Fiction
Kejora Membunuh Cahaya [8]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Suatu hari, Ibu akan membuatkan sulaman yang begitu megah, tekun untuk baju–baju Nyai Wuning yang disulamkan pada ibuku. Tapi, di sisi lain, mata Ibu selalu ingin membunuh Nyai Wuning. Walau akhirnya mata Ibu terpejam dan menunduk, jika di hadapan Ayah. Aku tidak pernah tahu, apa yang terjadi di antara mereka. Yang jelas, ibuku melarangku  untuk bersentuhan dengan wayang, walau aku selalu melanggar. Bahkan, rela menerobos jendela dan melompati pagar demi pertunjukan wayang. Gending itu, gamelan itu, liukan bayangan wayang yang terpahat di kelir, selalu memanggil hasratku. Seperti malam itu juga.

Cara bikang yang manis dan lembut berulang kali tak mampu meredakan rasa pahitku. Telinga ini masih memerah bekas Ibu menjewernya tadi, karena aku nekat menyusup di balik gong. Dan nyaris saja kepalaku terjepit logam yang ukurannya bisa menelan tubuhku. Kalau saja tak di muka pentas, Ibu pastilah sudah membunuhku. Dengan melesakkan tubuhku lebih dalam lagi ke kuningan berat itu. Lalu telingaku serasa mau putus. Sakit telinga tak seberapa, tapi makian ibuku sungguh melemahkan tulang–tulangku.

“Rumi, aku tidak pernah melahirkan wanita murahan! Kau tahu itu?!” bisik ibuku, sembari menjambak rambutku, lantas menggelandangnya jauh dari pakeliran. Tak ada satu pun yang peduli, bahkan melihat pun tidak. Ibuku melakukannya dengan akurat, karena sudah terbiasa. Yang menjadi tak biasa adalah makiannya. Ibu tak pernah memaki, apalagi sekasar itu. Bagaimana mungkin aku, anak perempuan satu–satunya, yang bahkan wajahnya mirip dia, dimaki sebagai perempuan murahan. Apakah menonton wayang, mencintai wayang sama halnya dengan melacurkan diri? Mengingat itu, perlahan aku menangis. Cara bikang pun terasa menjadi ampas kelapa.

Saat itu, ada jemari hangat yang menyentuh pundakku. Bukan sosok asing, tapi tiba–tiba ia hadir dalam wujud yang berbeda. Bukan karena beskap yang dikenakan mampu memanggil pesonanya, yang selama ini tak pernah tampak ketika ia hanya memakai kaus oblong. Dia hadir sebagai hujan yang menyiram bara dendam.

“Kau menangis lagi? Nyala api akan pudar, jika kau biarkan air matamu mengalir,” ujarnya, lembut. Lalu ia menghapus air mataku dengan jemarinya. Ini untuk pertama kalinya ia melakukan itu. Apakah karena alunan tembang Asmaradana menumbuhkan pucuk–pucuk asmara yang lelah melembaga. Aku merasakan kehadirannya sebagai Wong Agung Jayengrana.

“Suatu saat nanti, kau akan menjadi dalang terkenal. Aku akan menjadi penontonmu yang paling depan,” katanya, sambil menggenggam erat tanganku. Nada suara itu, kehangatan itu, menyelimuti hari–hari selanjutnya. Hari–hari yang kukira tak pernah ada kata akhir. Khayalan perempuan kecil yang baru pertama mengenal cinta. Hingga kau akan tertusuk tanpa bisa mengelak. Tusukan yang memutus nadi harap. Kau takkan pernah mengerti, mengapa Tuhan menghadirkan cinta tumbuh dalam diri kita. Sementara di seberang hati lain, cinta meregang nyawa tersiram air raksa.

Bu Dalang menatapku dengan pedih. “Aku mengerti, Nduk… bagaimana kamu bisa mencintai Amora. Dan hanya dengan mencintainya, kamu bisa bahagia dan hidup. Cinta tak bersyarat. Cinta membelah hanya untuk cinta itu sendiri. Seperti itulah cinta Putri Cina untuk Wong Agung. Aku tak menghidupkan Putri Cina, karena memang dia hidup dalam diriku.”  

Aku hanya bisa menghitung, berapa jumlah batu yang berserak di kakiku.
Lakon 5. Perawan Para Wayang
Bunga melati yang kusiram masih basah oleh senja Bulan Mulud, ketika wanita itu datang menemuiku. Langkahnya anggun seakan menghentikan waktu. Kebaya putih dengan manik-manik berkilauan menandaskan bahwa dirinya seorang priayi. Telinganya berhiaskan giwang berkilauan, yang walaupun tak besar tapi menunjukkan kasta murni berlian. Sanggulnya digelung cepol yang dihiasi bunga mandakaki. Sederhana, tapi memesona. Binar matanya membuat jantungku runtuh. Ada binar mata kekasihku di sana. Cahaya yang menguatkan diriku untuk melawan.

