Fiction
Koki Anak Mami [1]

30 Apr 2015

Sebagai penikmat kuliner yang terbiasa menikmati penampilan celebrity chef di televisi, aku tidak terkesan melihatnya.
    Untuk ukuran seorang pemilik warung terkenal, ia tampak tak meyakinkan. Berapa usianya, dua puluh? Dua puluh dua? Ia tampak tak lebih dewasa dari anakku yang duduk di bangku SMA. Laki-laki bertubuh kecil itu muncul di studio dengan skinny jeans, kemeja yang dikancing hingga leher, dan rambut berponi lempar dengan highlight keemasan.

Dengan penampilan seperti itu, di mataku ia terkesan lebih pantas mengelola sebuah kafe ecek-ecek dengan menu kebarat-baratan bercita rasa pas-pasan yang mengandalkan fasilitas free wi-fi sebagai jualan. Bukan sebuah warung hidangan Jawa yang terkenal menjual cita rasa tradisional dengan segala kerumitan bumbu dan cara pengolahannya.

    “Jangan terkecoh penampilannya,” bisik Mbak Ratih, produser acara kami. Sikunya menyodok rusukku, mengalihkan pandanganku dari laki-laki itu. Rupanya Mbak Ratih melihat ekspresi wajahku. Sayang sekali aku tak pernah bisa menutupi isi hatiku. Kata teman-teman, wajahku tidak bisa berbohong. Apa yang kurasakan langsung tergambar di situ.
    “Model seperti itu apa bisa masak beneran, Mbak?” tanyaku sangsi.
    “Bisalah. Buktinya, warungnya dipilih oleh pemirsa kita untuk ditampilkan,” jawab Mbak Ratih. “Aku juga pernah mampir ke warungnya, kok. Memang enak masakannya. Rasanya mantap, bumbunya merasuk. Menunya sederhana dan cita rasanya rumahan banget. Kapan-kapan cobalah sendiri.”

    Setiap minggu Warta TiVi, stasiun televisi lokal kami, menampilkan profil warung atau rumah makan yang dipilih oleh pemirsa lewat SMS maupun media sosial. Tidak hanya diwawancarai, si pemilik warung  juga mempraktikkan resep andalannya. Minggu ini yang terpilih adalah Warung Doa Ibu. Laki-laki bernama Rido yang membuatku sangsi ini adalah pemiliknya.

    “Warung Doa Ibu itu warungnya sendiri?” tanyaku sangsi.
    Berdasarkan pengalamanku berkelana dari warung ke warung, warung yang terkenal biasanya sudah dikelola oleh beberapa generasi turun-temurun.
    Mbak Ratih mengangkat bahu. “Katanya, sih, dulu neneknya menjual gorengan di depan rumah. Ketika neneknya sudah terlalu tua untuk berjualan, Rido mengubahnya jadi warung nasi seperti sekarang ini.”

    “Selamat siang, pemirsa Warta TiVi. Nama saya Rido. Saya senang sekali karena bisa siaran di teve. Keluarga saya juga senang sekali,” Rido tersenyum, lalu tertawa kecil. “Bu, aku masuk teve, Bu!” serunya sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia tertawa lagi. “Siang ini saya akan mempraktikkan resep kesukaan Ibu saya, yaitu Asem-asem Iga.”
    Aku memutar mataku. Apa-apaan anak ini? Ndeso sekali. Masuk teve saja senangnya bukan main. Entah kenapa Mbak Ratih membiarkan saja si Rido ini bertingkah semau-maunya, menyapa ibunya segala, seperti ini. Memangnya tadi dia tidak di-briefing dulu?

    Namun ternyata pemirsa kami menyukai penampilan Rido. Sebulan kemudian, warungnya terpilih lagi sehingga ia muncul lagi di teve. Sejak itu ia tampil nyaris rutin di layar kaca. Penampilannya yang polos kekanakan dan kesukaannya menyebut-nyebut ibunya rupanya merebut hati ibu-ibu pemirsa kami. Secara bercanda, mereka menyebut Rido “Koki Anak Mami.”

    “Selamat siang, pemirsa Warta TiVi. Senang sekali bisa hadir lagi di sini. Kali ini resep yang saya bawa adalah resep Bakso Bakar. Ini resep asli dari ibu saya. Halo, Ibu. Jangan lupa tonton Rido sambil makan siang ya, Bu,” Rido tak lupa menyapa ibunya. Tangannya dilambai-lambaikannya sambil tersenyum. Setelah itu dia melanjutkan, “Uniknya bakso bakar ini adalah dagingnya dicacah, bukan digiling...”

    Lagi-lagi ibunya dibawa-bawa. Benar-benar anak mami!
    Ketika untuk kesekian kalinya Warung Doa Ibu terpilih untuk ditayangkan di Warta TiVi, aku merasa sudah saatnya kami menampilkan ibu Rido. Ketika kusampaikan ideku ini pada Mbak Ratih, ia sangsi.
    “Pemilik Warung Doa Ibu, kan, Rido,” katanya. “Bukan ibunya. Fokus acara kita kan pemilik warung atau rumah makan. Bukan yang lain-lain.”
    “Tapi Rido selalu menyebut-nyebut ibunya setiap kali tampil. Warungnya pun diberi nama Warung Doa Ibu. Berarti peran ibunya kan besar sekali. Apa salahnya ibunya ditampilkan juga. Diwawancara kek, atau mendampingi Rido memasak. Pasti bagus,” bujukku.
    Mbak Ratih berpikir sejenak. “Coba tawari dulu. Soalnya belum tentu ibunya mau ditampilkan di televisi.”
    “Kalau anaknya seatraktif itu, apa iya ibunya menolak tampil?” tanyaku.
    Mbak Ratih mengangkat bahu. “Siapa tahu...”

