Fiction
Laki-laki Dari Langit [1]

22 Jul 2013



Dia datang dari kota bintang. Lihatlah, di sudut matanya masih menyisa kerlip yang semalam ia intip. Rambutnya terlampau panjang untuk ukuran lazim laki-laki, diikat sembarang. Dan kacamata itu, lantang ceritakan berapa ratus buku yang telah dilahapnya. Ini kali keenam aku berpapasan dengannya. Melangkah sendirian di antara hamparan kebun teh.

Angin kemarau tetap terasa sejuk di sini. Sendu dalam telikung perbukitan. Dingin menusuk kulit. Aku menutup ritsleting jaket hingga semua geriginya terkait. Lalu kubebatkan lagi syal yang melilit leher. Seorang diri melangkah menapaki jalanan aspal hitam. Di kanan-kiri tetumbuhan teh mengilat segar. Basah oleh embun yang turun semalam.

Pagi itu, untuk pertama kali aku berpapasan dengannya di jalan ini. Baik aku atau dia hanya saling lihat laiknya bertemu dengan banyak orang tak kukenal di sepanjang jalan yang kulintasi. Tiap pagi, saat aku berjalan untuk menghirup udara segar sambil mengamati perempuan-perempuan pemetik teh, aku bertemu dengannya, tepat di jalan kecil ini. Ia berjalan bertarung arah denganku. Lalu pada esoknya dan esok berikutnya, mata kami mulai berani saling sapa.

Hari ini aku keluar dari penginapan lebih pagi dari biasa. Demi bisa lebih lama aku menghirup segarnya udara, dan memetik daun teh untuk sampel, yang akan kucoba fermentasikan siang nanti.

Aku berjalan ringan menuju arah matahari. Lalu berhenti, menghadap sisi kiri dan mencermati hamparan hijau daun teh itu. Aku dihela oleh semilir angin yang membawa harum wangi daun lalu   menajamkan hidungku untuk mengendusnya. Hidung yang dibayar sebuah perusahaan untuk membaui cita rasa pucuk daun, yang bila diseduh berasa mantap bak mencecap air surga.

Aku melangkah menapaki pematang kira-kira dua meter dari bahu jalan. Kupetik sepucuk, kucium baunya, aromanya merasuk otak dan menenangkan. Aku terus menghirup, menghirup sambil kupejam mata. Beberapa menit lalu kusimpulkan, aroma teh ini beda. Hmm…  bau pahit bersemu wangi ilalang di pergantian musim. Aku puas.
Manakala aku membuka mata kembali, astaga… aku kaget bukan main! Laki-laki itu berdiri di sana. Ia memperhatikanku. Aku gugup, malu setengah mati. Kepalang tanggung jika mau bersikap cuek saja. Pada simpang-siur perasaan itu, ia sudah melangkah menyusulku menapaki pematang.

