Fiction
Keinginan Sederhana [7]

23 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

“Apa yang kau lakukan jika salah satu anggota keluargamu ternyata homoseksual? Adikmu, misalnya. Apa yang kau lakukan, Ros?

“Dia tentu saja tetap adikku. Aku rasa tidak akan ada yang berubah. Paling-paling aku akan sibuk membawanya ke dokter, psikiater, psikolog, atau apa pun untuk membantunya. Mungkin juga kubawa dia untuk suntik hormon dan ke paranormal. Selebihnya, dia tetaplah adikku. Wajar, ’kan?

Dia mengangguk-angguk. “Tuntutan untuk sembuh selalu besar, seakan-akan itu adalah penyakit semacam tumor yang walaupun sekarang sedang jinak, tapi lambat-laun akan mematikan juga. Freud sudah menegaskan bahwa ini bukanlah satu jenis penyakit. Lalu, bagaimana jika bertahun-tahun dia tak kunjung jadi normal? Apakah kau akan rela jika melihatnya berkencan dengan sesama jenisnya?”

Aku tidak siap dengan andai-andai semacam itu. “Entahlah. Rasanya pasti aku akan terusik melihatnya. Kau benar, tuntutan untuk menjadi normal pasti sangat besar.”

”Dan kau bisa bayangkan betapa itu hal yang susah. Aku tidak berani bilang itu tidak mungkin, tapi aku tahu pasti itu susah. Karena itu, yang mereka butuhkan adalah teman yang mengerti.”

“Mengerti berarti memaklumi juga jika dia terjun dalam kehidupan liar?”

“Tentu saja itu tidak termasuk dalam kategori mengerti!”

Sekar akhirnya tahu tentang Frans. (Aku membaca bagian ini dengan setengah menahan napas). Gadis itu shock, karena selama ini merasa dia telah memberikan banyak hal pada Permadi. Sekar merasa kedekatan mereka selama ini penuh arti, walau tak pernah sekali pun Permadi mengucapkan kata cinta untuknya. Dia merasa selama ini mereka saling terikat satu sama lain dan berpikir Permadi merasa cukup dengan itu, sehingga tidak perlu ada dunia lain.

Tapi, sekarang semuanya terasa terbalik. Permadi punya Frans, dan menyembunyikannya di balik punggungnya, membentuk satu lingkar kehidupan yang tidak dia ketahui, karena sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, dia tidak pernah membangun kehidupan lain.

Sekar merasa dikhianati. Dia sangat kesakitan. Tapi, tak cukup daya untuk menggugat. Karena, memang tak pernah ada kata cinta. Cuma ada kedekatan yang sekarang entah apa artinya untuk Permadi. Sekar yang kecewa merasa dicampakkan.

Sementara Permadi diam-diam dipenuhi rasa bersalah. Dia tak pernah merencanakan ini semua. Hanya, cinta yang datang tiba-tiba dan menyusup diam-diam yang tak kuasa ditolaknya. Cinta terhadap Frans. Dulu, sebelum ada Frans, dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya terhadap Sekar. Saat itu dia berpikir, ada yang sudah berubah dalam dirinya. Dia bahagia dengan itu, walau sebenarnya tidak lepas dari rasa khawatir.

Datangnya Frans membuktikan bahwa semuanya masih sama seperti dirinya yang dulu. Tidak perlu ada bantahan, karena tidak ada bukti yang lebih kuat dan akurat selain perasaannya yang begitu indah dan tak tertahankan terhadap Frans. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap Sekar. Permadi sadar sepenuhnya bahwa Sekar bisa memberikan sesuatu yang diinginkannya sejak lama: membentuk satu keluarga, keluarga yang akan membuatnya tidak sendirian seumur hidup. Hal ini sekaligus adalah sesuatu yang tak akan mungkin dilakukannya dengan Frans, tak peduli sebesar apa cinta yang mereka miliki.

Melepaskan Frans tak akan mengobati Sekar dan membuat semuanya kembali seperti semula. Terlebih lagi, dia tak sanggup melakukan itu, paling tidak untuk saat ini. Dia hanya bisa diam, menunggu Sekar memuntahkan segala amarah kepadanya. Tapi, di luar dugaannya, Sekar begitu redam. Redam dalam diam yang sebenarnya membuat Permadi berkubang lebih dalam dalam perasaan bersalahnya. Dengan senyap Sekar memutuskan untuk meninggalkan kota mereka.

“Kenapa?” Permadi tahu bahwa itu pertanyaan yang bodoh.

“Ada tawaran kerja yang terlalu sayang untuk ditolak di sana.”

Permadi tak pernah melihat mata gadis itu begitu beku sebelumnya, tidak sekali pun. Sekarang mata itu terlihat seperti batu hitam tanpa perasaan. Di depannya, Permadi seakan mengerut.

“Sekar, maaf soal....”

Sekar mengibaskan tangannya, isyarat bahwa dia tidak mau membicarakannya. Dia cuma mau pergi dan semuanya selesai sudah.

