Fiction
Kemelut Hati [3]

1 Jul 2012

<< cerita sebelumnya

Sebagaimana biasa, sehabis mencuci pakaian, Nasiyah sarapan dengan lahap. Ia yang semula kedinginan jadi berkeringat kembali. Terdengar suara gaduh Ahmad dari kamar paling belakang.

“Biarkan, dia sedang bersama teman-temannya,” kata Nenek.

Tapi, Nasiyah bergegas ke kamar, melihat Ahmad bersama Danu dan Sarno sedang berlompat-lompatan di atas pembaringan. Bantal, selimut, kain, dan pakaian berserakan memenuhi tempat tidur, bahkan ada yang jatuh ke tanah. Mereka tampak asyik sekali dengan kereyotan bunyi tempat tidur itu.

“Mamad, turun!”

Menyadari kehadiran Nasiyah, ketiga anak itu berhenti dan menengok ke pintu, melihat Nasiyah berdiri dengan kesal. Kedua teman Ahmad ketakutan, namun Ahmad tampak tidak peduli. Nasiyah mendekat, menarik adiknya.

“Ayo, keluar!”

Ahmad meronta, sambil berteriak-teriak, tidak mau pergi dari tempat itu. Kedua teman Ahmad sudah keluar, tapi Ahmad tetap membandel. Karena marah, Nasiyah memukul pantatnya sehingga Ahmad menangis. Nenek masuk.

“Jangan sakiti adikmu, Nas. Dia tidak tahu apa-apa!”

Nenek membujuk Ahmad. Tapi, anak itu kalau sudah menangis sulit dihentikan. Tanpa putus asa Nenek terus berusaha agar cucunya itu diam. Nasiyah merapikan kembali tempat tidur yang berantakan.

“Kalau bermain, jangan di kamar orang tua. Ora ilok (tidak pantas).”

Mendengar komentar Nasiyah, tangis Ahmad kembali meledak.

“Sudah, tidak usah kamu bereskan! Ini tempat tidurku!” kata Nenek. “Apa jadinya kalau aku mati. Anak ini akan disia-siakan. Mentang-mentang lebih besar, kamu merasa bisa marah-marah seenaknya. Oalah, Nas, kamu yang bersikap tidak pantas. Kamu ini perempuan, bakal jadi ibu, tidak pantas berbuat seperti itu. Perempuan itu harus sabar, lembut, penuh perasaan.”

Nenek berhasil membujuk Ahmad agar tidak menangis lagi dengan permainan yang menyenangkan.
“Sekarang kita main jaran-jaranan (kuda-kudaan), yuk! Nenek jadi kudanya, kamu yang menunggang.”

Nenek berjongkok. Anak kecil itu ditarik ke punggungnya. Nenek berjalan membungkuk-bungkuk, sambil menembang. Ahmad terkekeh-kekeh. Ia berjingkrakan di punggung Nenek dan memintanya mengulanginya berkali-kali. Nasiyah menghentikan permainan dan menyuruhnya turun. Ia takut Nenek tak kuat dan Ahmad terjatuh.

“Sudah, tidak apa-apa. Aku masih kuat menggendong cucuku yang ganteng ini, kok.”

Ahmad dibawa masuk lagi ke kamar. Mereka bermain kuda-kudaan di tempat tidur. Nenek memang sangat menyayangi Ahmad, lebih dari yang lain, karena dialah satu-satunya cucu laki-laki. Tapi, bukan berarti ia tidak perhatian terhadap cucu-cucunya yang lain. Nenek adalah perempuan tua yang setia. Meski bukan ibu kandung Emak, Nenek tetap mencurahkan seluruh cintanya kepada keluarga itu. Seluruh hidupnya telah ia abdikan untuk kebahagiaan anak semata wayang dan cucu-cucunya. Nenek juga yang paling bahagia ketika Nasiyah dilamar Pak Guru Diman. Perempuan tua itu bahkan sampai berpuasa selama tujuh hari berturut-turut untuk mengungkapkan rasa syukurnya. Ia tidak berhenti berdoa agar ia bisa menyaksikan kelahiran buyut pertamanya kelak.

