Fiction
Kenangan yang Makin Malam [1]

21 Feb 2014


Penulis: Tary Lestari

Aku tidak pandai menyimpan kenangan. Bagiku, masa lalu hanyalah jejak yang akan lenyap tersapu air hujan. Hilang tanpa bekas. Aku tidak suka mengenang, apalagi menyimpannya dalam pahatan memoriku. Mungkin aku perempuan aneh di antara deretan perempuan lainnya. Kebanyakan perempuan ditakdirkan sebagai pengingat ulung, yang susah melupakan kenangan, teraniaya oleh masa lalu. Tetapi, aku lebih menyukai hal-hal yang akan kulalui, bukan yang sudah kulalui.

Begitu pula kenanganku tentangmu. Tak banyak yang bisa kuingat selain raut wajahmu yang tirus, lumayan tampan dan humormu yang selalu memikat gadis-gadis cilik. Aku satu-satunya sahabat masa kecilmu yang kemudian menjadi kekasihmu. Kisah cinta yang harusnya menorehkan kenangan manis, tetapi, toh, ketika perpisahan kita terjadi, aku melupakanmu dalam hitungan minggu. Aku menggantikanmu dengan orang-orang baru. Lalu orang baru berganti dengan yang lebih baru. Begitu seterusnya hingga jejakmu benar-benar hilang tanpa bekas.

Hingga sebulan lalu kau mendapatkan nomor teleponku. Kau yang pandai menyimpan kenangan mencoba mengusik masa lalu kita, meyakinkan aku bahwa kenangan itu akan kau bawa sampai mati. Bahwa kenangan masa kecil kita begitu manis sampai kau tak bisa tidur saat mengenangnya. Bahwa kenangan cinta pertama kita begitu indah, sampai kau ingin mengulanginya lagi.  Aku heran, ada laki-laki yang pandai menyimpan kenangan sepertimu, bahkan memaksaku untuk meyakini kenanganmu yang berharga tentangku. 

Lalu kau memaksaku mengingat pipimu yang tembem, kulitmu yang halus karena ibumu melulurnya setiap hari, dan kelakuan nakalmu menyobek baju-baju yang kamu kenakan. Ibumu berusaha mengubahmu jadi perempuan, tetapi kau selalu menentang habis-habisan dengan cara paling ektrem sekalipun. Meskipun diam-diam, aku sering melihatmu berkubang airmata saat teman-teman remaja kita mengolok-olokmu sebagai lelaki KW-10. Aku memelukmu, meredakan tangismu dan meyakinkan bahwa kau lelaki sejati. Buktinya kau bisa memiliki kekasih yaitu aku.

“Kau satu-satunya orang yang bisa memahami aku,” katamu saat itu.
Lalu pemahaman itu tumbuh menjadi cinta yang manis. Seperti layaknya sepasang kekasih kita mengisi hari-harinya dengan normal. Kau mencintai aku, aku mencintai kau. Hingga ibumu memutuskan pindah ke kota lain dan kita harus berpisah. Kau menyimpan kenangan itu sampai hari ini dan aku menghapusnya.
“Aku hanya ingin kita bersahabat seperti masa kecil kita dulu,” katamu lembut di telepon.

Aku tidak yakin dua manusia bisa bersahabat lagi setelah salah satunya menyimpan kenangan begitu baik, sementara yang lain begitu mudah melupakannya. Bukankah itu tidak adil? Tetapi, kau berhasil memaksaku menyambangi kafe kenangan kita demi kenangan yang menurutmu sangat berharga itu. Dan di sinilah sekarang aku berada. Duduk di pojok kafe romantis dengan penerangan lilin sambil menunggu kedatanganmu.
Lagi-lagi, tempat ini memaksaku untuk mengenangmu.

***
“Apa kau akan mencintaiku selamanya?” tanyamu  dua puluh tahun lalu saat kita duduk di meja kafe ini.
Aku mengangkat bahu ragu. “Aku tidak tahu.”
“Kenapa tidak tahu?” kejarmu.
Aku menggeleng, mengalihkan pandangan dari matamu yang menuntut. Aku menyukai masa kini dan masa depan, tapi bukan berarti aku tahu apa yang terjadi besok.
“Aku akan mencintaimu selamanya,” katamu.
“Kenapa kau bisa begitu yakin?”
“Karena kamu satu-satunya manusia yang bisa memahamiku. Oh, tunggu! Mungkin cintaku bisa berubah nanti, bukan cinta seperti ini. Tapi aku tetap akan mencintaimu.”
“Berubah bagaimana?” tanyaku.
Kau menggeleng. “Aku belum tahu, tapi aku merasa semua akan berubah. Kadang-kadang pikiranku membayangkan satu perubahan besar.”

