Fiction
Kejora Membunuh Cahaya [1]

30 Jun 2011

Duh, Gusti, aku tidak pernah protes ketika hidup selalu mendahulukan kepentingan para lelaki. Tetapi, benarkah semesta ini Kau ciptakan hanya untuk mereka, tanpa menyisakan secuil pun, bahkan seukuran rambut, bagi sebentuk mimpi wanita biasa, yang ingin mendapatkan sebentuk cinta sederhana. Di mana aku mencintainya dan dia mencintaiku. Tak perlu serumit jalinan satelit.

Wayang-wayang yang disentuhnya seperti menjelma hidup. Riwayatnya berkilau, geraknya bernapas dan suaranya detak jantung. Wanita itu menciptakan semesta mungil yang mengundangku untuk menjadi bagian elemennya. Mengagumi kegagahan Bima, terpesona ketampanan tanpa cacat Arjuna atau menyimpan amarah perih Drupadi. Kakiku tak berpijak, imajiku mengambil alih dan aku terbang seperti sihir.

Wayang-wayang itu bukan lagi selembar kulit sapi, melainkan potongan jiwa yang butuh penyatuan. Wanita itu menghidupkannya. Mencipta semestanya. Ia mampu membunuh kesatria sakti, menghentikan perang, membendung banjir darah dan menentukan nasib semua tokoh. Tapi, ia tak pernah bisa menuliskan nasib bagi dirinya sendiri.

Bu Dalang, demikian aku dan banyak orang di Kompleks Tanjung Palapa, salah satu ceruk Jakarta, memanggilnya. Ketika dalang identik sebagai profesi laki- laki, Bu Dalang membalikkan pendapat umum itu. Dia adalah sedikit dari wanita yang bertahan hingga kini, kukuh, tak riuh memperdebatkan gender. Kidungnya merdu, mengumandangkan kebersandingan tanpa menuntut slogan kesetaraan. Lakunya tetap menjadi ‘perawan’ para wayang.

Ya, secara fisik wanita itu memang telah menikah. Punya anak dan cucu. Tetapi, secara jiwa, di masih selalu menyimpan keperawanannya. Untuk lelaki yang menambahkan satu kata dalam kamus hidupnya: asmara cipta. Asmara cipta adalah cinta yang paling tak terdefinisi. Dalam asmara cipta, pasangannya adalah sigaraning jiwa, soulmate yang sesungguhnya. Tak hanya nafsu dan sayang kadang bukan jodohnya. Orang yang saling jatuh cinta tidak harus bertemu, apalagi bersinggungan badan. Cukup masing-masing mengheningkan cipta, maka keduanya akan menyatu, saat itu juga.

Cinta platonis yang aku menyebutnya sebagai penyebab matinya kewarasan. Namun, dia mengatakan sebagai energi yang menjadikannya eksis, hingga detik ini. Sejak kecil, Bu Dalang selalu dianggap cadangan setelah kakak-kakaknya. Bukan karena nakal atau memalukan, tetapi karena dia anak perempuan.

Lalu ia mendapatkan energi dari cinta belianya untuk mendobrak semua itu. Cinta yang tak disangka bukan sekadar cinta monyet. Namun, begitu mendalam, hingga melebihi dalamnya harapan. Energi itulah yang membawanya tersesat dalam cinta. Wayang-wayang itu perwujudannya. Menobatkan dirinya menjadi wanita dalang ternama di negeri ini. Energi itu seperti matahari yang menghidupkan bumi. Menumbuhkan bayi biji tumbuh dan berpucuk. Kadang-kadang murkanya membakar bunga dan seratnya tanpa ampun. Mereka tak pernah bisa menyatu, tapi cukup saling ada.

Lakon 1. Pendhapa suwung 1)
Sungguh tak pernah kuduga, Jakarta yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi sebagai kota megapolitan, masih menyisakan sebuah ruang sempit untuk napas kampung halaman. Seperangkat pagelaran wayang kulit! Aku bisa melihat pagelaran wayang lengkap dengan penontonnya, dengan dialek yang renyah khas Jawa Tengah di bangku penonton. Seperti sepotong tanah lahir yang dipaketkan, lantas ditumbuhkan di kota megapolitan. Ini bukanlah pagelaran di anjungan Jawa Tengah, TMII. Tetapi di sebuah rumah warga kebanyakan yang tengah mengadakan syukuran kenaikan jabatan.

