Fiction
Kirana [4]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Aku tak tahu dosa apa yang kuperbuat, sehingga aku seperti ini,” bibirnya gemetar, saat mengucapkan kata-kata yang membuat kami trenyuh. Air mata itu akhirnya menetes juga, mengalir di kedua pipinya yang kurus. Ia mengatur napasnya agar tidak kedengaran terisak.

“Maafkan aku telah merepotkan kalian berdua. Aku hanya ingin keluar dari rumah itu. Aku... aku tak tahan....”
Kami merebahkannya ke atas tempat tidur lagi. Bantalnya sedikit ditinggikan, agar ia dapat bernapas dengan baik. Wanita ini kekurangan gizi, mungkin karena asupan makannya buruk. Aku harus memberinya infus agar ia menjadi lebih baik lagi.

“Dok, kakinya,” Suster Meida berbisik padaku.

Aku beringsut ke ujung tempat tidur. Seperti tangannya yang kurus, kedua kakinya juga tak kalah kurusnya, menyerupai dua batang kayu yang kering kecokelatan. Ada beberapa bekas gigitan nyamuk dan parut luka gores. Namun, yang mengejutkan hatiku adalah lebam biru kemerahan melingkari kedua pergelangan kakinya.

“Dia mengikatku agar aku tidak melarikan diri,” seperti menjawab keheranan kami, Kirana berkata sambil memejamkan matanya.

“Aku akan ke puskesmas mengambil beberapa infus....” Aku harus melakukan sesuatu untuk menolong wanita malang ini.

Kirana membuka matanya. Ada ketakutan yang menyorot kuat dari sana, membuatku makin merasa iba.

“Kau tidak akan memberi tahu orang lain, ‘kan?” Ia bangkit dengan susah payah dari tempat tidur. Suster Meida membantunya untuk segera rebah kembali.

“Tentu saja tidak, Nyonya. Jika ia berpikiran begitu, maka sudah sejak dari jalan tadi ia mengembalikanmu ke loji. Begitu kan, Dok?”

Aku sudah kalah set sejak awal. Jadi, aku hanya mengangguk untuk menenangkan hati wanita itu, sekaligus menyenangkan hati Suster Meida. Aku harus kembali ke puskesmas untuk mengambil infus dan beberapa obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh Kirana.

Hari sudah menjelang senja, ketika aku keluar dari rumah. Aku harus bergegas. Jadi, kukebut lagi jip mungilku menyusuri jalan lembah yang berkelok dengan panorama senja yang memukau. Melangutkan hati. Seharusnya aku tidak berada di sini atau di belahan mana pun di Indonesia. Seharusnya aku berada di Surabaya sebagai Nyonya Andre Hermawan.

Tetapi, itu tiga tahun lalu. Aku sebenarnya malas mengenang kisah cintaku yang mellow bagaikan sinetron-sinetron televisi yang sedang menjamur. Aku dan Andre sudah berteman sejak kami anak-anak. Tidak ada yang salah selama 20 tahun kami berteman, sehingga menikah adalah hal yang sudah semestinya terjadi. Kami sudah menyusun rencananya dengan matang step by step. Karier, rumah, keluarga, dan pernikahan. Semuanya sudah tersusun rapi.

Satu-satunya yang salah adalah Andre tidak pernah datang pada saat ijab kabul. Kami menunggu dan menunggu dalam keresahan, kemarahan, dan kebingungan. Orang tua kami lemas di ruangan sebelah, sementara saudara-saudaraku dan saudara-saudaranya bersitegang dengan ramai di ruangan lain.

Sedangkan aku dibiarkan seorang diri di dalam kamar pengantin. Belum ada satu orang pun yang menanyakan perasaanku. Mereka sibuk berdebat. Mereka berharap masih ada keajaiban yang akan membawa Andre kembali dari antah berantah. Aku diam, merenungkan apa yang terjadi hari itu. Rasa marahku sudah hilang, tak ada juga rasa kecewa atau sedih. Aku hanya merasa diriku demikian bodoh.

Kemudian aku melepas semua atribut pernikahan pada diriku, lalu aku mandi. Aku yakin pernikahan ini tidak akan terjadi. Lalu, buat apa aku menunggu lagi? Kukemasi pakaian serta buku-buku ke dalam sebuah travel bag. Semua peralatan kecil-kecil kumasukkan ke dalam ransel. Sesudah itu, aku lakukan apa yang harus kulakukan sejak pagi tadi, menelepon Andre. Kupikir ia tidak akan mengangkat teleponku, tetapi ternyata ia menjawabku.

“Kita jadi menikah atau tidak?” Itu saja yang kutanyakan padanya. “Kalau kita tidak jadi menikah, seharusnya kau datang dan menjelaskan pada semua orang. Be a gentleman, Dre!”

