Fiction
Kayu Manis [1]

25 Mar 2015


“Dulu ya, di bawah situ, bioskopnya namanya Globe. Terus ganti jadi bioskop Merdeka. Sekarang, sih, enggak tau, kok, udah berubah kayak gini.”
    Kamu adalah ensiklopedia dengan kanopi senja di belakang punggungmu. Kamu selalu menjadi orang yang pertama tahu, dan harus membagikannya kepada orang lain. Aku terkesiap. Kamu selalu tahu banyak hal. Dari rangka jembatan, sejarah kota, mesin Vespa yang butut, makanan terenak di kota ini, hingga Tan Malaka.
Kamu selalu punya kendali atas mimpi dan realitas ini.


Sore semilir dengan dentingan gitar dan Moon River. Seharian ini ponselku bisu. Ke mana kamu? Apa mungkin keseleo lagi setelah semalam main futsal? Kamu cinta sekali berolahraga, bukan sepertiku yang terus-terusan berkutat di dapur dan enggan berolahraga. Ya, itulah. Kadang-kadang kita tak punya alasan pasti mengapa kita bisa klik dengan seseorang yang jauh berbeda dari kita, yang suka meledek kita, tapi kita tidak bisa menempelengnya kecuali dengan tawa.
Sejurus kemudian, ponselku berbunyi.

Kamu.
Kugigit bibir bawahku, menahan jantungku supaya tidak merosot ke tanah. .Aku tak yakin tadi aku berjingkat karena melihat namamu di layar ponselku.
Jarang-jarang kamu menelepon. Kamu orangnya visual, tapi kamu cerewet. Kamu suka berbicara langsung karena kamu lebih suka melihat ekspresi lawan bicaramu untuk memahami kepribadiannya.  
Lagi, ponselku berbunyi. Kutunggu 3 hitungan.

Kamu.
Aku mulai gerah … dan gelisah. Ada apa, sih, ini? Kutekan digit-digit nomormu, kemudian kutekan dial. Ah, baru dua nada tunggu, suara Vespa bututmu yang menghebohkan dunia persilatan itu terdengar. Kubatalkan untuk meneleponmu.
“Kamu enggak lagi sibuk, ‘kan?” Kamu melongokkan kepala dari balik pagar rumahku.
Aku menggeleng sembari membukakan pintu. “Masuk, gih.”
“Kamu enggak baking kue lagi?” Tiba-tiba dia bersuara setelah berdeham kecil.
“Kamu kenapa?” potongku tak sabar.
“Hhhhh … “ desahnya sembari membetulkan posisi duduknya mendekat ke arahku. “Janji, jangan dipotong, ya, pembicaraan ini kecuali gara-gara kuemu matang.”
Aku terdiam lama.

“Kamu tahu kan aku enggak bisa kalau makan enggak pakai kecap, enggak bisa bangun pagi, enggak bisa disuruh terus-terusan duduk dengan buku dan laptop.”
Aku mengangguk. Anak ini sudah gila.
“Kamu tahu  kan aku suka melukis. Kamu juga pasti paham rambut gondrong ini asal-muasalnya dari mana?”
Seperti tiba-tiba menemukan kunci atas pintu yang tergembok dengan misterius, akhirnya aku paham ke mana arah pembicaraan ini. Tiba-tiba ulu hatiku nyeri. Setelah sekian lama semenjak kita lulus SMA kamu tidak pernah bicara tentang ini, akhirnya mimpimu menguar kembali.

Janjimu untuk tetap memelihara rambutmu hingga kamu berhasil mendapatkan apa yang kamu mau. Kamu mau jadi pelukis. Kamu tak suka belajar anatomi tubuh manusia,  kamu benci membahas cerebrum, cerebellum, brainstem, meskipun waktu kuliah dulu kamu bisa membungkam mulut asisten dosenmu yang keparat itu dengan nilai A bulat-bulat. Tapi bukan di situ hatimu bermuara.

Kamu sekarang duduk di sini, meracau. Sorot matamu itu. Sakit, tapi itu tak cukup, karena kamu pun tak tahu bagaimana mengobatinya. Ibu dan ayahmu tak mampu mengerti pikiranmu, kamu pun tak mampu memahami mereka. Tidak ada kompromi di antara kalian.
“Aku tidak pernah merasa hidup, tidak pernah merasa utuh,” katamu. Tanganmu terus memainkan kunci Vespa. Ya, kamu sedang kacau sekarang, aku tahu. “Aku merasa tidak perlu lagi punya mimpi. Omong kosong perkara mimpi itu kalau ternyata realita itu menyakiti mimpi. Mimpi itu semu buat bikin kita bahagia sementara. Namanya pelukis, seniman itu, cuma kumpulan profesi tukang mimpi. Mimpi yang enggak bisa diterima oleh orang lain. Jadi dokter itu realita yang bikin semua orang bahagia tentang aku.”

