Fiction
Kepak Sayap Merpati [2]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Suhu di luar hanya 5 derajat. Paling tidak, pakailah jaket itu sebelum basah. Kata orang, pria bukan pendengar yang baik. Cuma isapan jempol. Anda bisa bicara tentang apa saja. Saya tidak akan tertidur, paling akan sedikit mengantuk,” pria itu tersenyum. Seperti geli sendiri mendengar perkataannya.

“Nona, dari sejuta alasan untuk mati, tetap ada satu alasan untuk hidup. Tolong pikirkan sekali lagi. Bagaimana dengan orang-orang yang mencintai Anda? Kalau mereka melihat Anda bergelantungan di tempat ini, pasti mereka sangat cemas.”

“Tidak ada yang peduli,” sergah gadis itu.

“Anda yakin? Coba tolong pikirkan sekali lagi. Mungkin mereka salah satu dari kerumunan itu. Atau di tempat lain? Bagaimana dengan saya? Menurut Anda, saya juga tidak peduli? Percayalah, Nona, saya akan patah hati kalau Anda memutuskan terjun dari gedung ini. Kalau saya tidak sanggup menolong, pasti masih ada orang lain yang sanggup.” Ben yakin gadis itu mendengarkannya.

“Kau berjanji akan menolongku?” tanya gadis itu seperti bergumam pada dirinya sendiri.

“Ya, tentu saja. Tapi, bagaimana saya bisa menolong, kalau Anda masih berdiri di situ? Ulurkan tangan dan jangan lihat ke bawah,” kata Ben, sambil mengulurkan tangan.

Ben tidak menyangka gadis itu berubah pikiran secepat itu. Ia masih melihat keraguan di matanya, sebelum ia mengangkat lengannya. Jari-jemari mereka hampir bersentuhan, ketika seekor burung merpati melesat dari atas atap gedung melintasi mereka. Kepakan sayapnya membawa deru angin dan hawa dingin yang membangkitkan bulu kuduk. Gadis itu menjerit. Suaranya mengejutkan ratusan burung merpati yang bertengger di atap gedung. Mereka terbang berhamburan. Gadis itu berjongkok, sambil mendekap kepalanya dengan tangan. Ia tetap tidak mengubah posisinya, walaupun burung-burung merpati itu sudah kembali bertengger di atap gedung.

“Ayo, Nona, saya tidak mau melihat isi otak terburai di atas trotoar. Percayalah, di bawah sana bukan tempat yang baik untuk mengakhiri hidup,” kata Ben.

Gadis itu perlahan-lahan menurunkan tangannya dari atas kepala. Ben menatap sepasang bola mata yang bergerak liar ke sana-kemari. Seperti mata seekor anak kucing yang sedang ditenggelamkan ke dalam air. Ironis, gadis ini berniat mendatangi kematian, tetapi ketika maut menggoda, ia memberontak.

Pria itu mencari pegangan supaya bisa lebih menjangkau gadis itu. Ia meraih lengan yang kaku seperti sepotong kayu. Ketika menariknya untuk berdiri, tubuh gadis itu gemetar tidak terkontrol. Ia merengkuh dan mendekapnya erat. Gadis itu membenamkan kepalanya dalam-dalam di bahunya. Ben merasa jaketnya mulai basah. Ia tidak tahu apakah karena gerimis atau karena tetesan air mata.

Dari bawah gedung terdengar suara tepuk tangan. Orang-orang yang tadinya bergerombol seperti koloni lebah, mulai memisahkan diri. Satu per satu mereka meninggalkan tempat itu. Lalu lintas mulai bergerak. Semuanya berjalan kembali seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ben menyerahkan gadis itu ke tenaga medis yang sudah menanti di dalam gedung. Ia menatap punggung dengan jaket hitam kebesaran, sampai bahunya ditepuk oleh seseorang.

“Pekerjaan yang baik, Ben,” kata Alex, partner kerjanya. Ben mengangguk. Satu malam yang panjang kembali berlalu.

Tanpa menyalakan lampu, Ben memasuki apartemen. Setelah melepas sepatu dan jaket, ia berbaring di atas sofa. Bau sisa makanan dari bawah sofa memaksanya kembali bangun. Ia meraih piring sisa kebab yang bagian atasnya sudah dilapisi bercak-bercak berbulu berwarna putih keabuan.

