Fiction
Lama Fa [2]

14 May 2012


“Koteklama kali ini besar sekali, Linda! Tiba-tiba di samping Linda muncul Paman Fotu Atakei, sahabat Papa Ora. Ia biasanya menjadi lama uri, orang yang mengendalikan pledang.

“Paman?” Linda tersenyum, “dari tadi, sepertinya beta belum melihat Paman.”

“Kau terlalu sedih untuk melihat wajah tua ini, Linda!” Paman Fotu memeluk Linda. Ia sudah sangat mengenal keluarga Bataona, terutama Linda, yang sejak kecil sudah sering digendongnya.

“Linda,” ia mencubit pipi Linda, seakan-akan Linda gadis 10 tahun. “Kini, kau tampak sudah dewasa!”

“Paman, sejak terakhir kali Paman lihat beta, saat kita memburu koteklama sebelum beta pergi, beta sudah sebesar ini. Beta tak bisa bertambah tinggi lagi!”

Paman Fotu tertawa. Tawanya khas, sepertinya begitu lepas. Sejak dulu Linda senang mendengarnya. Ia bahkan pernah meminta diajari cara tertawa seperti itu.

Paman Fotu mengajak Linda ke tepi jendela.

“Linda,” ujarnya pelan, seperti tak ingin ada yang mendengar.

“Ada apa, Paman?”

“Mungkin, beberapa hari lagi, tetua adat akan datang ke sini.”

Linda mengerutkan kening, tak mengerti.

“Mereka akan mengangkatmu menjadi lama fa!”

Linda terkejut. Sebenarnya, ia tahu tradisi ini. Seorang lama fa yang meninggal akan digantikan oleh anaknya. Turun-temurun, tradisi ini sudah ada di Lamalera. Tapi, bagaimana mungkin tradisi ini menimpa dirinya? Ia seorang wanita. Dan, selama ini tak pernah ada seorang wanita yang menjadi lama fa?

Linda terdiam sesaat. “Tapi, Paman, beta.…”

“Tak perlu kau pikirkan sekarang. Paman hanya sekadar memberi tahumu, agar bila mereka datang, kau tidak kaget.”

Linda menerawang. Mendadak ia teringat Papa Ora. Apakah Papa Ora menginginkannya menjadi lama fa? Pertanyaan yang sejak dulu sering ada dalam pikirannya, kembali muncul. Tapi, Linda hanya bisa menggantung pertanyaannya itu. Ia benar-benar tak tahu jawabannya. 

Papa Ora tak pernah mengucapkan kalimat itu. Tapi, mengapa Papa Ora selalu mengajaknya ke laut? Ia yang pertama kali melemparnya ke laut dari tebing itu. Membiarkan dirinya berteriak-teriak panik. Tapi, itulah cara Papa Ora mengajarkannya berenang untuk pertama kalinya. Ia juga yang kerap menyuruh Linda menyelam, mencari bintang laut yang ada di dasar laut. Atau, meminta bantuan mengasahkan pisau tempuling (senjata berburu koteklama, terbuat dari galah bambu), mengikat tali di tempuling, dan mengajari cara menggunakan tempuling itu saat menikam koteklama.

Sebelum kepergiannya ke Flores, sebulan penuh Papa Ora mengajaknya berburu koteklama. Awalnya, ia hanya menjadi matros (pendayung). Lama-kelamaan ia menjadi breung alep (pembantu lama fa), yang biasanya mengurus tali tempuling agar tidak kusut.

Semuanya seperti begitu jelas bagi Linda. Namun, ia buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh, ia masih ragu. Mungkin, itu hanya cara Papa Ora menunjukkan pekerjaannya pada anak tunggalnya ini, sama sekali bukan ingin mengajarinya. Karena, bukankah Papa Ora juga yang menyuruhnya untuk pergi ke Flores dan bekerja di sana?

Ketika Linda hendak merebahkan diri di pembaringan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pintu yang berdebam. Seperti ada sesuatu yang dilemparkan ke dalam rumah. 

