Fiction
Kemelut Hati [8]

1 Jul 2012

<< cerita sebelumnya

Suasana desa sudah cukup tenang. Orang-orang kembali dengan pekerjaan masing-masing. Padi di sawah rebah, pertanda bulir-bulirnya sudah berisi, warna kuning keemasan mulai merata. Musim panen akan tiba.

Tapi, sisa-sisa dendam masih terasa. Keluarga Pak Muroji belum menerima kenyataan. Mereka menganggap pihak Pak Sumarjo curang. Namun, semuanya tidak bisa diubah. Pak Sumarjo tetap berhak menduduki jabatan kepala desa.

Nama bapak Nasiyah mulai disebut-sebut. Ada yang mengatakan, ia telah berkhianat. Keluarganya tidak seluruhnya mendukung Pak Muroji. Hanya Nasiyah yang ikut. Yang lainnya hanya berpura-pura. Kang Karto lebih berat pada Juned, karena telah banyak berutang budi pada adik iparnya itu. Desas-desus itu menjadi semacam bensin yang ditumpahkan di atas bara arang kayu. Kabar yang sudah lama terpendam terbakar lagi. Perkawinan itu dibatalkan.

Kali ini tidak main-main. Orang-orang mengatakan, Pak Muroji sendiri yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Pak Muroji sebenarnya tidak pernah menyetujui rencana pernikahan Nasiyah dan Diman.

Bapak Nasiyah, yang selama ini hanya diam, kini angkat bicara. Ia terhina oleh tuduhan itu. Ia tidak takut anak gadisnya tidak jadi menikah dengan Diman. Lagi pula, ia tidak pernah meminta Pak Juhari untuk mengajukan pinangan kepadanya.

Emak Nasiyah menangis. Bibi Darto tidak bisa berkata-kata.

Nasiyah berdiri di jendela kamarnya, memandang burung-burung yang sedang berkicau.

“Apakah orang-orang kecil harus selalu menjadi buah catur bagi orang-orang berharta?” tanyanya, pelan.

Nasiyah melihat sarang burung di pohon cengkih itu sudah kosong dan burung-burung yang beterbangan bertambah banyak. Pastilah telur-telur sudah menetas dan kini sudah menjadi burung-burung.

“Jika aku berasal dari telur dan menetas di pohon cengkih, pasti sekarang aku bisa terbang dan melompat-lompat di dahan.”

Nasiyah menutup jendela, lalu mengempaskan diri di ranjang. Perih hatinya memandangi kelambu, serta dinding-dinding yang sudah diganti dan dikapur. Terbayang bapaknya yang sudah susah payah memanjat pohon kelapa, memetik, dan mengolah kelapa-kelapa itu menjadi kopra. Kain-kain itu masih tertata rapi di dalam lemari. Rencananya, hari ini akan dibawa ke tukang jahit. Tapi, mungkinkah rencana itu dilaksanakan?

Ia hanya mau menjunjung nama baik orang tua. Air mata yang mengalir deras di pipinya tidak lain adalah jelmaan butiran-butiran keringat Bapak dan Emak yang tidak pernah kering, meskipun tiap hari diperas untuknya dan untuk kelima adiknya. Tapi, apa yang bisa ia lakukan sekarang?

Api kecil itu berkedip-kedip tertiup angin. Lingkaran cahayanya jatuh di meja. Remang-remang ruang mempertegas sepi. Binatang-binatang malam mulai memainkan orkes ketika pintu diketuk dari luar. Nasiyah yang membukakan pintu terkejut bukan main. Tapi, ia segera mempersilakan tamu-tamu itu masuk. Bapak dan Emak dipanggilnya. Mereka tidak kalah terkejutnya melihat siapa yang datang.

“Sebelumnya kami minta maaf karena telah mengganggu istirahat Kang Karto. Kami datang untuk meluruskan keadaan. Begini, kami sekeluarga telah memikirkan masak-masak dan mengambil keputusan bahwa kami tidak akan menarik kembali ucapan kami. Kita harus menghormati para tetua yang telah dua kali berunding.”

“Sebelumnya kami juga minta maaf. Bukan berarti kami mengabaikan siapa-siapa, tapi kami pun menyadari bahwa kami hanya orang kecil.”

“Dalam hal ini tidak ada istilah orang kecil ataupun orang besar, Kang Karto. Sekali lagi, kami, atas nama keluarga, minta maaf jika telah menyinggung perasaan keluarga Kang Karto.”

Kang Karto terdiam.

“Baiklah, Kang Karto. Sekarang, segala keputusan saya serahkan sepenuhnya kepada Kang Karto sekeluarga.”

Setelah cukup lama terdiam, akhirnya Kang Karto angkat bicara, “Kesepakatan telah kita buat bersama. Karena itu, keputusan pun sebaiknya tidak diambil secara sepihak.”

“Kalau demikian, kami ingin menyampaikan bahwa kami akan tetap melangsungkan pernikahan Nasiyah dan Diman sesuai kesepakatan terakhir.”

Keputusan itu langsung ditentang keras oleh Pak Muroji. Tapi, semua sudah menjadi ketetapan Pak Juhari dan para tetua keluarganya.