“Hai…,” ia menyapa. Tepat saat itu aku menatapnya lebih lama dari hari-hari sebelumnya. Cokelat kelam. Hatiku langsung menyimpulkan mata itu seperti musim dingin. Indah, namun juga menggigilkan.
“Hai…,” sapaku balik.
Ia tersenyum, sangkaku ia akan mengulurkan tangan menawarkan jabat, tetapi aku keliru. Ia bertahan dengan dua tangan disimpan di saku jaketnya. Ia menutup jalan untuk aku keluar dari pematang hamparan kebun teh ini. Hingga beberapa menit, kami masih di ordinat yang sama.
“Kau penyuka wangi teh?” ia bertanya sambil mengeluarkan tangan kanan dari saku jaket, lalu memetik sepucuk di hadapanku,  membawanya ke  dekat hidungnya. Jemarinya indah untuk ukuran laki-laki, dan oh… cincin polos yang ia kenakan itu. Khas. Menjadi meterai dan penanda teritorial yang terbatasi.  
“Ya, begitulah…,” kataku. “Bahkan, hanya untuk itu aku berada di tempat ini.”
“Oh, ya? Hanya untuk mencium wangi daun teh?”
Aku mengangguk. Ia tertawa, matanya bercahaya. Entah heran atau terpesona, aku kurang memahami.
“Unik sekali hobimu.”
“Bukan sekadar hobi,” sanggahku cepat. “Aku bekerja.”
Ia terbelalak.
“Enak bener kerjaan-mu! Cuma cium-cium.”
Mau tak mau aku tersipu.
“Setidaknya ada yang aku kerjakan. Sedangkan kamu?” aku mulai kurang ajar.
“Apa yang kamu tahu tentang aku?”
“Hanya jalan-jalan  tiap pagi!”
Ia tertawa. Berderai-derai tawa itu hingga menggetarkan pucuk-pucuk teh. Aku suka mendengar tawanya. Tanpa sadar aku telah menyodorkan kebodohanku di depan hidungnya.
“Yah! Terlalu sayang udara bersih segar ini kulewatkan, setelah semalaman aku berburu.” Ia berkata tanpa merendahkanku dan mata itu tak mempermalukanku bahwa aku memperhatikannya tiap kami bertemu.
“Berburu apa?”
“Sama sepertimu. Kamu memburu harum wangi daun-daun teh. Aku berburu pergerakan bintang-bintang di gedung itu.”
Aku memutar kepala. Di kejauhan gedung beratap bulat bercat putih menyembul mencolok. Observatorium Bosscha.
Aku belum pernah ke sana. Manakala aku menduga-duga seperti apa ruang-ruang di gedung yang menyimpan benda-benda penculik indahnya langit itu, ia menyapukan di hidungku selembar daun yang ia petik tadi. Secepat aku menoleh sambil menangkap pergelangan tangannya.
“Ayo, jalan ke sana!” ia memerintahku untuk mengarah ke tengah. Tentu saja! Jalan keluar menuju jalan utama sudah ditutup dengan tubuhnya yang tegap itu. Lalu kami melangkah dengan diam. Di depanku pematang bersimpang. Aku mengambil ke kanan, mendekat ke arah jalan utama.
“Apakah kamu bekerja di pusahaan teh?”
“Begitulah!”
“Kamu bisa meramu teh?”
“Begitulah!”
“Kamu tahu khasiat teh?”
“Begitulah!”    
“Aku ingin menukar bintangku dengan secangkir teh yang kau ramu.”
Aku berbalik seratus delapan puluh derajat, berdiri tepat di hadapannya. Ia bergeming. Lalu aku membalikkan badan dan berjalan lagi.
“Aku punya satu bintang yang kusimpan di langit.”
“Kamu punya sertifikat kepemilikan?” Ia nyengir.
“Bagaimana bisa kamu mengklaim bahwa bintang itu milikmu?”
Ia mengangkat bahu. Entahlah, mengapa rasanya aku sudah mengenal begitu lama, sehingga kata-kata mengalir tanpa penghalang.
“Nanti malam bulan mati. Langit kemarau cerah tanpa awan. Langit akan sangat gelap. Tetapi justru tepat saat itu, aku bisa dengan puas menemui dan berbincang dengan bintangku.”
Kupikir ia laki-laki gila.
“Oh, ya, siapa namamu?”
Aku terkejut menyadari, bahkan masing-masing kami belum tahu nama.
“Rhea.”
“Astaga!” katanya setengah berteriak di belakangku. Aku bingung apa yang membuatnya heboh seperti itu. Tiba-tiba kurasakan tangannya mencengkeram lenganku. “Pantas, rasanya aku pernah bertemu kamu!”
“Apa?!” semprotku dengan keyakinan penuh bahwa aku tak mengenalnya sebelum ini. Tetapi ia menatapku serius.
“Ya! Aku melihatmu di langit!”
Aku mencibir.
            Lalu pada malamnya, aku menjadi tamu di gedung beratap bulat itu. Ia kenalkan aku pada dua rekannya dan petugas yang berjaga.
    “Mau kukenalkan dia pada Andromeda dan Bimasakti,” katanya, sambil menenteng-nenteng lenganku menuju benda aneh.
“Ini Refraktor Ganda Zeiss. Akan membantu penglihatanmu mengamati langit.”
Ia sudah mulai memindai-mindai saat mataku masih berkeliaran mengamati  tiap sudut ruang. Setumpuk buku-buku di atas bangku. Lalu serakan kertas dan sebuah tas tampak bernas. Lalu ia mempersilakan aku mendekat pada lensa.
“Oh, dahsyat sekali! Amat dahsyat.”
Aku menolehnya sebentar, ia tersenyum. Lalu aku kembali memandangi kota bintang yang amboi indahnya. Luas, bintik-bintik sekilau intan permata. Ia mengambil alih, lalu memindai lagi.
“Kau mau aku petikkan satu untukmu? Lalu kupasang di rambutmu?” ia berkata nyaris berbisik tanpa melihatku. Aku menangkap pesonanya luar biasa. Tangan dengan jari bercincin itu masih mencari-cari objek. Seperti apakah perempuan yang menjadi istrinya? Atau tunangannya? Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.
“Lihat di sana! Itu kamu!” katanya, sambil menarikku agar aku mengintai langit. “Kamu adalah salah satu satelit alam yang mengelilingi Saturnus si planet indah bercincin. Ada lima satelit yang mengelilingi Saturnus: Mimas, Titan, Dione, Lapesus dan kamu: Rhea.” Oh, memang aku pernah mendengar namaku seperti nama benda langit. Kini aku bukan hanya mendengar, tetapi melihat. Sebintik kecil, tenang melayang, itulah aku: Rhea!
“Lalu mana bintangmu?” tanyaku, masih menempelkan mata di mulut teropong.
“Berjanjilah, kamu akan menukarnya dengan secangkir teh yang kamu ramu. Aku akan tunjukkan bintang milikku.”
Aku memonyongkan bibir.  Ia menatapku dalam, aku curiga ia akan bertindak kurang ajar dengan menyuri cium pipiku. Tetapi tidak. Ia tak melakukannya. Ia mengambil alih teropong, memindai objek, lalu meraih bahuku agar mendekat. “Perhatikan. Ada setitik paling cemerlang. Kenalkan. Itu bintangku. Bintang Rigel. Bintang paling cemerlang di Rasi Orion.”
“Kau suka?”
Aku mengangguk yakin. Aku merasa tubuhku menyusut lalu masuk melalui lobang teropong, dan melesat terbang di langit sana menyapa bintang-bintang. Aku menari di antara Ursa Mayor dan Waluku. Syall-ku sudah menjadi selendang untuk menari di antara nebula-nebula.
Lalu bergantian di mataku pemandangan itu berubah dari hamparan kebun teh dan hamparan kota bintang. Tetapi, yang menyelinap di kepalaku justru Karel Albert Rudolf Bosscha, pemilik perkebunan teh pada abad ke-19, sang perintis pembangunan observatorium ini, tempat laki-laki itu menemui bintang-bintangnya.
“Itu bintangku. Bintang Rigelku. Seperti nama anak perempuanku.”
Seketika aku tersedot, lalu terpental kembali ke bumi. Kubenahi syalku. Lalu bintang itu terlepas satu-satu.
                                                        ***