Linda menyibak jendela. Cahaya lampu yang masih menyala menjadi penerangan di kamarnya. Dari balik jendela dilihatnya bayangan seseorang berlari di halaman.

Cepat-cepat Linda berlari ke luar kamarnya. Mamae Tipa juga muncul dari kamar.

“Ada apa, Linda?” tanyanya.

“Tak tahu, Mamae!” Linda membuka pintu depan. “Tadi, sepertinya, ada orang yang melempar sesuatu ke pintu!”
Mereka membuka pintu. Cahaya bulan menerangi teras rumah yang gelap. Di situ, di depan pintu, terlihat sebuah gulungan kertas, yang diikatkan pada batu.

Linda memungut gulungan kertas itu, dan membukanya. Di keremangan cahaya, Linda masih dapat membaca 3 kata yang tertulis jelas di kertas itu.

“Ora Bataona dibunuh!”

Marten Kia Keraf adalah sahabat Linda sejak kecil. Ia seumur dengan Linda. Rumah keduanya tak begitu jauh. Jadi, keduanya sering bermain bersama. Bahkan, dulu, keduanya pernah satu sekolah di SMP Santo Yoseph.
Perawakan Marten terbilang kecil, bila dibandingkan dengan anak-anak seumurnya. Tingginya tidak terpaut jauh dari Linda. Rambutnya ikal dan kulitnya gelap. Namun, ia pelari yang tangguh. Umumnya, anak-anak Lamalera, selain menjadi perenang yang andal, adalah pelari-pelari yang tangguh. Mungkin, karena terbiasa berlari di bukit-bukit berpasir, mereka tak mengalami kesulitan bila harus berlari di jalan biasa.

Sudah blama Linda tak bertemu dengannya. Maka, pada hari keduanya di Lamalera, ia segera pergi ke rumah Marten.

Marten ditemui oleh Linda di rumahnya. Ia tengah menjahit jaring ikan yang sobek.

“Linda?” Ia langsung menyambut Linda dengan gembira.

“Halo, Marten!”

Marten menjabat tangan Linda dengan erat. “Beta turut berdukacita atas perginya Papa Ora!”

Linda hanya mengangguk.

Pagi itu tepi Pantai Lamalera begitu berangin. Dari jauh terlihat beberapa orang pengumpul kerang di tepi pantai, berjalan berjejer. Di sudut lainnya terlihat anak-anak berlari ke sana kemari, di antara tumpukan tulang-tulang raksasa koteklama.

“Kau sibuk, Marten?” tanya Linda. 

“Ya, seperti inilah kegiatanku setiap hari,” kata Marten, tertawa, “sudah sebulan ini tak ada orang yang memesan pledang.”

Keluarga Kia Keraf sudah secara turun-temurun terkenal sebagai keluarga amatolo atau keluarga pembuat pledang atau kapal pemburu koteklama. Dan, sudah setahun terakhir ini Marten menggantikan ayahnya mengurus pembuatan pledang. Di Lamalera, kedudukan keluarga amatolo sangat terhormat. Karena, tak lebih dari 5 orang amatolo yang tersisa di Lamalera. Bila tidak sedang membuat pledang, biasanya Marten menangkap ikan-ikan kecil untuk dijualnya di Pasar Wulandoni.

“Bagaimana tangkapanmu hari ini?” Linda bertanya.

“Lumayan, tadi pagi beta baru menyetorkan satu keranjang.”

“Ah, sayang, beta tak ke sini pagi ini. Mungkin, ada lempulang!” Linda menyebutkan jenis ikan kecil yang ekornya berwarna-warni, yang kerap ada di antara ikan-ikan kembung dan tongkol tangkapan nelayan. Dulu, ia sering mengambil ikan itu untuk ditaruh di dalam stoples.

“Sekarang, entah mengapa, jarang sekali ada lempulang, Linda.” Marten menerawang.

“Mengapa?”

Marten hanya mengangkat bahu.

“Sebenarnya, semalam beta berniat ke sini pagi-pagi, Marten. Tapi, tadi beta bangun siang sekali.”

“Kau pasti lelah. Perjalanan dari Flores sangat jauh.”