Cahaya itu memanggil kekuatan yang terpendam. Kemampuan yang tertelikung dalam kemelut aturan menjadi wanita Jawa yang ideal. Santun, lembut tutur kata, selalu menunduk di hadapan lelaki dan malam takkan pernah berani menyentuh kulitnya. Lebih banyak label kualat daripada sepakat. Tapi, bagaimana mungkin keidealan menjadi wanita, wani ditata, itu bisa membendung darah bergejolak.

Desir nadi ketika mendengar gamelan mengalun. Hasrat yang membakar tatkala bersentuhan dengan kulit para wayang. Rangkaian kata yang terjalin sarat makna, dengan bahasa Kawi yang bahkan aku tak pernah mempelajari, tapi bisa hafal begitu saja. Seperti roh Walmiki menuntunku untuk membacakan syair adiluhung yang ditulisnya beberapa abad silam. Aku tak mempelajari gending, tapi gending itu yang mengajariku untuk mendendangkannya. Aku tak mempelajari bagaimana memainkan wayang–wayang itu, tapi merekalah yang menuntun jemari dan lenganku berlenggang. Aku tak bisa menolaknya.

Hasilnya, aku menjadi sinden muda yang bersinar hanya dalam waktu dua tahun setelah Api membisikkan kehangatan itu. Ya, dia menepati janjinya, untuk menjadi penonton yang duduk di deretan paling depan. Dan kini, aku kerap mendampingi Nyai Wuning untuk nyinden, baik itu pentas ayahku dan dalang lain. Dalam hal ini, ibuku sudah membuangku dari catatan anaknya.

“Selamat sore, Nduk. Boleh Ibu bicara sebentar?” sapanya, anggun. Serta-merta kurapikan rambutku, kebayaku, dan kain yang kukenakan sekenanya. Kutinggalkan gembor penyemprot air dan kuntum melati yang masih kehausan. Buru–buru kupersilakan dia masuk. Kebetulan ayah dan ibuku sedang ke keraton untuk mempersiapkan pentas. Sementara kakakku ikut membangun tratag di alun–alun untuk pementasan nanti malam.

“Tidak usah masuk, aku duduk di sini saja,” katanya, memilih lincak yang ada di teras. “Kamu rajin sekali, ya. Ibu di rumah juga punya banyak jenis melati. Tapi, tak semuanya sebagus ini bunganya,” katanya. Ya, aku tahu, Bunda, putramu selalu membawakan untukku. Walau aku tak tahu persis, di sebelah mana dari halaman rumah gedong itu tumbuh melatimu. Mungkin aku akan merawatnya kelak, ketika wanita di hadapanku menjadi mertuaku. Membayangkan itu, bunga–bunga yang lebih harum dari melati bermekaran di hatiku. Mungkin wajahku memerah di hadapan mertuaku.

“Maaf, Ibu sedang ke keraton dengan Ayah untuk persiapan nanti malam,” kataku. Kedatangan Nyai Wuning biasanya berkaitan dengan sulaman baju yang tengah dikerjakan ibuku.

“Kali ini, kedatanganku memang akan menemuimu, Nduk,” katanya, lembut dan berwibawa. “Kamu menyayangi Bhisma, bukan?” tanyanya. Aku menunduk seperti gadis yang tengah dilamar. Harum bunga pengantin mengambang riuh.

“Aku memang tak butuh jawaban dalam hal ini. Hanya aku ingin kau buktikan sejauh mana sayangmu pada anakku,” tambahnya. Harum kembang pengantin itu perlahan samar. Ada sesuatu dalam ucapannya.

“Kau kan tahu, Nduk…. Bhisma itu anak ibu satu-satunya. Besar sekali harapan yang kusematkan pada dirinya. Termasuk di kehidupannya kelak. Ibu ingin Bhisma hidup bahagia. Bukankah cinta juga mengajarimu untuk membahagiakannya?” tanyanya. Ada ruang yang tiba–tiba memisahkan antara aku dan wanita itu. Ruang itu begitu kokoh, dari nada suaranya.

“Intinya, lupakanlah anakku. Karena aku ingin, dia menyelesaikan sekolahnya hingga sarjana. Lalu menikah dengan wanita biasa yang kelak tinggal, merawat dirinya dan rumahnya. Kurasa kau akan menjadi terlalu sibuk nantinya, dengan pentas-pentasmu,” katanya, serupa desah. Tapi, mampu meruntuhkan gunung harapan yang sempat menjulang.

cerita selanjutnya >>

Penulis: Titik Kartitiani
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2009





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?