Fiction
Kekasih Jiwa [2]

19 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

“Ya. Aku akan menelepon kantor. Sebaiknya kamu pulang. Aku bisa minta temanku menunggui aku di sini.”

”Kau tidak apa-apa kalau aku tinggal sebentar?” aku ragu, enggan sekali meninggalkannya sendiri.

”Tentu saja. Tolong beri tahu dokter, aku ingin secepatnya keluar dari sini.”

”Oke. Tapi, sebaiknya aku bantu kau sarapan dulu.”

”Terima kasih. Aku memang lapar.” Mata gadis ini jujur sekali.

Dan, lima hari berikutnya, aku dengan setia menemaninya, setiap pulang kerja sampai pagi. Tak ada keluarga, teman kos, atau teman kantornya yang ikut menjaga. Mereka memang sering datang menengok, tapi tidak menginap. Itu membuatku bisa merawatnya, menyuapinya, membersihkan lukanya, membantunya menggosok gigi setiap pagi dan malam, membetulkan selimutnya saat dia terlelap tidur. Aku senang melakukannya sendiri. Indra adalah pasien yang manis, tidak rewel, dan sangat tenang. Indra tidak pernah mengeluh dan aku mulai jatuh cinta padanya....

Sepulang Indra dari rumah sakit, aku seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun. Berminggu-minggu selanjutnya, aku begitu rajin menengoknya, mengantar dan menjemputnya dari kantor. Kami mulai saling membagi segala sesuatu, termasuk hati kami.

Dia sangat baik. Saat aku memberi tahu bahwa aku sudah bertunangan, Indra dengan halus meminta maaf padaku, karena dia telah berharap banyak untuk bisa bersamaku. Dan, aku tidak bisa meninggalkannya, sekalipun sudah aku coba puluhan kali. Gadis ini menyayangi aku dengan caranya sendiri. Ketulusannya membuatku rapuh.

”Sayang, bangun!” Aku tergeragap. Anne mengguncang pundakku keras. ”Kau kelihatannya capek sekali.”

”Aku banyak lembur, proyek di Cilegon membuatku kurang tidur.” Aku meneguk air yang disodorkan Anne.

”Tapi, hari ini kau janji mau ajak aku nonton, ’kan?

”Ya. Pasti.” Aku menegakkan dudukku. ”Papamu mana?”

”Kamu ketiduran. Kata Papa, pestanya dibicarakan besok saja.”

Aku memejamkan mata sekilas. Besok aku janji mengantar Indra ke Bogor. ”Ayo, berangkat. Nanti terlalu malam.”

”Kan kita memang mau nonton yang midnight.” Anne memandangku bingung. ”Kamu kenapa, sih?”

”Sorry, orang ketiduran kan nyawanya susah dikumpulkan.”

Indra akan tertawa terbahak-bahak kalau aku melucu. Tapi, Anne menanggapi dengan senyum kesal.

”Ya, sudah. Kita cari makan dulu.”

Aku memeluk bahunya. Tidak seperti dulu. Aku dulu menggenggam jarinya.

Aku menyetir perlahan. Anne mulai mencari-cari gelombang radio dan bernyanyi kecil. Pikiranku melayang. Indra selalu duduk manis dan mengobrol, sambil bercanda.

Esok paginya, Indra menanggapi telepon permohonan maafku dengan diam sejenak, lalu tertawa kecil. ”Tidak apa-apa. Aku juga diajak memancing oleh teman-teman. Ke Bogor-nya besok saja. Cuma mencari tas pesanan kakakku, kok.”

”Bagaimana kalau nanti malam kita cari di mal dekat sini?”

”Kakakku minta ganti tas yang sama persis dengan yang aku rusakkan. Dulu belinya di Bogor. Harus sama persis. Tapi, tidak harus buru-buru, kok.”

”Kalau begitu, nanti sore aku secepatnya ke tempatmu. Kalau tidak keburu, Sabtu atau Minggu besok, ya?”

”Oke.” Indra menutup ponselnya. Aku berniat menyelesaikan urusanku secepatnya dan akan mengajak Indra keluar, sekadar makan malam.

Setengah jam kemudian, aku duduk mendengarkan wedding planner yang mengoceh dengan semangat. Sementara mata orang-orang di sekitarnya, kedua calon mertuaku, calon istriku, dan calon pengiring pengantinku, berbinar-binar.

Ternyata, semua meleset dari dugaanku. Urusan ini menyita waktuku lebih dari seharian. Pukul sembilan malam, aku baru terbebas dari semuanya. Aku menghubungi ponsel Indra. Tidak aktif. Kutelepon tempat kosnya. Temannya menjawab, Indra ke Bogor bersama teman-temannya dan belum pulang.

Aku putuskan untuk pulang, masuk ke apartemenku dan merebahkan diri di sofa. Indra tidak pernah tergantung padaku. Dia akan menyelesaikanmasalahnya sendiri, sekalipun aku sudah berjanji akan membantunya. Indra juga tidak pernah menuntut janji, bahkan dengan manis akan mencoba membuatku merasa tidak bersalah. Hal-hal kecil yang makin membuatku jatuh hati padanya.

Waku seperti mengejar dan menuntutku. Mau tidak mau, aku harus melepas Indra. Aku kasihan terhadapnya, kalaupun aku harus mengeraskan hati mempertahankan Indra. Ketulusannya padaku, meluluhlantakkan diriku yang dikenal sebagai penakluk wanita.