“Maafkan aku, Nin. Aku tidak dapat menjelaskannya padamu, karena....”

Dan tamatlah kisah Barbie-ku itu tanpa happy ending. Aku kemudian berkelana ke sana-sini yang disebut semua orang sebagai pelarian dari rasa sakit hati. Mereka juga bilang hal itulah yang menyebabkan aku menghindari pertemuan dengan keluarga. Mungkin mereka memang benar.

“Hai, Dok!“ sebuah suara mengejutkanku, saat menutup pintu ruang obat. Kunci di tanganku sampai terjatuh karena kaget. Aku segera berbalik.

“Maaf sudah mengejutkanmu. Sedang apa magrib-magrib begini masih di sini?” Kapten Prayoga turun dari jipnya. Ia adalah kapolsek di daerah ini.

Aku memungut kunci yang jatuh, kemudian segera mengunci ruang obat.

“Ada yang ketinggalan,” jawabku, sambil menutup tas berisi infus.

“Aku melihatmu tadi di loji”

Aku menatapnya. Aku merasa sepertinya ia sedang mengawasiku.

“Tapi, saya tidak melihat Bapak di sana “

“Ayolah, kau selalu memanggilku bapak, seperti aku ini sudah tua saja.”

Aku harus pasang jarak dengan polisi ini, karena predikatnya cukup jelek: playboy. Aku khawatir ada kesan tidak baik di mata masyarakat, jika melihat kami akrab dengan ber-aku dan kau. Apalagi, kami berdua masih sama-sama lajang.

“Itu kebetulan saja, kok. Bagaimana kabar Ibu Inang Dayu tadi?” aku mengalihkan perhatiannya dari tas yang sedang kujinjing.

“Baik, tapi ada berita yang lebih heboh lagi.”

Aku menoleh memperhatikannya. Terus terang, pak polisi ini memang kelihatan keren. Tinggi, tegap, tampak pintar serta berwibawa.

“Ibu Kirana hilang.”

Jantungku jadi deg-degan.

“Hilang?” Aduh, kenapa suaraku jadi serak begini?

“Ya. Mungkin ia menyelinap keluar karena panik di saat kebakar¬an itu terjadi. Sekarang kami sedang mengerahkan semua aparat untuk mencari informasi tentang keberadaannya.”

“Semoga berhasil, Pak,” ujarku dengan perasaan tak nyaman.

Ia membukakan pintu jipku.

“Kau tahu sesuatu, Dok?” tiba-tiba ia bertanya yang membuatku makin tidak enak. Aku menatapnya. Kapten Prayoga tersenyum.

“Bisa nggak kita hang out? Sekadar ngobrol. Rasanya sejak kau datang ke sini, kita tidak pernah berbicara santai begitu.”

Hang out? Ya, ampun... dia rupanya sedang berusaha merayuku.

“Bukankah awal bulan kemarin  kita sudah ngobrol di Batu?”

“Itu kan rapat Muspika. Lainlah.... Kau bisa, ‘kan?”

Aku tersenyum saja padanya.

“Good luck, Pak!”

Ia hanya melambaikan tangannya. Aku harus bergegas kembali ke rumah. Aku harus sesegera mungkin mengobati Kirana dan mengembalikan kepada keluarganya sebelum semuanya menjadi terlambat. Aku sadar sekarang berhadapan dengan siapa. Jika seorang kapolsek sampai turun tangan sendiri berpatroli mencari warganya yang hilang, pastilah warga itu sangat istimewa.

Kirana masih terjaga, saat aku tiba. Kami segera memasang infus untuk memberikan cairan pada tubuhnya. Agak sulit juga cairan itu masuk, karena urat darahnya kecil. Tetapi, akhirnya bisa masuk juga. Kirana memandangi kantong infus yang kugantung pada tiang tempat tidur. Matanya menerawang jauh, tetapi kelihatan lebih tenang.

“Aku tak pernah dirawat dokter selama ini,” gumamnya.

Aku memandangnya lama.

“Apa yang kaurasakan?”

Ia menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak tahu. Yang kurasakan adalah sakit kepala yang luar biasa, mual, dan takut. Aku hampir tidak bisa tidur setiap malam. Mimpi itu selalu menghantuiku.”

Suster Meida dan aku saling memandang.

“Mimpi apa?”

Kirana menggelengkan kepalanya.

“Mereka menyebutku gila atas sesuatu yang aku sendiri bingung adanya. Apa sebenarnya yang telah terjadi padaku?”

Kusentuh lengan kirinya.

“Lalu, mengapa banyak luka suntikan di lenganmu?”

Kirana tersenyum sedih.


Penulis: Shanty D. Rilmira
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?