    Karena itulah siang itu aku duduk manis di Warung Doa Ibu, menikmati seporsi Bakso Bakar sambil menunggu Rido muncul dari dapur. Benar kata Mbak Ratih. Warung ini menawarkan menu dengan cita rasa homey. Bakso bakar ini contohnya, resep yang pernah dipraktikkannya di televisi. Daging bahan baksonya dicacah, bukan digiling halus, sehingga berbeda dari bakso yang lain. Hasilnya ternyata juga berbeda. Terasa ada “perlawanan” yang bikin gemas, tidak “mulus” seperti bakso pada umumnya.

    Sekilas kulihat Rido mondar-mandir di dapur. Sehelai apron terpasang di tubuhnya. Gerak-geriknya tak kalah tangkas dengan chef terkenal yang sering muncul di layar televisi nasional.

    Ia melambai ketika dilihatnya aku makan siang di warungnya. Tak berapa lama ia mendekati mejaku, lalu duduk di hadapanku. “Wah, tumben Mbak Ana ke sini. Ada apa, ya?” tanyanya sumringah. “Gimana bakso bakarnya? Enak?”
    “Sip!” jawabku sambil mengacungkan jempol. “Lagi repot ya, Do?” tanyaku berbasa-basi.
    “Nggak, kok, Mbak, sehari-harinya ya seperti ini,” jawabnya. Pandangan matanya menyapu warung. Jam makan siang bagi pegawai kantoran sudah berakhir, tapi masih ada saja pembeli yang datang. “Ada apa ya, Mbak?” ia bertanya lagi.
    “Kami mau menawari ibumu untuk ikut muncul dalam penampilanmu di Warta TiVi yang akan datang. Selama ini kan kamu menyebut-nyebut ibumu terus setiap tampil. Supaya acaranya tambah menarik, kami ingin ibumu juga ditampilkan. Kira-kira bisa apa tidak, Do?”
    Rido memandangiku lama sekali. “Kayaknya tidak bisa, Mbak,” jawabnya.
    “Tidak mau atau tidak bisa? Apa tidak sebaiknya ibumu ditawari dulu baru kaujawab?”
    Rido menggeleng. “Tidak bisa.”
    “Kenapa? Ibumu sakit?”
    Rido menunduk. “Mau ditawari gimana, wong orangnya saja tidak ada.”
    “Hah? Maksudmu?”

    Bibir Rido bergetar ketika bercerita. Ia hampir tak ingat ibunya. Wanita itu meninggalkannya begitu saja ketika ia masih balita. Ayahnya sudah lebih dulu meninggalkan mereka, pergi entah ke mana. Kakek dan Nenek yang membesarkannya bercerita bahwa dulu ibunya seorang juru masak lepas yang sering membantu di warung atau di rumah orang yang mengadakan hajatan. Suatu hari, seseorang menawari ibunya bekerja di warung di luar kota. Setelah itu ia tak pernah terdengar kabarnya lagi.

    “Karena itu aku belajar memasak, Mbak, siapa tahu suatu ketika nanti aku bertemu Ibu. Ibu kan pekerjaannya juga memasak. Aku senang masuk teve karena siapa tahu Ibu menonton acara di televisi dan melihat aku. Siapa tahu setelah melihatku berhasil, Ibu mau pulang,” bisiknya.
    “Tapi... tapi kok kamu tahu banyak tentang resep-resep andalan ibumu?”
    “Resepnya, sih, asli bikinanku sendiri, Mbak. Aku sebut itu resep andalan ibuku semata-mata karena khayalanku saja. Aku sering membayangkan kalau Ibu memasak untukku, kira-kira apa saja yang akan dimasaknya.” Ia tersenyum lemah. “Kata orang, khayalan bisa jadi doa. Siapa tahu khayalanku ini bisa terwujud beneran, Ibu benar-benar datang dan memasak untukku.”


    Beberapa kali Warta TiVi menayangkan profil wanita itu dalam segmen berita orang hilang, tanpa membuka identitasnya sebagai ibu Rido, Koki Anak Mami kesayangan pemirsa kami. Biarlah itu menjadi rahasia Rido.

Kami berharap ada yang mengenal wanita itu. Tapi sampai sejauh ini belum ada hasilnya.
    “Selamat siang, pemirsa Warta TiVi. Resep kita hari ini adalah Ayam Goreng Laos. Ini favorit saya. Kalau ibu saya memasak Ayam Goreng Laos ini, dijamin saya makan seperti orang kalap,” kata Rido sambil tersenyum. Ia mengacungkan jempol. “Ibuku memang jempolan.”

    Ia tersenyum lebar, lalu menampilkan tawa kecilnya yang khas sebelum menyebutkan bumbu- bumbu dan mempraktikkan cara memasaknya.
    Leherku tercekat haru.

***************
Susi Diah Hardaniati


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?