***

Angin malam yang dingin menelusup ke dalam kardigan rajutku. Aku mulai sedikit menggigil kedinginan. Jam di tanganku menunjukkan pukul delapan malam dan kau belum menampakkan diri. Alunan musik klasik kesukaanmu yang memenuhi ruang kafe seolah berdansa dengan nyala lilin yang bergoyang-goyang tertiup angin. Aku meneguk minuman hangat sekali lagi dan seorang waitress tersenyum padaku. Seolah lewat senyumannya ia mengatakan agar aku bersabar menunggumu.

Seperti apa kau sekarang? Aku tersenyum geli menyadari tanganku mulai berkeringat dingin membayangkan tatapan matamu. Mungkin sekarang kau berubah lebih laki-laki, lebih dewasa dan lebih memesona. Aku hampir yakin bahwa kau akan menjelma sosok pria dewasa yang bisa menaklukkan puluhan perempuan dalam sekali kerling. Mungkin juga kau akan menemuiku dengan kekasihmu. Mendadak perutku mual membayangkan kau datang bersama seorang perempuan yang menggelendot manja di bahumu. Oh, kau berhasil memaksaku kembali ke masa lalu, bahkan membuatku cemburu dengan bayanganmu.

“Mbak menunggu seseorang?” tanya waitress menghampiriku.
Aku mengangguk. “Ya, kami ada janji jam tujuh tadi. Tapi ini sudah lewat satu jam dan temanku belum datang.”
“Ada yang ingin bertemu Anda,” kata waitress.
Waitress melambaikan tangan pada lelaki asing yang berdiri di pintu kafe untuk mendekat. Lelaki itu berjalan mendekati mejaku dan tersenyum ramah. Waitress mengangguk dan meninggalkan kami.
“Anda Riri?” tanya lelaki itu.
Aku mengangguk. “Ya.”
Lelaki itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Kenalkan, saya Aldo, teman dekat Eka.”
“Oh.” Aku membalas senyum Aldo dan menangkap tangannya yang kokoh.
“Tepatnya saya ditugaskan Eka menemani Anda sebelum dia datang.”
Aku tersenyum, mengangguk.
Lelaki bernama Aldo itu duduk di hadapanku dan tersenyum simpatik. Setelah memesan segelas orange juice pada waitress, ia tersenyum menatapku.
“Maaf sudah menunggu lama.”
“Tidak apa, saya suka berlama-lama di kafe ini.”
“Oh, begitu? Saya juga suka melakukannya bersama Eka. Kafe ini sangat romantis dan bisa membangkitkan cinta.”
“Anda mirip dengan Eka. Menyukai hal-hal yang dramatis dan romantis.”
Aldo mengangguk, matanya berbinar. “Ya, kami memang mirip dan memiliki banyak tujuan hidup yang sama. Bahkan pandangan soal cinta kami juga sama.”
“Oya? Kalian menyukai tipe wanita yang sama?”
Aldo menyambar mataku dengan tatapannya yang setajam elang. Aku membuang pandang. Sungguh tidak lucu kalau aku jatuh cinta pada lelaki dan itu sahabatmu. Aku tidak akan menghancurkan pahatan kenangan yang kau simpan rapi dalam benakmu.

“Hmmm, tipe kami? Tergantung kebutuhan. Kalau Anda?” tanya Aldo menggoda.
Aku menggeleng. “Hmm, tergantung kebutuhan juga.”
Lalu kami sama-sama tergelak seperti sepasang teman yang lama tak berjumpa. Obrolan demi obrolan begitu cair dan lancar,  sementara kau tak juga muncul di depan mataku.

***

Jam berputar lagi lebih cepat. Jarumnya menunjukkan angka sembilan sekarang. Satu jam lagi kafe akan tutup dan kamu belum juga menampakkan diri. Aku mencoba menghubungimu lewat telepon, tetapi terdengar nada sibuk di handphonemu.