Permainan itu berhenti. Sepertinya Ahmad tertidur. Tidak lama kemudian Emak pulang dari pasar. Emak duduk di dipan, membantu Nasiyah membungkusi tempe.

“Tadi mamake (ibunya) Diman ke pasar. Kamu diminta ke sana.”

“Ke rumahnya?”

“Ya. Aku sudah belikan gula dan teh. Nanti kamu juga bawa tempe.”

“Tidak usah, Mak. Paling dia hanya basa-basi.”

“Eh, tidak usah bagaimana? Dia itu calon mertuamu, Nas. Meski cuma basa-basi atau tidak diminta sekalipun, kamu harus sering ke sana, sebagai sikap menghormati. Kalau kamu malu, kamu bisa minta tolong Bibi Darto untuk menemani. Nanti biar aku yang ngomong pada bibimu.”

Nasiyah masuk ke kamarnya. Ia tidak langsung berganti baju, melainkan berdiri dekat jendela. Ia memandangi tanaman ubi kayu yang sudah siap dipanen. Batangnya ramping tinggi, bercabang dua atau tiga, melengkung membentuk huruf U atau V. Daunnya yang hijau segar merimbun di atasnya, menaungi tanah kebun yang kelihatan bersih itu.

Khotimah dan Hamidah, dua adiknya yang lain, beserta kawan-kawannya, hampir setiap hari menggunakan tempat itu untuk bermain pasar-pasaran. Persis seperti masa kanak-kanaknya dulu. Di tempat itu mereka membuat rumah-rumahan atau gubuk. Tali panjang dari pelepah pisang yang disambung-sambung, diikatkan dan dihubungkan dari satu pohon ke pohon lain, membentuk semacam ruangan segi empat, lima, atau enam. Pada tali-tali itu kemudian diikatkan daun-daun pisang yang disisir sebagai dindingnya.

Satu gubuk biasanya ditempati satu kelompok yang terdiri dari tiga atau empat anak. Dalam satu kelompok mereka membagi peran sebagai bapak, ibu, dan anak. Mereka adalah satu keluarga, sedangkan kelompok lain tetangga. Permainan mereka menirukan kegiatan bermasyarakat. Mereka juga mengadakan kegiatan seperti arisan, berjualan di pasar, atau menyelenggarakan pesta pernikahan.

Kening Nasiyah berkerut melihat burung-burung ikut tertawa. Ia mundur dari jendela, bergegas keluar kamar, tapi di pintu sudah berdiri Bibi Darto.

“Kita berangkat sekarang, Nas?”

Nasiyah menarik napas panjang.

“Dulu, aku juga seperti kamu. Deg-degan ketika pertama kali bertemu calon mertua. Bingung, tidak tahu harus berbuat apa kalau sudah di sana. Tapi, lama-lama terbiasa. Apalagi, Bu Juhari, ibunya Diman itu, orangnya sangat baik dan ramah. Kamu tidak usah….”

“Maaf, Bi, aku mau ganti baju dulu.”

“Oh, aku keluar dulu. Bibi maklum, kamu masih gadis, pasti malu. Tapi, nanti, kalau sudah punya anak, kamu tidak akan sungkan-sungkan lagi menyusui di depan orang.”

Nasiyah menarik bibir ke samping, sambil mengangkat bahu. Burung-burung masih tampak mengusungi rumput-rumput kering ke pohon cengkih. Angin perlahan menerobos jendela, membawa sinar matahari hangat. Debu basah mulai menggantikan embun. Sehelai daun cengkih melayang jatuh. Mungkin karena aktivitas burung, mungkin juga karena angin. Atau, boleh jadi memang sudah saatnya gugur. Warnanya kuning keemasan seperti selendang para bidadari yang turun mandi ke kali atau bedak lulur di tubuh pengantin menjelang naik pelaminan.
Nasiyah melangkah ke lemari. Ia buka daunnya dengan hati-hati sebab satu engselnya rusak. Namun, pintu itu berderit tajam lantas jatuh ke tanah. Nasiyah segera melompat hingga daun pintu itu tidak menimpa dirinya.

