Fiction
Kirana [1]

13 Oct 2011

Suara jeritan yang diselingi tangisan itu terdengar sayup-sayup dari arah loji di seberang lembah. Suara yang menggema. Kadang-kadang muncul, kadang-kadang hilang, menjadi seperti momen khusus yang membuat orang terdiam sejenak.

“Seratus delapan puluh, seratus, Dok,“ suara Suster Meida mengingatkanku untuk mencatat di kartu pasien yang sedang kutangani.

“Dasar wanita tak tahu malu,“ si ibu mencibir, sambil turun dari tempat tidur, dibantu Suster Maida. Maklum, Bu Malikah itu bertubuh besar.

“Siapa, Bu?“ Suster Meida bertanya.

“Ya, itu… wong edan itu. Bu Kirana.” Bu Malikah membenahi baju kebayanya yang terbuka saat kuperiksa tadi. Dia mengidap hipertensi dan ini sudah kontrol ketiganya, sejak aku bertugas di Puskesmas Sumberpodang, sejak tiga bulan lalu.

“Kan Bu Kirana memang sakit, setelah kecelakaan.” Suster Meida tertawa kecil.

“Bukan, Sus, dia sakit bukan karena kecelakaan, tetapi karena kualat pada suaminya,” balas Bu Malikah, sok tahu.

“Ah, Bu Malikah. Itu kan hanya gosip.”

“Itu bener! Wong saya pernah lihat wanita itu keluar dari pondok di sendang.“ Orang kampung ini menyebut danau dengan kata sendang.

Aku berdehem. Bu Malikah tampak tersipu.

“Tensinya naik lagi nanti, Bu,“ kataku, sambil menulis resep. “Seminggu ini jangan makan brongkosan kambing dulu, ya, Bu.“

“Jeng Dokter ini... saya jadi malu. Habis bagaimana, ya... saya se¬nang sekali makanan itu.“ Bu Malikah tertawa malu.

“Kalau kebablasan, kena stroke nanti,“ Suster Meida menambahkan.

Basa-basi kami berakhir pukul 11.45. Pasien sudah habis dan kuluruskan punggungku. Ada 25 pasien hari ini, lebih sedikit dibanding kemarin. Mungkin karena ini hari Kamis. Biasanya, pasien memang akan menumpuk pada hari Senin, Selasa, dan Jumat.

“Selalu Kirana,“ Suster Meida berkata pada dirinya sendiri.

Sudah ratusan kali aku mendengar nama itu disebut, sejak kedatanganku kemari. Ada kekuatan magnetik yang luar biasa memengaruhi masyarakat Sumberpodang atas diri Kirana. Aku sendiri sampai saat ini belum pernah melihat dengan mataku sendiri sosok Kirana itu. Aku hanya mendengar kisah-kisahnya dari cerita para pasien dan orang-orang yang kutemui secara tidak sengaja. Kupikir, semua orang di tempat ini terobsesi pada Kirana.

“Dokter pasti penasaran pada Kirana, bukan?” Suster Meida bertanya, sambil membenahi ruang periksa. Aku menengadah. Aku?

“Apa aku pernah bicara begitu, Sus?”

Suster Meida tertawa. “Maaf, jika Dokter tersinggung. Tetapi, percayalah, kisah Kirana tak ubahnya seperti telenovela.“

“Kau berlebihan, Sus.“

“Saya akan ceritakan.“

“Oh... please, deh....“

Tanpa menghiraukan keberatanku, ia mulai menceritakan kisah yang sudah berkali-kali kudengar. Setiap orang menuturkannya dengan kata-kata yang berbeda, dengan ekspresi yang tidak sama, juga intonasi suara yang bervariasi. Sungguh menarik untuk disimak.

Tentang seorang wanita cantik bernama Kirana, istri seorang pengacara yang juga pengusaha olahraga ekstrem yang sukses: Herlambang Saksono. Mereka dikisahkan hidup bagaikan raja dan ratu di Desa Sumberpodang ini, menghuni sebuah loji megah peninggalan Belanda yang masih terawat dengan baik di lereng bukit.

Mereka tidak memiliki atau belum memiliki anak, sekalipun sudah lebih dari lima tahun menikah. Kegiatan Kirana sehari-hari adalah mengelilingi properti milik suaminya yang berada di sekitar Sumberpodang sampai Bumiaji. Seperti kebun apel, greenhouse tanaman organik, serta sebuah pabrik keripik buah-buahan yang menjadi ciri khas Malang. Ia selalu berkeliling desa mengendarai sedan sport merah dengan kap yang sengaja dibuka, sehingga semua orang bisa melihat kecantikannya. Kirana cukup sopan, tetapi tidak bisa dibilang ramah. Jika berpapasan dengan orang, ia hanya mengangguk, tak pernah menyapa, apalagi tersenyum.