Kamu terdiam begitu lama. Aku seperti terjebak dengan suasana kacaumu itu. “Makin kita dewasa,  makin banyak hal di dunia ini yang tidak kita mengerti dan tidak terkabul seperti keinginan kita.”
Hanya itu yang mampu meluncur dari bibirku.

***
“Kamu percaya kekuatan doa, ‘kan?”
“Aku udah lama enggak ke gereja.”
“Oke. Besok jam 06.30 aku jemput kamu. Kita misa bareng.”
Dan kamu benar-benar sudah bangun. Tubuh jangkung, gondrong tanggung, dan kurus itu memakai kemeja rapi, satu hal yang jarang kutemui.
“Tumben bisa rapi juga kamu ….”
“Iyalah, aku kan mau ketemu Tuhan.”
Kamu seperti anak kecil yang diajak main ke Disneyland. Entah sudah berapa lama kamu tidak ke gereja, aku tak tahu. Yang pasti, setelah misa, kamu menolak untuk langsung pulang. Umat sudah banyak yang pulang, tinggal beberapa petugas yang terlihat membereskan gereja.

Tanpa banyak bicara, kamu berlutut, melipat tanganmu dan memejamkan mata di depan Bunda Maria. Kamu bilang kamu lupa caranya berdoa, tapi hari itu kulihat kamu seperti makhluk kosong yang hampa dan membutuhkan cahaya untuk bisa hidup. Ah!
Seperti ditarik keluar dari labirin, akhirnya semua terlihat jelas. Aku tahu, cepat atau lambat aku harus membiasakan diri tanpa kamu, karena sebetulnya muara kebahagiaanku saat ini adalah melihat kamu menemukan muara kebahagiaanmu.

***
Lagi-lagi kamu tiba-tiba muncul di pintu rumahku. Tanpa kabar. Untungnya aku tidak ke mana-mana, hanya sedang menunggu kueku matang di oven. Kamu duduk di teras, mengangkat kakimu ke kursi, menyalakan sebatang rokok kretek favoritmu.
"Din, aku pengin, nih, makan kue buatanmu.”
“Iiissshh ….“
“Beneran. Aku pengin banget!”
“Mencurigakan. Biasanya kamu paling ogah. Nyicip aja cuma secuil.”
Sepertinya kamu mau berkata sesuatu, tapi kamu urungkan niatmu. Kulirik kamu dengan sudut mataku. “Hmm, kamu mau ngomong apa, sih?”
“Aku pengin puas-puasin makan kue buatanmu, nih, sebelum kita jarang ketemu. Bulan depan, setelah wisuda S-2, aku mau pindah ke Yogya. Di sana aku mau mengubah apa yang bisa aku ubah.”
Jantungku mencelat. Kututup majalah yang sekarang tidak lagi menggairahkan. “Are you sure? Ka… kamu dapat izin dari Ibu dan Ayah?”

Kamu menggeleng. “Aku sudah memutuskan semuanya kemarin. Aku akan pergi dengan apa yang kupunya sekarang. Mungkin aku bisa bekerja sambilan di sana, buat biaya hidup dan biaya kuliah. Yang pasti, aku berjanji aku bakal kembali, menunjukkan ke Ibu-Ayah bahwa aku ini bukan sekadar meracau. Tidak akan pernah lagi merepotkan mereka, malah bisa membahagiakan mereka. Passion-ku harus kukejar. Kalau tidak, aku seperti gelas kosong, selamanya kosong.”
“Harus bulan depan?” Sesak itu memuncak.
“Ya. Sebagaimana mestinya rencana ini sudah kususun sekian lama.”
“Tapi kamu enggak pernah ngomong.”
“Karena aku enggak bisa ngomong ini ke orang lain kalau aku sendiri belum bisa memantapkan rencanaku.”
“Sekarang kamu sudah mantap? Aku enggak yakin!”
“Kamu harus yakin!”
“Kamu ngurusin diri kamu sendiri aja di sini, enggak becus.”
“Jangan menilai aku, deh!”
“Kamu sok bisa sendirian!” tegasku. “Kamu mengejar mimpimu, oke, itu sah. Memang harus, tapi apa yang ada pada kehidupanmu sekarang ini, harus kamu pikirkan juga. Kamu makan, butuh uang. Kamu butuh tempat tinggal, butuh uang.”
Rasa kecewa dan takut kehilangan berubah menjadi nada tinggi dan kata-kata pedas yang tak bisa kukendalikan. Aku berdiri, masuk ke dalam rumah untuk mengecek kueku di dapur. Berharap kamu marah juga dengan kata-kataku tadi dan sekembalinya aku dari dapur, aku tidak melihat kamu lagi di teras rumahku.
Kamu idealis, kadang malah kamu yang tidak realistis.
“Din?” Suaramu mengagetkanku. Kamu masih setia di sini ternyata. “Mana kuenya?” Oh, sial!
Aku diam saja sambil mengiris kue. Sepotong besar untukmu. Masih hangat. Kamu langsung menyambarnya tanpa malu-malu, memasukkan separuhnya ke dalam mulutmu dengan jenaka. “Ini, nih, enggak pernah rugi punya sahabat seperti kamu. Sori ya, selama ini sebenarnya aku suka banget, kok, Din sama kue-kue buatanmu. Cuma kamu musti bilang kuemu enggak enak. Jadi, sekalian aja aku bilang enggak enak supaya kamu tidak pernah berhenti mencoba lebih enak lagi.”
“Oya?” bisikku. Aku sudah tak mampu lagi berpikir dan menanggapi kata-katamu.
Kamu bersandar pada meja makan. Membalikkan badanmu. “Jangan pernah berhenti, kamulah yang terbaik.”