“Ada apa? Ada apa, Nas?”

Perempuan-perempuan di luar kamar itu tergopoh-gopoh masuk.

“Kamu tidak apa-apa?”

Nenek tampak sangat khawatir, memegangi Nasiyah yang duduk di tepi pembaringan, sambil menahan degup kencang dalam dada. Napasnya turun-naik. Nenek mengelus-elus punggungnya.

“Biar diperbaiki Bapak nanti. Sekarang kamu siap-siap saja. Kasihan bibimu menunggu terlalu lama,” kata Emak.
Ketiga perempuan itu kemudian membantu Nasiyah mengangkat daun lemari dan menyandarkannya ke dinding. Setelah itu Emak dan Nenek keluar. Bibi ingin membantu memilihkan baju yang akan dipakai keponakannya.

|“Tidak usah, Bi. Terima kasih.”

“Susah, ya, jadi menantu orang kaya. Tapi, Bu Juhari itu baik, kok. Apalagi, kamu anak pintar, terpelajar. Bibi yakin kamu akan bisa meladeninya. Beliau pasti suka kepadamu karena kamu rajin, perhatian, penurut.”

“Bi, saya mau ganti pakaian dulu.”

Bibi langsung keluar. Tanpa banyak pertimbangan lagi Nasiyah langsung berganti pakaian, bersisir sebentar, lalu keluar.

“Kenapa pakai yang itu, Nas? Tapi, tidak apa-apa. Apa pun yang dikenakan, keponakanku ini tetap cantik.”

“Ayo, kita pergi sekarang, Bi.”

Nasiyah menyambar tas plastik hitam yang sudah sejak tadi disiapkan Emak. Tanpa berkata-kata lagi, ia bergegas keluar, sementara Bibi Darto masih bercakap-cakap dengan ibunya.

Tapak sandal Nasiyah lekat-lekat di jalan berbatu itu. Debu hangat menghambur lembut. Ia berhenti, menengok ke pintu rumahnya. Bibi Darto belum juga muncul. Ia menepi di bawah pohon pisang. Seekor capung melintas di depannya, terbang ke arah persawahan, bersama capung lain yang berhamburan di atas hamparan hijau tua, yang bergelombang ditiup angin. Mereka hinggap di atas bunga-bunga kecipir yang tumbuh di pematang sawah. Sebagian masih melayang-layang, lalu berkepakan ke pucuk bunga jagung.

Bocah-bocah kecil, yang tadi bermain rumah-rumahan, mengucapkan ‘mantra’ untuk menangkap capung-capung. Di tangan mereka terentang tali dari kulit pohon pisang. Pada ujung tali tersebut diikatkan seekor capung kecil yang berhasil mereka tangkap. Mereka memutar-mutar tali itu di udara sambil terus mengucapkan, “Kemalo kemalo kinjeng kebo setompo.”

Tali mengencang dan putarannya menjadi berat saat seekor capung besar hinggap di ujungnya. Inilah yang mereka harapkan, menangkap capung-capung besar dengan mudah. Mereka lakukan hal itu berulang-ulang hingga plastik mereka penuh.

Nasiyah ingin berada di sana bersama kawan-kawannya.

“Kulanuwun (permisi)….”

Sambil menunggu jawaban, Nasiyah menengok ke atap teras rumah itu. Seekor burung derkuku sedang naik-turun di dalam sangkar. Sesekali ia melompat-lompat ke samping, mencakar-cakar jeruji, seakan mau keluar. Berkali-kali ia menekukur, menjawab salam mereka, dan mempersilakan masuk. Tampaknya, ia ingin terbang, memanggil tuan rumah.

“Kulanuwun ….” Suara Bi Darto yang cempreng itu meninggi.

Sepi.

“Coba, lewat belakang,” kata seorang tetangga yang sejak tadi memerhatikan keduanya. “Mungkin sedang di dapur.”

Keduanya siap beranjak meninggalkan depan pintu itu ketika terdengar langkah kaki dari dalam, mendekat ke arah mereka.

“Oh, silakan, Yu (panggilan kepada wanita yang lebih tua).”