Diman sudah mulai membantu pekerjaan di rumah calon mertuanya, sebagaimana tradisi masyarakat desa itu. Sepulang kerja, ia ke rumah Nasiyah dan malamnya tidur di situ, sebagai tanda bahwa ia tidak keberatan menjadi bagian dari keluarga istrinya. Selain itu, dimaksudkan agar kedua calon pengantin saling mengenal satu sama lain.

Nasiyah sudah mulai melayani Diman, menyediakan dan menemani makan, mencucikan pakaian, serta menyiapkan segala kebutuhan calon suaminya itu. Hanya satu yang belum berani ia lakukan, yaitu menemaninya tidur. Setiap Diman menginap, Nasiyah memilih tidur bersama adik-adiknya.

Seperti halnya calon suaminya, Nasiyah pun harus mulai belajar mengenal keluarga Pak Juhari. Selain berkenalan dengan saudara-saudara Diman, Nasiyah juga harus bersedia menginap di rumah calon mertuanya. Meskipun malu, Nasiyah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun.

Di rumah itu Nasiyah terpaksa tidur sekamar dengan calon suaminya. Meskipun canggung, Nasiyah tidak bisa menolak ketika diminta memijiti badan Diman yang kelelahan. Setelah itu, ia harus membaringkan tubuhnya di samping lelaki yang menjadi sangat asing itu.

Nasiyah berusaha memejamkan mata, tetapi telinganya masih mendengarkan suara-suara di sekitarnya. Desah napas Diman sangat tajam di telinganya. Lalu, pikirannya ke mana-mana, membayangkan adik-adiknya yang ramai berebut tempat tidur.

Tengah malam Nasiyah terbangun, merasakan tubuhnya hangat didekap lelaki yang masih lelap itu. Hati-hati ia melepaskan diri. Diman terbangun.

“Ada apa, Nas?”

“Pukul berapa sekarang?”

Suhardiman menyalakan lampu. “Baru setengah satu. Tidur saja.”

Lama sekali ia termangu di pembaringan, sementara Diman sudah terlelap kembali. Nasiyah berusaha memejamkan matanya, tetapi sudah terbangun lagi saat kokok ayam pertama. Ia beranjak turun dan duduk di depan meja. Dipandanginya buku-buku yang tersusun tidak begitu rapi. Ia mengambil satu, dibuka-buka, sambil sesekali menguap.

Diman terbangun. Lelaki itu tergeragap ketika tidak menjumpai Nasiyah di sisinya. Ia beranjak dari tempat tidur dan mendapati gadis itu termenung.

“Tidak bisa tidur, Nas?”

Gadis itu tidak menjawab. Ia lalu keluar kamar, menemui Bu Juhari yang sedang menyiapkan sarapan. Ia menawarkan bantuan. Bu Juhari menerimanya dengan ramah sehingga Nasiyah mulai merasa nyaman.
Hari itu terasa sangat lama dan menyiksa bagi Nasiyah. Berkali-kali ia teringat rumah. Nenek mencuci peralatan dapur, Emak membungkusi tempe, adik-adiknya menggantikan pekerjaannya sepulang sekolah. Semua itu membuatnya ingin pergi diam-diam dari rumah itu. Tapi, bagaimana kalau nanti ditanya Bapak?

Siang ia lalui dengan berat. Kehadiran Diman tidak begitu menenangkan perasaannya. Nasiyah masih belum merasa bebas berbicara dengannya dan masih risi oleh sikap-sikap mesra lelaki itu. Nasiyah ingin minta diantar pulang. Tapi, kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutnya.

Malam datang lagi. Nasiyah kembali diminta memijit Diman, kali ini hanya kakinya. Lelaki itu kemudian menyuruh Nasiyah duduk di sebelahnya.

“Kamu tidak betah di sini?”

Nasiyah tidak menjawab. Diman menyibakkan anak rambut yang jatuh di kening Nasiyah.

“Lama-kelamaan kamu pasti terbiasa.”

Diman menata bantal, menyisihkan guling ke tepi. Ia meminta Nasiyah berbaring di sebelahnya. Gadis itu menurut saja. Ia menghela napas. Hening. Detak jarum jam dinding menjadi sangat jelas. Perlahan sekali Nasiyah merasakan ada tangan yang meraba perutnya, lalu naik ke dada. Spontan Nasiyah menepiskan tangan itu. Ia berbalik ke dinding, memeluk guling.

“Tidak apa-apa, Nas, kita akan menikah.”

Tangan itu kembali merayap di punggung, turun ke pinggang, juga ke paha. Nasiyah ingin menjerit, tapi tertahan di dada. Tubuhnya gemetar.

“Nas….”

Nasiyah membalikkan tubuh hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah Diman. Sebuah ciuman di leher membuatnya tersentak dan tahu-tahu lelaki itu sudah menindihnya. Tubuh Nasiyah menggigil.

“Mas, jangan….”

“Bukankah aku akan jadi suamimu?”

“Tapi, aku takut.”

“Sekarang, besok, kapan pun, sama saja. Kita pasti melakukannya.”

Diman mematikan lampu. Gemuruh napas berpantulan di dinding.



Penulis: Nawa N.S.



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?