Sontak, dua bulir basah mengaliri kedua pipiku. Lututku melemah mendengar kata-katamu itu. Kamu terkesiap dan kebingungan mencari tisu. Kamu tidak pernah melihat perempuan menangis, itu dulu katamu. Sekarang akulah yang menangis di hadapanmu, tanpa alasan.
“Lho, lho, kamu, kok, nangis? Kamu, kok, nangis, sih, Din. Eh… eh, jangan nangis, dong…. Aku GR nih, kamu nangisin aku, ya, Din?”
Kamu tertawa-tawa sampai terguncang-guncang. Mungkin. Mungkin aku menangisi kamu karena aku tak menyangka ini semua ternyata terlalu sulit untuk 10 tahun persahabatan kita.

“Kueku ini, tiketmu untuk pulang ke sini, ya …. “ Di tengah sesenggukan yang menyesakkan, hanya itu yang bisa kukatakan.
Kamu memelukku, erat seperti pawang buaya menangkap buaya terganas di Amazon. Entah sebagai apa.

***
    Kamu berjalan setengah meter di depanku. Langkahmu besar-besar. Aku mesti berlari-lari kecil untuk menjajari langkahmu.
         “Dua tahun kutinggal, kota ini sudah banyak berubah, ya. Kenapa jadi banyak kafe? Warung angkringan kenapa digusur? Bang Joni gimana, ya?”
    Kamu berhenti, berbalik kemudian berdiri di hadapanku.
          “Aku pengin jalan-jalan muterin Malang, soalnya aku enggak tahu bisa balik sini kapan lagi.”
“Kamu harus ke sini kalau toko kueku yang satunya buka cabang lagi. Kamu bisa makan semuanya, gratis, sebanyak-banyaknya, tapi kamu enggak boleh balik ke sana lagi!”
“Aku baru pulang kalau aku sudah bisa membalas dan bisa membahagiakan orang lain, terutama orang tuaku. Kalau untuk yang lain, hmm…. Apalagi toko kuemu.”
“Nah,   jahat, ‘kan! Padahal, aku selalu sediain tiket pulang buat kamu sebanyak-banyaknya.”
“Kamu memang wanita idaman  tiap pria, Din! Ha…ha…ha.... Bisa gendut suamimu nanti, siapa tuh yang ngejar-ngejar kamu? Donny?”
“Bukan. Enggak ada siapa-siapa. kok.”
Tapi kamu.
“Ahh…  whatever-lah. Sahabatku ini laku keras di pasaran, tapi enggak pernah berani jatuh cinta.” Tanganmu merengkuh pundakku.
“Kamu juga, ‘kan? Laku, tapi enggak mau.”
“Aku orangnya seperti ini, kasihan perempuan yang cinta sama aku, aku enggak punya apa-apa.”
    “Kamu nyentrik!”
    “Kamu juga!”
    “Masa  kalau mau jadi seniman kudu nyentrik?“
    “Masih suka putus asa?”
“Masih sering telepon ibumu?”
    “Jangan pernah berhenti, kamu yang terbaik!”
    Aku terdiam. Kamu berbalik badan lagi. Laki-laki jangkung, gondrong tanggung, kurus, membawa bunga krisan putihku dalam planet merahnya.
    “Kamu … ,” desisku,  “jangan lupa berdoa untuk orang tuamu, ya….” (dan untuk kita juga).
    Kafein dan kayu manis melebur dengan malam.

***
“Halo. Kabarku baik, kamu? Oke. Sorry, Din, aku mau siap-siap ke Merbabu nih, cari inspirasi. Maaf, enggak bisa datang ke pembukaan toko kuemu. See you when I see you.”
“Sama-sama.”
Bertambah 300 km jauhnya dari sini. Tiketku bukan jaminan menghadirkanmu di sini. Kamu adalah sosok yang selalu kudoakan, tapi kini tak bisa kumengerti.
Wangi kayu manis itu berganti menjadi citrus.
Asing.
Mimpimu kini telah menyakiti realitasku.

***********
Winda Carmelita



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?