“Kenapa kau membuat ending seperti itu? Kenapa tidak membuat Permadi melepaskan Frans dan kembali pada Sekar? Mungkin pembacamu lebih menyukai, jika mereka kembali menjadi satu.”

“Karena, pada kenyataannya memang tidak semudah itu mengubah seseorang. Tidak seperti membalikkan telapak tangan.”

“Ah, kau begitu pesimistis atau sekadar tidak mau membuat ending yang populis?”

Melia tertawa. “Menurutmu semudah itu mengubah seseorang?”

Aku tidak tahu. Rasanya memang tidak semudah itu.

“Aku tahu persis tidak semudah itu. Contoh kecil saja, jika kau merokok, maka untuk membuatnya berhenti, tentu kau butuh perjuangan dan waktu. Sedangkan ini jauh lebih berat dari merokok!”

“Tapi, mungkin saja bisa, ’kan?”

“Mungkin, tapi aku tahu pasti tidak semudah itu.”

Melia beranjak ke kamar, meninggalkanku, ketika terdengar suara kecil merengek. Dia datang kembali dengan Chacha di gendongannya, lengkap dengan botol susunya.

“Lihat pipinya, makin gembul, ’kan? Makin hari kulihat dia makin cantik saja.” Melia memperlihatkan wajah bayi yang menyusu itu padaku. “Bukankah hidungnya mirip dengan punyaku?”

Aku tertawa. Pertama, karena bagiku semua bayi mempunyai bentuk hidung yang begitu-begitu saja. Kalaupun mancung, efeknya tidak akan seperti hidung mancung pada muka orang dewasa. Kalau pesek pun, tidak akan berakibat fatal dan tetap akan terlihat lucu di wajah kecil dengan mata hitam tak berdosa seperti itu. Sahabatku sedang mencari penanda dirinya pada bayi, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengannya.

“Tapi, walaupun kau tidak sependapat, kami sudah telanjur menjadi satu keluarga,” katanya, sambil kemudian mencium ubun-ubun bocah itu dengan penuh perasaan.

Keluarga. Tiba-tiba kata itu mengusikku. Aku teringat sesuatu. Permadi. Juga keluarga yang ingin dibentuknya. Di sini, di depanku, pengarangnya bergembira, karena merasa berhasil membuat satu keluarga kecil. Apakah ini dua hal yang kebetulan saja?

“Jika nanti dia terbiasa melihatku menulis, menurutmu apakah dia akan jadi penulis juga, Ros?”

Aku menggeleng tak tahu. Pikiranku sekarang tengah dipenuhi pertanyaan, apa hubungan Permadi dan Melia. Aku yakin penulis fiksi seperti Melia mewarnai tulisannya dengan pengalaman hidupnya, sengaja atau tidak. Permadi yang hidup membujang, karena keadaannya bagiku terlihat nyaris sama dengan status Melia yang masih tetap lajang hingga usia tiga puluh empatnya kini. Bukankah alasan Permadi dekat dengan Sekar bisa disamakan dengan alasan Melia mengadopsi Chacha? Apakah berarti....

“Ros, kau memikirkan sesuatu?”

Melia berdiri tepat di depanku, asyik mengayun Chacha dalam gendongannya. Untuk pertama kali setelah pertemuan kami, aku benar-benar mengamati tubuhnya. Rasanya tidak ada yang aneh. Dari dulu memang dia sudah berpostur seperti itu, atletis dan sedikit berotot. Dia memang penggemar olahraga apa saja. Pasti bermacam olahraga itu, termasuk karate dan wushu, yang membentuk tubuhnya menjadi tegap dan liat tak berlemak. Itu juga yang membuat gerakannya selalu terasa cepat dan tegas, tidak seperti gadis-gadis manis yang lemah gemulai.

Semasa SMA dulu, ketika kami masih bersama, memang tak pernah kulihat dia berpacaran seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis SMA. Tapi, kami berpisah setelah masa SMA itu, sehingga banyak masa yang terlewatkan. Ketika kami bertemu lagi tempo hari, aku tak tahu apa-apa tentangnya, kecuali karier kepenulisan, yang telah membuatnya terkenal, dan rambut pendek yang nyaris terlihat sama.

Aku tak kuasa menahan rasa ingin tahuku.

“Lia, apakah Permadi itu kau?”

Dia berhenti mengayun Chacha karena pertanyaanku. Tapi, tak kulihat perubahan pada air mukanya.

“Maksudmu?”

“Aku pikir aku melihat banyak kesamaan antara Permadi dan kau. Aku jadi berpikir....” Aku tidak meneruskan pertanyaanku karena sekarang Melia menatapku tepat di bola mataku. Aku jadi bersiap-siap memikirkan kata yang tepat untuk minta maaf. “Maaf, Lia, aku....”

Dia menggeleng, memutus kalimatku.

“Aku ke kamar taruh Chacha sebentar, ya?”


Penulis: Ina B. Alasta


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?