Fiction
Kepak Sayap Merpati [4]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Ah, aku baru ingat kalau masih ada pekerjaan. Aku harus kembali ke markas,“ kata Ben tiba-tiba.

“Sejak kapan kau bekerja di hari Sabtu, Ben?“ wanita itu mengan¬tarnya sampai ke pintu. Sejak hari ini, pikir Ben. Ia menge¬nakan jaketnya.

“Apakah Tim juga memiliki tahi lalat di lehernya sepertimu, Ben?“ ibunya mengamati tahi lalat di leher, seperti baru pertama kali melihatnya.

“Tidak, Ma, setahuku Tim tidak punya tahi lalat di leher. Aku datang lagi minggu depan, jam yang sama,“ jawab Ben.

“Kau harus bertemu dengan Annika. Da cantik sekali. Aku bisa membuatkan janji dengannya. Jangan mendekam terus di markas dan tempatmu yang bau jamur itu,“ sahut ibunya.

“Aku akan pikirkan, jangan lupa untuk meneleponku,“ kata Ben. sebelum menutup pintu. Sejak hubungan asmaranya dengan seorang dokter gawat darurat kandas, ibunya tidak berhenti mengatur pertemuan dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal. Setelah berpikir sejenak, Ben memutuskan untuk benar-benar pergi ke markas.

Setelah menyapa rekannya yang bertugas, Ben memasuki ruang arsip. Ia mencari berkas sesuai dengan nama pasien yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Sommer, Katrin Ariana. Ben menemukan beberapa arsip dan menyusunnya secara kronologis. Setelah membuat secangkir kopi, ia menuju ke mejanya.  Arsip pertama berisi laporan pengaduan yang dibuat oleh ayah Katrin.

Herman Sommer melaporkan istrinya, Reny Silvana Sommer, dengan tuduhan telah menculik putri tunggal mereka. Sudah tujuh bulan istrinya telah membawa Katrin ke negaranya dan belum kembali ke Jerman sesuai dengan janji. Ben melihat selembar kliping yang digunting dari koran lokal, yang memuat Herman Sommer tengah menggendong anak perempuannya. Ia mengecek tanggal terbitan koran tersebut. Dibuat kira-kira satu tahun setelah aduannya diterima oleh pihak kepolisian. Seorang telah menempelkan kliping itu sebaga tanda bahwa kasus telah selesai.  

Menurut hasil penyelidikan, setiap tahun di Jerman terjadi 2000 kasus penculikan anak serupa. Anak-anak yang menghilang biasanya dibawa keluar negeri oleh salah satu pihak orang tua. Untuk mengatasi masalah tersebut, Jerman telah membuat kesepakatan Haager dengan 72 negara. Isinya mengatakan bahwa anak yang diculik harus secepat mungkin dikembalikan ke negara asalnya. Apakah Indonesia termasuk kepada 72 negara tersebut? pikir Ben.

Ia tahu benar bagaimana sulitnya pihak interpol melacak jejak anak-anak yang dibawa pergi. Ben membuka arsip berikut. Dibuat atas dasar tuduhan penganiayaan dan penelantaraan Herman Sommer terhadap Katrin Sommer. Saksi: Sabine Krass, guru sekolah dasar. Hasil visum dan foto-foto menunjukkan adanya trauma akibat pemukulan pada tubuh Katrin di bagian lengan dan punggung. Tidak ditemukan bukti tanda-tanda pelecehan dan penganiayaan secara seksual. Lembar berikutnya; pencabutan hak perwalian Herman Sommer oleh pihak pengadilan.

Membaca berkas-berkas kepolisian, bagi Ben seperti menjelajahi kisah hidup seseorang termasuk rahasianya yang paling dalam secara legal. Salah satu kegiatan yang paling ia sukai dari pekerjaannya sebagai polisi. Berkas yang ketiga dibuat oleh pihak kepolisian sehubungan dengan proses penyelidikan kematian Mathilde Sommer. Dibuat saat Katrin berusia 14 tahun.

Pihak kepolisian telah memintanya pulang dari kontes matematika junior se-Jerman di Stuttgart, untuk mengidentifikasi jenazah neneknya. Berdasarkan pengaduan tetangga tentang bau yang tidak sedap dari apartemen sebelah, polisi membuka paksa kediaman Mathilde Sommer. Mereka menemukannya sudah terbujur kaku di ranjang. Pihak kepolisian tidak menemukan adanya tanda kekerasan di apartemen tersebut. Hasil otopsi menunjukkan bahwa kematian Mathilde Sommer sudah tiga hari dan disebabkan oleh serangan jantung.