Berlatar gedung tegak menyangga langit malam, kelir putih itu digelar. Di baliknya ratusan wayang tertata rapi di kanan dan kiri dengan menyisakan ruang kosong di tengahnya. Inti dari ruang kosong tertancap gunungan, segitiga sarat makna yang mengawali dan nantinya mengakhiri kisah yang digelar. Liukan blencong 2) menjadikan wayang-wayang yang tertancap di batang pisang bergerak, meliuk dan menari. Mereka hidup!

Di balik panggung, tak jauh dari wayang-wayang yang hidup itu, aku berdiri canggung. Keringat dingin mengalir di tengkuk, lalu melumer di dadaku. Jarum jam di pergelanganku sudah menunjuk angka 7.

“Setiap wanita itu punya jiwa seni, karena wanita adalah seni terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Hanya tinggal kita memercayainya,” ujarnya, ketika aku menolak untuk mendandaninya tempo hari. Kini aku sedang berusaha keras menjelma menjadi perias. Padahal, aku sendiri jarang sekali berias diri. Di ruangan sempit, tanpa cermin dan pernik salon, kugoreskan satu demi satu peralatan make up ke wajahnya. Jelas menggoreskan eye shadow, blush on, beda dengan menorehkan cat air di kain kanvas. Ada pori-pori yang hidup. Bernapas. Itu membuatku mengerut. Mau tak mau tanganku bergetar.

 “Nduk, tolong lihat apakah sudah sama kanan dan kirinya,” kata Bu Dalang, sembari merapikan sanggulnya. Aku menggigil bukan karena malam yang  makin dingin. Tetapi hatiku kebas menerima tanggung jawab ini. Terlintas dalam benakku, malam ini akan muncul wanita yang akan menjadi poros di sebuah pertunjukan dengan dandanan yang mengerikan hasil karya perias jadi–jadian. Duh, Gusti, Engkau Maha Bisa, tunjukkan keindahan-Mu melalui jemariku, doaku, merapal mantra.

Tuhan mendengar doa hamba-Nya yang terdesak. Lihatlah, hasil goresan tanganku mampu memanggil kembali kecantikan masa silam yang terkubur usia. Kendati tak mampu melumerkan derita misterius yang bertakhta di pesona sepasang matanya. Atau karena derita misterius itu yang membuat parasnya mengundang rasa?  Tubuhnya seperti magnet, menarik siapa saja
untuk mendekat.

Dengan sedikit percaya diri, aku mulai melilitkan kain tepat pada posisinya. Hingga motif parang barong nyambung satu sisi dengan yang lainnya. Parang barong adalah motif yang hanya boleh dikenakan oleh bangsawan keraton. Benarkah Bu Dalang berdarah biru? Dia tak pernah mau memperbincangkan. Hanya saja, aku bisa merasakan aura kuat ketika berada di sisinya. Kini, dengan kebaya warna maroon, Bu Dalang menjelma menjadi ratu dari kerajaan malam. Bukan lagi nenek- nenek pemilik asrama.

Tinggal sentuhan terakhir, roncean melati yang aku sematkan di sanggulnya. Aromanya mengharumkan malam. Tiba-tiba menyentuh sarafku. Membangkitkan memori akan seseorang. Jasmin. Dulu seseorang kerap memetikkannya untukku.
Ah, sudahlah.

“Nanti tolong ambil gambarnya setiap adegan yang penting, ya, Nduk. Di sini nanti tidak akan ada perang dahsyat. Tapi, kamu pasti akan tahu mana adegan penting itu,” pesan Bu Dalang, sebelum menuju ke panggung. Kugenggam erat D300 yang bergantung manis di lenganku. Berhala hitam yang membuatku mampu mengalahkan keraguan. Aku mengangguk yakin.

Catatan:
1) Lambang dunia dan manusia semula diciptakan dari tiada oleh Tuhan.
2) Lampu minyak untuk pertunjukan wayang hingga menimbulkan bayangan di kelir (layar). Wayang pun menjadi hidup.


Penulis: Titik Kartitiani
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2009



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?