Ia berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Tidak banyak pilihan di sana. Hanya beberapa buah tomat mini dan sebuah kotak susu. Ia meraih kotak susu dan membaca tanggal kedaluwarsa. Setelah mengendus isinya, ia yakin susu itu masih bisa diminum. Ia memutuskan untuk sedikit memanjakan dirinya dengan memesan pizza.

Pesawat telepon berkelap-kelip tanda ada pesan. Hanya ada satu pesan yang ditinggalkan oleh seorang direktur sebuah rumah panti jompo. Pesan kedua terdengar suara helaan napas. Ben menduga suara itu adalah suara ibunya. Ibunya ingin mengatakan sesuatu, tapi lupa untuk mengatakan apa yang ingin disampaikan. Bukan hal yang pertama sejak dua bulan terakhir ini.

Pesanan pizza-nya datang 13 menit lebih lambat dari yang dijanjikan di brosur, tapi masih hangat. Ben menyalakan pesawat televisi tanpa membesarkan suara. Ia suka menonton televisi, seperti menyaksikan film bisu. Ia bisa mengganti dialog sesuai dengan kata hatinya. Setelah perutnya kenyang, kelopak matanya kembali terasa berat. Ia meletakkan kardus pembungkus pizza di bawah sofa. Ia berniat memakan sisanya sebagai sarapan besok pagi.

Ben tertidur sampai merasakan hidungnya kemasukan air. Dengan napas tersengal-sengal, ia meraba pergelangan tangan untuk merasakan denyut nadi. Bibirnya masih terasa asin dengan sentuhan aroma daun basil dan oregano. Ia memaki dirinya sendiri. Beginilah akibatnya kalau orang tidur tanpa sikat gigi. Hanya membawa mimpi buruk. Ia menutup jendela yang terbuka. Tidak heran jika ia kedinginan.

Dengan langkah gontai, Ben berjalan ke kamar mandi dan mengamati wajahnya di depan kaca. Ia seperti melihat daging ayam utuh yang baru dikeluarkan dari kulkas. Ben membasuh muka dengan air dan menggosok gigi. Satu jam lagi ia harus memenuhi janji dengan seorang direktur sebuah panti jompo, sesuai dengan pesan yang ia dengar di pesawat telepon.

Dari pengalamannya setelah mengunjungi 5 panti jompo yang berbeda, Ben menyimpulkan, Sabtu pagi adalah hari sebuah panti jompo berubah menjadi tempat pertemuan keluarga. Tidak heran jika semua tempat parkir penuh. Ia memutari lapangan parkir sekali lagi dan mempercepat laju mobil, ketika melihat sebuah mobil bergerak keluar meninggalkan satu celah.

Setelah parkir, Ben mengamati gedung memanjang berlantai empat dengan jendela-jendela kayu bercat putih. Arsitekturnya lebih menyerupai arsitektur hotel berbintang daripada bangunan panti jompo yang pernah ia kunjungi. Ia berhenti sesaat di depan pintu otomatis dan mengibaskan tangan seperti seorang pesulap.
Memasuki gedung itu, Ben benar-benar merasa seperti berada di sebuah lobi hotel berbintang. Ia menghampiri meja penerima tamu dan mengatakan sudah mempunyai janji dengan direktur panti. Penerima tamu mengecek layar komputer dan mempersilakannya untuk menunggu.

Ben bangkit dari tempat duduknya, ketika dua orang pria menghampirinya. Pria berdasi setengah baya memperkenalkan dirinya sebagai pimpinan panti jompo, sementara pria yang berdiri di belakangnya adalah asistennya. Asisten itu yang akan memandu kunjungan Ben di panti jompo dan menjawab pertanyaan. Ben mengangguk. Pria berseragam putih seperti seorang perawat itu mempersilakan Ben untuk mengikutinya. “Kami tidak menamakan tempat ini panti jompo, melainkan kediaman ‘Vivaldi’, rumah untuk para senior. Kami menawarkan kamar dan apartemen pribadi. Setiap kamar dilengkapi kamar mandi sendiri, balkon, pesawat telepon dan televisi.” Pria itu membuka satu kamar dan menunjukkan isinya.


Penulis: Budi Pratiwi Sossdorf



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?