereka. Marten segera menanyakan hal yang sama. Namun, reaksinya hampir sama dengan wanita kedelapan tadi.

“Sepertinya, ia benar-benar bermasalah, Linda!” Marten berkomentar.

Linda kembali mengangguk. “Dan, sepertinya, kita juga harus mengganti cara kita bertanya, Marten.”

Marten mengerutkan kening. Bersamaan dengan itu, seorang pria berumur kira-kira 30 tahun melintas. 

“Maaf, Pak,” Linda mendekatinya, “kami sedang mencari seseorang karena ingin menyampaikan sebuah pesan penting. Tapi, mengapa orang-orang di sini seolah membenci dia?”

Pria itu mengerutkan kening. “Memangnya, siapa yang kau cari, Nona?”

“Namanya Ikke Mabengke.”

Sedikit ada sinar kaget di wajah pria itu.

“Ada apa dengan orang bernama Ikke Mabengke itu, Pak?”

Pria itu seketika terlihat tak tenang. “Dia wanita dari sana!”

Ia menunjuk ke sebuah tempat. Linda dan Marten berpaling ke arah yang ditunjuk. Itu hanya sebuah gang, yang sepertinya selalu dijaga oleh beberapa orang berbadan besar. Dari desas-desus di sekitar tempat itu, mereka menyebut tempat itu Dosana, atau sebuah tempat yang berdosa. Karena, tempat itu merupakan tempat judi terbesar di Wulandoni. Tempat judi yang selalu dipenuhi oleh wanita-wanita nakal.

Linda dan Marten kembali ke Lamalera dengan tangan hampa.

“Beta harus tetap ke sana, Marten.”

“Beta tahu, Linda! Tapi…,” Marten menghentikan kalimatnya sebentar, “sepertinya, sulit untuk masuk ke sana? Kau lihat sendiri kan, ketika kita mendekat saja, wajah orang-orang di mulut gang itu seperti menelanjangi kita.”

“Tapi, pasti ada cara untuk masuk ke sana, Marten!” Linda berkeras. “Kita bisa berpura-pura akan berjudi atau….”
“Tidak semudah itu, Linda!” Marten memotong. “Orang-orang yang datang ke situ adalah orang-orang yang sudah biasa. Ketika muka baru datang, seperti kita, kita akan diinterogasi habis-habisan.”

“Tapi…,” Linda kehabisan kata-kata.

Keduanya terdiam.

“Tapi, mungkin ada satu cara agar kita bisa ke sana, Linda,” kata Marten, dengan suara pelan. 

Beta su lalaiii, beta su lalaiii….
Kamari du sini, lalaiii….

Sore harinya, sambil bernyanyi-nyanyi kecil, Linda berjalan ke tepi pantai. Di sana dilihatnya Paman Dominggus sedang membersihkan pledang. Biasanya, secara berkala pledang memang harus diperiksa. Bisa saja ada sesuatu yang perlu diganti atau diperbaiki.

“Paman, beta ingin meminjam pledang.”

Paman Dominggus tertawa. “Paman yakin, kau akan melakukan ini, Linda. Berlatih dengan sampan sangat berbeda dengan pledang. Bawalah pledang ini. Kebetulan, sudah Paman periksa. Biar Paman menemanimu.”

“Biar beta saja, Dominggus!” Tiba-tiba Paman Fotu sudah muncul di situ.

“Ah, Paman Fotu,” mata Linda berbinar, “beta tak melihat Paman datang. Beta hanya akan berlatih.”

“Bagus, dan kau akan membutuhkan lama uri di belakangmu kan, Linda?”

Linda tersenyum. Mereka berdua mendorong pledang, lalu Paman Fotu mulai mendayung pledang ke tengah laut.

“Paman, sebenarnya kemarin beta ke rumah Paman.”

“Magda sempat bilang begitu. Ada apa kau mencariku?”

“Beta….” Sebenarnya, Linda akan menceritakan tentang surat kedua itu. Tapi, tiba-tiba pledang dihantam ombak besar, membuat posisinya bergerak tak beraturan. Saat itulah Linda merasa, ini bukan waktu yang tepat untuk bercerita.

Pledang tiba-tiba berayun tak terkendali. Linda memegang tepinya dengan keras.

“Sepertinya, ombak begitu keras, Linda! Mungkinkah ada kawanan lumba-lumba yang datang?”

Linda membuang pandangannya, mengitari sekeliling. Selain koteklama, lumba-lumba juga kerap terlihat di perairan Sabu ini. Biasanya, mereka datang ratusan. Tak jarang beberapa penduduk juga berburu ikan ini.

“Sepertinya, hanya angin kencang, Paman.” 

Beberapa saat Linda menunggu, tapi tak melihat apa-apa.

Paman mengangguk-angguk. “Sebaiknya, kau kembali ke niat awalmu, Linda. Inilah waktu yang tepat untuk berlatih.”

Linda mengangguk. Ia bangkit, sambil mengacungkan tempuling-nya.

“Oh, hampir lupa,” Paman Fotu menahan gerakan Linda, “apa yang tadi ingin kau bicarakan pada Paman, Linda?”

“Tidak ada, Paman!” Linda berniat menunda pembicaraan ini. Di ujung pledang itu, darahnya berdesir dan jantungnya berdetak makin kencang. Sensasi inilah yang selalu dirasakannya setiap berada di ujung pledang dengan tempuling di tangan.

Sesaat angin menerpa rambutnya yang ikal. Linda melihat seekor koteklama datang. Ia melompat dan melepaskan tempuling ke laut.


                                                              cerita selanjutnya >>


Penulis: Yudhi Herwibowo
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2005




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?