“Saya Yu Darto, Bu. Adiknya Kang Karto. Saya bibinya Nasiyah. Saya mengantar Nasiyah. Katanya, dia ingin menemui calon mertua, tapi tidak berani sendiri. Maklum, Bu, dia memang pemalu.”

“O, begitu. Ayo, silakan masuk.”

“Terima kasih, Bu. “Ini ada titipan dari emaknya Nasiyah.”

Bibi Darto menyikut Nasiyah, mengisyaratkan kepadanya agar memberikan bungkusan plastik di tangannya.

“Ah, kok, repot-repot.”

“Tidak, kok, Bu. Hanya tempe dan gula.”

“Terima kasih. Ayo, silakan duduk. Saya tinggal sebentar, ya?”

Nasiyah memerhatikan dengan ekor matanya. Ia biarkan bibinya mengamati penampilan Bu Juhari dari belakang. Tapi, perhatiannya tertuju pada sanggul jatuh yang rapi itu, sepasang giwang di telinga, dan kalung emas yang memantulkan sinar seperti bintang. Baju berwarna putih gading itu berkelebat, menyibakkan betis mulus dengan tumit halus, tanpa garis-garis pecah cokelat tua, seperti pada kaki Bibi Darto. Kemudian sosok itu hilang di balik gorden pintu.

“Benar kan, calon mertuamu itu sangat baik?”

Nasiyah melenguh lirih. Ia mulai gelisah di kursi empuk itu. Matanya ragu-ragu menyapu seluruh ruangan. Di depannya ada meja kaca bertaplak mungil, di atasnya vas keramik dengan mawar plastik merah tua. Di bawahnya tersusun rapi beberapa majalah. Lantai semen itu hitam mengilap, seolah tak sebutir debu pun melekat di sana. Ada lemari yang memajang piring, gelas, dan hiasan keramik lainnya. Tiga bingkai foto berderet sejajar berisi gambar seluruh anggota keluarga.

“Sebentar lagi kamu akan tinggal di sini, Nas.”

Gadis itu mendesah. Angin dari luar menembus pori-pori. Gorden-gorden jendela berkelebat. Desisnya merebak jauh ke dalam perasaan. Nasiyah melirik Bibi Darto. Perempuan itu masih memandangi ruang tamu itu, sambil bergumam tidak jelas.

“Kita jangan lama-lama, ya, Bi?”

“Kamu tidak boleh begitu, Nas. Diman kan belum pulang.”

“Tapi, Bi….”

Bu Juhari muncul.

“Maaf, agak lama, soalnya tadi saya belum selesai menjemur pakaian.”

“Tidak apa-apa, Bu. Maaf, jadi merepotkan.”

“Ah, tidak. Sesibuk-sibuknya saya, paling, ya, mencuci, memasak, membersihkan rumah.
Keduanya tertawa ringan.

“Silakan minum. Ayo, kuenya juga dicicipi. Buatan sendiri, lho.”

Bi Darto minum dan mencicipi kue itu dengan semangat.

“Hmm, enak sekali. Ayo, Nas, jangan malu-malu. Wah, Bu Juhari ini memang terampil. Jarang, lho, ada orang yang bisa membuat kue seenak ini. Kue pasar sering tidak jelas rasanya. Makanya, Bapak dan anak-anak lebih suka dibelikan getuk. Tapi, kue buatan Bu Juhari ini betul-betul enak. Nanti kamu bisa minta diajari, Nas.”

Nasiyah beringsut, mengambil sepotong, lalu digigitnya sedikit-sedikit. Meski makan dengan hati-hati, remahan kue tetap berjatuhan. Ia jadi salah tingkah. Ekor matanya mencari-cari sapu. Ah, mana mungkin ada benda tergeletak sembarangan di ruang seperti ini? Nasiyah lalu menggeser-geserkan kakinya, menyembunyikan remah-remah itu, sehingga tidak bisa konsentrasi mendengarkan percakapan Bibi Darto dan Bu Juhari. Nasiyah tidak begitu paham topik pembicaraan yang membuat mereka sangat asyik dan kelihatan akrab.


Penulis: Nawa N.S



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?