Linda mengangguk-angguk. “Berarti, sekarang ini kau tidak terlalu sibuk kan, Marten?”

“Tidak juga.” 

“Kau mau menemaniku ke tebing?” tanya Linda. 

Tebing yang dimaksud adalah sebuah tebing kecil yang bisa memperlihatkan seluruh Pantai Lamalera dengan jelas. Sejak dulu Linda dan Marten, serta anak-anak Lamalera lainnya, sering menghabiskan waktu di situ. Linda bahkan kerap meloncat dari tebing itu ke laut. Jaraknya memang tidak terlalu tinggi. Mungkin, hanya sekitar 5 meter. Kalau Linda terjun, Marten akan segera ikut terjun. Sebenarnya, Marten tidak terlalu menyukai kegiatan itu. Ia memang bukan dari keluarga pemburu koteklama. Tapi, ia perenang yang cukup andal. Ia bisa berenang dari ujung tebing ke tempat pledang-pledang-nya biasa diikat. Itu lumayan jauh. Mungkin, bisa mencapai ratusan meter. Sayangnya, Marten tak begitu pandai menyelam.

Keduanya pergi ke tebing itu. Keadaan tebing masih tak berubah. Seperti saat terakhir kali ditinggal Linda.

“Masih indah, ya?” Linda merentangkan kedua tangannya. “Anginnya juga masih selembut dulu.” Linda memejamkan matanya menikmati angin menerpanya.

Marten berada di sebelahnya. “Sebenarnya, sejak kau tak ada di sini, beta jadi jarang ke sini, Linda.”

“Kenapa?”

“Entahlah, sepertinya tidak enak saja ke sini tanpa kau.…”

Linda tersenyum. “Kau bisa ke sini dengan anak-anak lain, ’kan?”

Marten tertawa. “Linda, Linda, sekarang yang kerap ke sini itu anak-anak. Orang seumuran kita tak ada yang ke sini lagi.”

Linda duduk di sebuah batu besar. “Marten, sebenarnya, beta mengajakmu ke sini karena ada yang ingin beta ceritakan. Semalam ada yang menulis surat pada kami. Surat itu berisi tulisan bahwa Papa Ora meninggal karena dibunuh.”

“Apa?” Marten mengangkat alisnya. “Tapi, bagaimana mungkin ada yang mengirim surat seperti itu?”

“Ia melemparkannya ke pintu, dengan diikat batu.”

“Siapa?”

“Mana kami tahu?” Linda hanya mengangkat bahu. ”Surat itu hanya berisi kalimat: Ora Bataona dibunuh! Itu saja.”

“Tapi, bukankah sudah jelas bahwa ada seekor koteklama besar yang menghantam Papa Ora?”
Linda tak menyahut. Pertanyaan Marten ini sama seperti pertanyaan yang muncul di benaknya. Ya, siapa yang berkepentingan membunuh Papa Ora? 

“Dan, ada satu lagi, Marten,” lanjut Linda, setelah beberapa saat diam. “Mungkin, tetua adat ingin meminta beta menjadi lama fa?”

“Apa?” Marten terlihat sangat kaget. ”Tapi.…”

“Ah, sudahlah.” Linda tiba-tiba bangkit, “Semua itu juga menjadi pertanyaan buat beta. Beta jadi malas bicara soal ini lagi!”

“Tapi, Linda, bagaimana….”

Linda tak menanggapinya. Ia sudah berjalan ke tepi tebing.

“Beta rindu meluncur ke sana, Marten!” Ia melihat ke arah bawah. Ombak di bawah memang tidak terlalu kuat. Karena, tak jauh dari tebing ada karang panjang yang menjadi pembatas. Di situlah ombak besar pertama kalinya terempas.

“Sudahlah, Linda,” Marten berusaha mencegah, “kau sudah bukan anak-anak lagi.”

Linda menoleh sebentar, tersenyum. Lalu, dengan gerakan cepat, ia meluncur ke bawah…. 


                                                     cerita selanjutnya >>


Penulis: Yudhi Herwibowo
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?