Fiction
Kirana [8]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Mengapa tak tanyakan pada orang terakhir yang bersamanya?”

Kami semua memperhatikan Inang Dayu. Kali ini wanita itu tidak setenang pada awal penyidikan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya menjadi gemetar.

“Inang, di mana Sang Dewi berada?” Herlambang bertanya, kepada wanita yang diam membisu seperti batu itu.

Sang Dewi, begitu tinggi sebutan sayang bagi wanita itu. Inang Dayu tetap pada pendiriannya untuk membungkam keberadaan Kirana, bahkan ketika para penyidik mencecarnya dengan tekanan yang sangat intimidatif. Ia masih tetap pada sikapnya. Duduk tegak, mulut terkatup rapat dengan garis kuat memucat. Keringat berpendaran di dahinya, pundaknya naik-turun dengan getaran yang kelihatan ia tahan.

Ia bisa shock sewaktu-waktu. Mengingat usianya yang kutaksir melewati 50 tahun, pastilah tidak mudah baginya untuk berada dalam tekanan seperti sekarang. Terlebih, kesaksian pria dari Jember yang menyebutkan ciri-ciri wanita yang menitipkan mobil sport itu mirip sekali dengan Inang Dayu.

Suster Meida bangkit dari kursi. Kami semua memperhatikan bagaimana ia membawa teh dalam kemasan yang belum diminumnya, untuk diberikan kepada Inang Dayu. Dengan kelembutannya, ia selalu berhasil membujuk sekeras apa pun hati pasien yang pernah kutahu. Tak terkecuali Inang Dayu. Dengan gemetar ia menerima minuman itu. Suster Meida berlutut di sisinya, memegangi tangannya agar ia bisa minum dengan tenang.

“Sedikit-sedikit dulu, Inang. Pelan-pelan saja agar tidak menyakiti tenggorokanmu.”

Entah karena kata-kata lembut Suster Meida yang telah membujuknya, atau aliran air teh yang dingin itu memberikan efek sejuk dan tenang, kami perlahan melihat perubahan pada diri Inang Dayu. Ia masih diam lama memegangi minuman di tangannya dengan pandangan kosong. Kami menunggu, dan menunggu. Kami yakin, pada akhirnya wanita ini akan membuka mulut.

Suara azan salat Asar terdengar lembut mengumandang dari kejauhan. Mengingatkan kami bahwa sudah lebih dari setengah hari kami bersitegang di dalam ruangan ini. Suara azan itu begitu melangutkan hati. Memanggil nurani untuk kembali kepada kebenaran hakiki.

Selang beberapa lama setelah azan berlalu, terdengarlah pengakuan itu.

“Dia berada di tempat yang selalu diinginkannya. Kalian tak perlu mencarinya lagi,” suara itu kedengaran parau.

Kami saling memandang. Tempat yang selalu diinginkan Kirana?

“Di mana itu, Inang? Apakah di Bima?” Herlambang menyebutkan kota di Pulau Sumbawa itu. Menurut kabar, Inang Dayu berasal dari sana. Dan mungkin, Kirana juga berasal dari sana.

Inang Dayu diam saja. Ia menunduk makin dalam.

“Inang, tolonglah. Beri tahu aku di mana Sang Dewi berada.”

Adrian menghela napasnya dalam-dalam.

“Inang, kita semua sudah lelah di sini. Cobalah untuk mengerti bahwa....”

“Kau tak pantas bicara seperti itu di depanku. Kau telah membuatnya menjadi seorang anak pembohong, kurang ajar, bahkan istri yang tercela!” Inang Dayu memotong perkataannya, tanpa mengangkat wajahnya.

Wajah Adrian memerah. Ia kemudian menunduk mengetahui kami semua memperhatikannya.

“Inang, katakan saja, di mana Ibu Kirana berada?” Kapten Prayoga bertanya, namun tetap tidak mendapat jawaban.

“Apa yang membuatmu bersikukuh seperti ini? Kau tahu, alibimu lemah. Dan, jika saksi Imran dihadirkan di sini sekarang, pasti dengan mudah ia menunjukmu sebagai orang yang menitipkan mobil padanya. Kau bisa dituduh menggelapkan barang milik orang lain yang dinyatakan hilang. Kau bisa dikenai hukuman kurungan. Apakah kau tidak takut itu, Inang? penyidik pertama mulai mengintimidasi lagi.

Inang Dayu tetap menunduk.

“Teori klasik. Menghilangkan nyawa untuk mendapatkan harta.”

Sekalipun baru sekadar teori dan sebuah kemungkinan, pernyataan penyidik itu demikian tegas, menyentak hati kami.

“Bukankah demikian, Inang?” penyidik itu terus mencecarnya.

“Tidak begitu...!”