“Mungkin macetnya parah, sabar saja,” kata Aldo.
“Tapi dulu dia selalu on time.”
Aldo tersenyum. “Mungkin dia bukan yang dulu lagi.”
Aku mengangkat bahu dan membuang pandang keluar kafe. Bougenvile ungu di luar kafe tampak layu dan mengantuk malam-malam begini. Dulu kau selalu menyebut bunga cantik itu pemalas. Kerjanya selalu tidur sebelum pukul sembilan malam. Mendadak aku tersenyum sendiri. Apa kau masih seperti yang kukenal dahulu? Menyukai bunga dan mengkritiknya sekaligus?

“Aku mengagumi Eka,” kata Aldo tiba-tiba. “Kau juga, bukan?”
Aku mengangguk. “Ya, dia sahabat terbaik yang pernah kumuliki di masa kecilku.”
“Dia juga mengatakan kau sahabat terbaiknya. Kalian beruntung memiliki sahabat masa kecil yang luar biasa.”
“Sejak kapan kau kenal Eka?” tanyaku.

Aldo tersenyum menerawang. Matanya berbinar seperti memancarkan kenangan indah. Aku benar-benar tidak mengerti bahwa beberapa laki-laki begitu pandai menyimpan kenangan. Tak hanya kau, tapi Aldo juga terlihat pandai menyimpan setiap kenangan.
“Saya bekerja satu gedung dengan Eka. Waktu itu  pulang malam dan melihat Eka berdiri menunggu bis. Saya mengajaknya pulang bersama. Sejak itu kami dekat.”
“Oh, kau tinggal dekat dengan Eka?”
Aldo mengangguk. “Ya, sekarang kami tinggal satu apartemen.”

Tiba-tiba waitress  menunjukkan meja kami ke seorang perempuan yang datang memasuki kafe.  Perempuan itu berjalan tergesa ke meja kami dengan wajah agak panik. Mengenakan blazer berwarna krem, high heels, tas jinjing bermerek dan rambutnya yang lurus panjang tampak begitu halus mempesona.  Melihatku duduk termangu menatapnya, tiba-tiba perempuan itu berlari ke arahku dan menubrukku. Napasku sesak dan tercekik karena perempuan itu memelukku begitu kuat. Aku berusaha melepaskan diri dan mencari tahu apa yang telah terjadi di kafe ini. Pikiran konyolku berkhayal aku sedang jadi bulan-bulanan acara reality show sebuah stasiun TV.

“Maaf, Anda… Anda siapa?” tanyaku menghindar dari perempuan itu.
“Riri! Ini aku! Ini aku… Eka!”
Aku menatapnya tak percaya. “Kau…?”
Kau masih mengangguk-angguk dengan gaya yang masih histeris. “Iya, aku sahabat masa kecilmu. Aku juga mantan cinta pertamamu, “ lanjutan kata-kata terakhirnya adalah tawamu dan Aldo yang terbahak-bahak bersahutan.
“Tapi.. kenapa kamu….” Aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku.

 “Ceritanya panjang sayang. Yang pasti inilah aku yang sekarang. Mungkin ibuku dulu benar, bahwa jiwaku yang sesungguhnya adalah perempuan. Sekarang aku telah memilih menjadi aku yang sebenarnya.”
Aldo tersenyum dan menarik lenganmu untuk duduk di pangkuannya. Aku membuang muka, mengenyahkan perasaan campur aduk yang ada di dadaku.

“Aku menemukan kebahagiaanku yang sejati, juga cintaku yang sejati,” katamu sambil mencium pipi Aldo sekilas. “Oh, ayolah, sekarang kamu pasti lapar dan bosan menungguku. Lebih baik kita pesan makanannya.”

Saat kau melambaikan tangan ke arah waitress, dunia di sekelilingku terasa sedikit membingungkan. Aku tidak suka dan tidak bisa menyimpan kenangan, tapi mungkin akan menyimpan satu kenangan hari ini seumur hidupku. Aku menghargai pilihanmu, meski kenyataannya aku merasa kehilanganmu. Angin malam mengempaskan lilin yang ada di depan kami. Remang-remang cahaya menciptakan siluet wajahmu yang cantik tampak memesona. Kau mendekatiku dan memelukku dari belakang, lalu membisikkan kata-kata lama.

“Aku akan mencintaimu selamanya.”
***



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?