Indra bukan wanita pertama yang menjadi selingkuhanku, selama aku menjalin hubungan dengan Anne. Aku seorang sarjana teknik, bekerja di lapangan sebagai perancang proyek bangunan besar. Seks menjadi sebuah kebutuhan bagiku. Perselingkuhanku dengan wanita-wanita itu hanya demi seks. Bukan cinta.

Uang bukan masalah besar bagiku. Gaji sebulanku tidak habis dalam tiga bulan, di luar lembur dan bonus lain. Kadang-kadang aku tergoda memancing Indra untuk berbuat iseng, seperti yang aku lakukan bersama dengan wanita-wanita sebelumnya. Tapi, tatapan matanya, ketulusan dan pengertiannya, membuat aku lunglai. Mata Indra penuh dengan cinta, atau lebih tepatnya penuh kasih sayang. Aku sungguh menyayangi gadis ini dan tidak ingin menyentuhnya....

”Hai,” Indra menyapaku ramah, sambil duduk di sampingku. Aku menjemputnya di kampus, tempatnya mengambil kuliah malam.

”Hai,” aku mencium pipinya, mengacak rambutnya, dan menjalankan mobil perlahan. ”Bagaimana kuliahmu?”

”Ada dosen yang memintaku mengulang ujian.”

”Kenapa begitu?”

”Aku membuatnya kecewa dengan nilai C.” Indra tertawa. ”Aku lapar sekali. Sejak siang belum sempat makan.”

”Kau mau makan apa?”

Aku selalu ingin memanjakannya. Terkadang aku mengira, aku hanya kasihan melihat keadaan Indra yang kelihatannya miskin. Bekerja dan kuliah, kadang-kadang masih saja dia mengajar les privat anak-anak sekolah. Tapi, sekarang aku tahu, aku kagum, bukan kasihan. Sekalipun keadaannya seperti orang yang kekurangan uang, belum pernah sekali pun aku mendengar Indra mengeluh soal uang. Bahkan, dengan senang hati memberikan uangnya untuk para pengemis di setiap lampu merah. Indra mempunyai kebaikan hati yang alami.

”Kau kurus sekali,” Indra memandangku dengan sayang.

”Terlalu banyak memikirkan kamu,” aku bercanda, sambil meraih kepalanya dan mengecupnya. ”Ayo, kita cari makan. Biar aku gemuk lagi.”

Indra tertawa kecil. ”Aku ingin makan ayam fast food.”

”Aku juga ingin.” Aku tersenyum, membelokkan mobil ke arah Stasiun Cikini. Anne tidak pernah mau makanan tidak sehat seperti itu. Tapi, Indra begitu suka menikmati ayam crispy. Indra membuatku ikut bersedia berdiri mengantre untuk mendapatkan makanan ini.

”Kamu baik sekali,” Indra selalu mengatakan kalimat itu, setiap kukabulkan permintaannya. Aku memang selalu mengabulkannya.

”Kamu juga,” kugenggam jarinya. Tak sehalus tangan Anne.

”Enak?” Aku tertawa melihatnya menyesap tulang ayam.

”Enak sekali. Ini makanan yang cukup mewah untuk kantong mahasiswa yang harus membiayai kuliahnya sendiri. Kamu nggak suka, ya?”

Aku suka melihat caranya makan. Sejak pertama aku mengajaknya makan, sampai sekarang, caranya tetap sama: menikmati tanpa dibuat-buat.

”Aku suka, kok. Enak sekali.” Aku berusaha memberi kesan bahwa makanan ini sangat enak. Dan memang enak, meski kurang sehat.

”Ini untuk kamu,” seperti biasa, Indra memberikan dagingnya untukku, setelah mengupas kulit dan melolosi tulang-tulangnya. Gadis yang unik sekali. Aku melakukan hal yang sama dan memberikan kulit bertepung garing pada Indra.

”Aku mau pulang besok.”

Aku terbatuk. Indra cepat memberikan minum untukku.

”Ngapain? Kamu mau dinikahkan, ya?”

”Ngawur! Kamu, tuh, yang.... Maaf.” Indra terdiam sejenak. ”Ma-ma masuk rumah sakit.”

”Sakit apa?”

”Biasalah. Mama kan sering sulit menjaga makan. Darah tinggi, asam urat, entah apa lagi. Mamaku bandel banget.”

Aku memandang Indra. Gadis ini sungguh manis. Dia tidak pernah menarik perhatianku dengan hal-hal yang mempriha­tinkan. Biasanya, para gadis akan memanfaatkan kesusahannya untuk lebih menarik simpati pasangannya.

”Perlu aku antar?”

”Tidak usah. Aku biasa pulang sendiri, kok.”

”Berapa hari kamu di sana?” Aku merasa sudah ditinggalkan.

”Mungkin tiga atau empat hari. Aku cuti lima hari.” Kebetul­an tidak ada ujian

”Kau janji akan hati-hati.” Aku mengusap pipinya.

”Ya.” Indra mengambil tanganku, menggenggam erat, ”Kau juga, ya. Jangan tidur malam terus. Kau sudah terlalu kurus.”

”Aku janji.” Aku ingin sekali memeluknya dan memberikan apa saja untuk menebus rasa bersalahku, karena selalu membiarkan dia mengurus masalahnya sendiri.

”Kita pulang, yuk.” Indra mengajakku berdiri. Aku mengangguk dan menggandengnya keluar. Kami masuk mobil dengan diam.

”Leo, aku....”

”Ssst... aku tidak pisah dari kamu, Indra.” Aku memeluknya dengan sepenuh jiwaku. ”Aku sayang sekali padamu.”


Penulis: Lie Phan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?