Dan pagi ini, aku sedikit malas untuk jalan-jalan seperti pagi-pagi sebelumnya. Ada pelang merah ketika aku sampai pada tikungan, di mana hatiku mulai terganggu oleh pesonanya. Pesona laki-laki yang datang dari langit itu. Dan semalam, aku tak temukan penunjuk arah selain harus berhenti di situ. Membaca cuaca di matanya Menangkap isyarat-isyarat, barangkali ada lorong atau gang atau  jalan setapak. Tak ada, selain aku harus berbalik dan tak boleh kembali. Entahlah, sepertinya sia-sia jika aku memaksa untuk membaui pucuk teh pagi ini. Setiap pucuk yang kupetik lalu cium tentu akan berbau hangus.
Tiba-tiba aku berjingkat. Tidak! Emm… fermentasi yang pas untuk jenis daun teh tertentu, pasti akan menghasilkan rasa dan aroma yang beda dan khas. Maka aku bergegas. Siapa tahu, perasaan ganjil di hatiku akan memfermentasi daun teh menjadi beraroma cinta.
Aku bergegas pergi ke tempat di mana laki-laki dari langit itu menyapukan selembar daun di hidungku. Aku berjalan lebih cepat dari biasa. Dan astaga! Laki-laki itu sudah ada di sana.
“Aku tahu, aku akan bertemu kamu di sini,” ia berkata.
“Apakah kamu akan menagih janji? Setelah kauberi aku bintang semalam?”
“Kurasa begitu!”
“Aku sedang melakukan uji coba.”  
“Apakah itu artinya, aku tidak bisa mendapat secangkir teh yang perjanjiannya kubarter dengan bintang?”
“Nanti, beri aku nomor kontakmu. Aku akan hubungi jika kurasa berhasil memuaskan,” Aku tengadah menatap langit pagi. “Terima kasih sudah mengajakku berkunjung ke langit. Untunglah aku tak tersesat di sana.”
Ia tertawa sambil membuang mata di hamparan hijau di hadapannya.
“Ah, sayang sekali, padahal aku bermaksud pulang ke rumah pagi ini, lalu aku akan kembali ke sini mengajak putriku, Bintang Rigelku untuk kukenalkan padamu.”
“Oh, kalau begitu, mungkin aku bisa menghidangkan teh hijau murni tanpa fermentasi. Lebih sepat, lebih pahit, tetapi aku akan menyeduhnya sedemikian rupa sehingga berasa mantap. Aku yakin putrimu akan suka.”
Ia menatapku. Di bulu matanya ada setitik bintang nyaris jatuh, aku ingin memungutnya.
“Kuharap begitu. Kasihan putriku, tak sempat bertemu mamanya karena istriku  kehabisan darah dan tenaga saat melahirkannya.”
Aku tercekat.
“Aku turut berdukacita,” kataku akhirnya.
Ia mengangguk kecil, lalu menatap jauh di sana. Aku bergeming, ke mana sepiku pergi? Yang beberapa saat lalu mengganggu hati?
“Putriku boleh kau ajari mencium harum daun teh.”
Aku mengangguk.
“Tetapi kau harus menukarnya dengan tamasya ke kota bintang.”
“Tentu. Aku janji.”
Lalu kupungut setitik bintang yang tersangkut di bulu matanya. Dan kami tertawa.

***
 Indah Darmastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?