Masyarakat Sumberpodang tidak ada yang mengetahui dengan pasti, siapa dia dan dari mana wanita itu berasal. Yang jelas, sekitar enam tahun lalu Herlambang membawanya ke loji beserta seorang wanita yang mengasuhnya sejak kecil, Inang Dayu. Sejak itu mereka menganggap Kirana sebagai istri pengusaha itu.

Sedangkan Herlambang lebih sering bepergian ke Malang dan Surabaya. Kadang ia ke Probolinggo, karena memiliki rafting resor yang cukup terkenal. Masyarakat desa jarang melihat keduanya jalan bersama, mungkin karena kesibukan yang luar biasa. Tetapi, mereka sering muncul di pesta-pesta atau kegiatan high society lainnya.

Semula tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Masyarakat desa selalu disuguhi tampilan keindahan, kekayaan, dan kesunyian atas keduanya. Tetapi, ceritanya menjadi berbeda sejak kehadiran Adrian, seorang arsitek yang bertanggung jawab untuk membangun sebuah resor wisata di Sumberpodang, proyek baru Herlambang sendiri.

Adrian mewakili kesempurnaan pria idaman, setidaknya bagi Kirana. Berumur 33 tahun, cerdas, pendiam, dan santun. Ia memilih membangun sebuah pondok sederhana di tepi danau Sumberpodang daripada tinggal di Malang atau di loji milik Herlambang. Katanya, ia ingin menangkap aura resor yang akan dibangun di sekitar danau itu.

Pria itu bersikap ramah kepada setiap orang yang datang padanya. Dalam waktu singkat, ia sudah lumayan dikenal oleh masyarakat desa. Adrian cukup terbuka untuk ukuran orang yang pendiam. Mereka segera tahu bahwa pria itu sebenarnya telah memiliki seorang istri dan sepasang anak kembar di Bandung.

Semua bermula pada suatu Minggu pagi yang sejuk. Masyarakat Desa Sumberpodang mengawali pagi mereka dengan pemandangan baru: Kirana melintasi jalan-jalan desa dengan sedan sport merahnya itu. Hanya, menjadi tidak biasa, karena ia tidak sendirian. Adrian duduk di sampingnya. Sejak itu, masyarakat Sumberpodang mendapatkan pemandangan yang berbeda. Mereka sering melihat keduanya berkeliling desa dengan mobil atau kuda. Beberapa kali Kirana sering didapati berlama-lama di pondok Adrian, yang menurut pengakuan pria itu, Kirana sedang belajar melukis. Tak jarang mereka kelihatan berperahu mengelilingi danau, sambil bercakap-cakap mesra, layaknya sepasang kekasih.

Mereka melihat perubahan besar dalam diri Kirana. Ia kelihatan menjadi lebih cantik dan ramah. Kirana menjadi mudah tersenyum kepada siapa saja yang kebetulan berpapasan dengannya. Suatu hal yang teramat jarang disaksikan oleh warga Sumberpodang. Mungkin karena wanita itu sedang jatuh cinta.

Perselingkuhan itu menjadi sarapan pagi, makan siang, dan dongeng sebelum tidur. Ketenangan Desa Sumberpodang terusik, kedamaian mereka koyak oleh asmara yang membara di antara keduanya. Menurut kabar, Herlambang sudah mengetahui masalah itu, namun ia tidak melakukan apa-apa. Orang-orang mengira, pria itu lebih takut kehilangan proyeknya daripada kehilangan istrinya.

Namun, akhirnya, warga desa menyaksikan perubahan itu. Pada suatu Minggu subuh yang sunyi, mereka dikejutkan oleh suara tangisan yang tiba-tiba pecah dari arah danau. Kemudian beberapa warga melihat Adrian pergi dengan tergopoh-gopoh, dengan pakaian yang acak-acakan, membawa sebuah ransel. Yang lebih mencengangkan adalah ketika Herlambang menyeret istrinya keluar dari pondok, lalu mendorongnya ke dalam mobil. Kemudian, Herlambang melemparkan sekaleng bensin ke dalam pondok itu. Hanya dalam hitungan detik, pondok kayu itu sudah habis dilalap api.

Hawa panas pagi itu berlanjut hingga malam hari. Di tengah guyuran hujan deras yang melanda Sumberpodang, warga melihat mobil sport merah yang biasa dikendarai Kirana, melesat cepat di jalanan yang licin dan berkelok-kelok. Saat itu mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa yang menyetir mobil itu, Herlambang atau Kirana? Selain sudah malam, kap mobil itu ditutup. Derasnya hujan juga menghalangi pandangan.


Penulis: Shanty D. Rilmira
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2008


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?