Bagaimana nasib Katrin setelah itu tidak diketahui. Ben menduga sudah pasti ia diserahkan ke orang tua asuh atau ke rumah yatim piatu. Ia meraih berkas terakhir. Pengaduan yang berisi tentang tuduhan pencurian yang dilakukan oleh Katrin Sommer di sebuah supermarket. Pengaduan itu sudah ditarik lagi. Ben sudah beratus kali membaca berkas-berkas serupa. Satu hal telah membuat gadis itu berbeda: tatapan mata¬nya di atas gedung itu muncul dalam mimpi Ben yang terburuk.

Hari Senin, pukul 9. 12. Ben sadar, seharusnya ia sudah berada di markas. Ia mengetuk sebuah pintu kamar. Karena tidak ada jawaban, ia kembali ke resepsionis dan bertanya tentang pasien di kamar 17. “Kalau tidak di kamar, ya, di luar,” sahut petugas resepsionis rumah sakit.

Ben melihat gadis itu sedang duduk di atas bangku. Matanya terpejam, menikmati sinar matahari terakhir musim gugur. Ia masih mengenakan jaket hitam pemberian Ben.

“Selamat pagi,“ sapa Ben. Gadis itu membuka mata dan memandangnya beberapa saat seperti tidak mengenalinya. Ben tidak terganggu dengan situasi seperti itu. Malam itu bukan malam yang tepat untuk berkenalan.

“Hai, selamat pagi,“ suaranya serak, seperti ada gumpalan lendir di tenggorokannya.

“Aku berharap para staf di sini memperlakukan Anda dengan baik,“ kata Ben dengan nada perhatian. Gadis itu tersenyum tapi hanya dengan bibirnya.

“Jangan khawatir, Pak Detektif. Kalaupun mereka memperlakukanku dengan tidak baik, aku tidak akan melihat bedanya. Sudah biasa. Tolong berhenti memanggilku dengan sebutan ’Anda’. Membuatku merasa sudah tua,“ jawab gadis itu.

“Namaku juga bukan Pak Detektif, tapi Benhard Hiller. Kau bisa memanggilku Ben.“

“Katrin“

Tanpa dipersilakan, Ben duduk di sebelah gadis itu. Ia meneliti profilnya untuk mencari kesesuaian dengan laporan yang sudah dibacanya.

“Pihak kepolisian sudah berhasil menemukan siapa yang memfitnahmu,“ kata Ben, memecah keheningan. Usahanya untuk membuat gadis itu menyadari keberadaannya sepertinya berhasil.

“Peristiwa di supermarket tersebut?” tanya gadis itu. Wajahnya yang pucat seperti kapur masih terlihat tanpa ekspresi. Kelopak matanya setengah tertutup. Ben bertanya-tanya dalam hati, apakah ia berada di bawah pengaruh obat penenang.

“Aku sudah tidak peduli lagi. Lagi pula, aku sudah berhenti dari supermarket tersebut,“ kata gadis itu. Ia sebenarnya tidak yakin, apakah ia betul-betul tidak peduli dengan peristiwa itu.
Ia mengingat kembali kejadian di malam itu, sebelum ia memasuki ruang galeri. Berapa tahun ia sudah bekerja di supermarket tersebut? Hari-harinya selalu sama sampai pengawasnya menemukan beberapa barang milik supermarket di tasnya. Ia selalu menyimpan tas itu di lemari penyimpanan barang pekerja. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di dalam tasnya terdapat parfum, radio, makanan kecil, sampai sikat gigi. Ia tidak mengerti sama sekali bagaimana barang-barang itu sampai di tasnya.

“Saya selalu memperhatikan gerak-gerik Anda. Anda selalu datang lebih pagi dan pulang lebih lama dari pegawai yang lain,” cetus pengawasnya. “Apa yang Anda lakukan di ruang ganti pegawai sebelum dan sesudah jam kerja patut dicurigai. Akui saja, Nona Sommer. Kecuali, Anda menginginkan kesulitan dengan pihak kepolisian,” lanjut pengawasnya.

Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia merasa lebih baik menghabiskan waktunya di ruang ganti daripada di kamarnya sendiri? Katrin enggan berbicara tentang hal itu. Ia tidak mempunyai kewajiban untuk menceritakan hidupnya kepada orang asing, sekalipun itu pengawasnya.

”Anda tentu sibuk membereskan barang-barang yang Anda kutil dari supermarket di ruang ganti!” bentak detektif swasta ikut campur.


Penulis: Budi Pratiwi Sossdorf


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?