“Oh, tentu saja! Kau membunuhnya, membuang mayatnya di suatu tempat. Kau curi mobilnya, lalu kau buat cerita itu adalah sebuah kecelakaan, sehingga kami semua berpikir bahwa....”

“Itu memang kecelakaan!”

Rasanya kami semua ambles ke dalam sebuah kubangan lumpur yang dingin. Adrian terduduk lemas di kursinya, sementara Herlambang tampak pucat gemetaran. Penyidik itu menarik napasnya dalam-dalam, tak mengeluarkan kata-kata.

Kemudian terdengar isak tangis Inang Dayu memenuhi ruangan, memecah keresahan yang menyekap kami lebih dari setengah hari ini. Suster Meida, sekalipun tampak terkejut, kembali menenangkannya dengan kata-kata yang lembut. Aku masih terdiam tak percaya dengan kisah ini. Sungguh luar biasa. Jadi, wanita itu, Kirana, benar-benar sudah mati?

“Aku tidak sengaja... dia ingin pergi terus mengikuti pria itu.... Kau seharusnya tidak meninggalkannya, Tuan.”

Herlambang kelihatan terpukul. Ia terenyak di kursinya dengan wajah bingung seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Jadi, Inang, di manakah kau menyimpannya?” penyidik itu melanjutkan tugasnya. Kali ini, suaranya jauh lebih rendah, sekalipun tetap dalam tekanan yang sama.

Tangisan Inang Dayu makin menjadi dan mulai tidak terkendali karena luapan emosi. Keadaan Inang Dayu tidak memungkinkan untuk dicecar pertanyaan lebih lanjut. Mendadak aku ingat sesuatu yang sering diutarakan oleh Kirana yang lain.

“Kalau saya tidak salah, Kirana berada tidak jauh dari kita semua,” kuberanikan diri mengutarakan pendapatku.

Semua orang mengalihkan perhatiannya padaku.

“Di mana menurut perkiraanmu?” Kapten Prayoga menatapku.

Aku menelan ludah.

“Di sana, di Telaga Sumberpodang. Ia tenggelam bersama bayinya. Bukankah begitu, Inang?”

Inang Dayu mengangkat wajahnya. Ia kemudian menoleh padaku dengan ekspresi yang sungguh memelas. Tiba-tiba ia pingsan.

Minggu, 24 Agustus 2008, pukul 07.00

Kabut yang turun menyelimuti Desa Sumberpodang masih mengapung tipis di udara yang dingin. Namun, suasana di sekitar Telaga Sumberpodang sudah diramaikan oleh masyarakat yang ingin menyaksikan secara langsung proses pengangkatan mayat wanita nomor satu di desa ini, Kirana Chandradewi. Mereka bahkan sudah mulai berdatangan sejak sehabis subuh tadi, seakan tidak ingin melewatkan sejarah bagi desa mereka ini.

Begitu penuhnya perhatian masyarakat, sehingga polisi terpaksa membuat garis polisi untuk membatasi mereka, agar tidak menyeruak makin ke tepi. Hal ini dilakukan agar tim SAR dan kepolisian dapat melakukan tugasnya tanpa gangguan.

Herlambang tidak tampak di kerumunan massa. Ia sedang dimintai keterangan seputar keberadaan wanita sakit yang diakuinya sebagai Kirana. Polisi menduga ia sengaja telah memalsukan identitas seseorang, memberikan keterangan palsu, dan membahayakan nyawa seseorang dengan sengaja memberikan obat-obatan tanpa didampingi petugas medis.

Teori sementara yang kuperoleh dari Kapten Prayoga yang memimpin pencarian ini, sungguh mengejutkan. Bahwa antara Herlambang dan Inang Dayu tidak ditemukan adanya konspirasi. Hanya beberapa kebetulan saja membuat masing-masing mengembangkan cerita demi kepentingan mereka sendiri.

Malam sebelumnya, Inang Dayu menceritakan semuanya kepada Suster Meida yang didampingi oleh seorang penyidik yang bertugas menulis kesaksian. Bahwa pada malam nahas itu, keduanya bertengkar hebat. Kirana bersikeras akan menyusul Adrian yang menunggunya di stasiun kereta api Malang. Inang Dayu berusaha mengingatkan dan meyakinkan Kirana bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.

Kirana mengatakan tidak bisa tinggal bersama Herlambang, karena ia telah jatuh hati kepada Adrian. Ia sudah menyerahkan diri padanya. Dan, yang membuat kemarahan Inang Dayu memuncak adalah ketika mendengar pengakuan bahwa Kirana tengah mengandung janin hasil perselingkuhannya dengan Adrian. Itulah mengapa ia ingin menyusul Adrian pergi, apa pun risiko yang akan dihadapinya.


Penulis: Shanty D. Rilmira
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?