Fiction
Kawin Kontrak [1]

18 May 2013


Meylani Nurdiana

CINTA, BARANGKALI SERUPA kotak deposit. Segenap rasa tertuang di dalamnya. Ia tersembunyi, aman dilindungi nomor kombinasi. Ada masanya, seseorang datang, mengerti kode-kode pembuka, namun tak memahami bagaimana caranya memperlakukan apa yang tersimpan di dalamya. Di lain waktu,  nomor-nomor kombinasi sudah sengaja diberikan kepada seseorang yang disukai. Akan tetapi, dianya tak menghendaki.

Lumayan silang selimpat untukku menemukan si pembuka kotak, sekaligus si pengerti isi. Padahal, aku bukanlah orang yang rumit ataupun pelit. Kugampangkan jalan, dengan memberi sinyal-sinyal, petunjuk jalan harus mengarah ke mana menuju hatiku. Kuberikan resep, pedoman mengolah perasaanku. Namun, hingga usia tiga puluh lima, jalan yang kubuka belum juga mengujung ke pelaminan.

Hingga kedua orang tuaku mulai kelimpungan. Gerah dan resah. Sementara aku, merasa nyaman-nyaman saja dengan kesendirianku menjelang senja. Hidup adalah sebuah kontrak yang,  rela atau tidak, mesti disetujui jauh-jauh hari sebelum kelahiranku ke muka bumi. Konon, jodoh pun sudah ditata sebelumnya oleh Yang Kuasa. Pentingkah gelisah?

“Kita ini hidup bermasyarakat, Vika. Ada keharusan yang mesti kita patuhi. Supaya kita tetap selaras dengan lingkungan, tidak dianggap melenceng dari garis kepatutan.” Kata-kata Ibu bertahun lalu, membuatku tersenyum kecut. Menikah atau tidak, aku tidak menjadi tanggungan tetangga sekitar. Kenapa lingkungan menjadi terbebani?

Aku mencari penghidupan sendiri, tidak mengemis sana-sini minta dikasihani. Perlukah mereka merasa terberati? Dan, kata-kata melenceng sungguh  amat berlebihan. Sedih bila seseorang yang belum menemukan jodohnya di usia matang dikatakan lepas keluar dari kepatutan bermasyarakat. Bukannya manusia dijanjikan untuk hidup berpasangan? Janji-Nya, konon, akan selalu ditepati. Atau mungkin, kadang-kadang sebuah janji harus dipenuhi dengan cara berbeda.

Namun, tetap saja, ada orang-orang di luar diriku yang mesti kupuaskan dengan segera. Karena mereka tak akan duduk menunggu kepasrahanku. Mereka tak bersedia mengerti, sekalipun aku sendiri memahami. Demi itu, aku mesti berkorban. Aku harus mencari seseorang yang bersedia bersamaku dalam sebuah pernikahan, memerdekakan banyak perasaan dari belenggu kecemasan.

***
“HAI CANTIK, sendirian saja, nih? Boleh aku temani?” Seorang pria gagah, berkulit bersih, berdiri tepat di depanku. Usianya sebaya denganku. Dia tersenyum. Amat manis. Lebih legit ketimbang float avocado yang sedang kusesap.
“Enggak boleh,” sahutku datar. “Cari saja meja lain yang kosong. Tuh, yang di pojok sana masih belum ada yang mengisi. Enggak ada tulisan reserved-nya juga.” Telunjukku lurus mengarah ke sudut kafe.

“E…eh, cantik-cantik, kok, jutek.” Enggan mendengar penolakan, dia malah menarik kursi di sampingku. Dengan tenangnya, mengempas pinggul di dudukan.
“Enggak tahu malu betul kau ini,” aku mengomel, sembari menahan geli dalam hati. Melanjutkan kembali tarian jemari di atas keyboard netbook tanpa menoleh ke samping.
“Justru karena aku enggak tahu malu, kau suka aku, ‘kan,” selorohnya.
Sialan. Aku tak berani mengalihkan pandangan ke wajahnya. Hanya sekilas kulihat lambaian tangannya, memanggil pramusaji.
           “Iga bakar sama lemon juice, ya,” katanya kepada pramusaji.
           “Nasinya satu setengah porsi.”
           “Makan berat?” tanyaku, sambil melirik arloji. Jarum pendek nyaris menyentuh angka delapan.
           “Memangnya kau belum makan malam di rumah?” pandanganku kembali ke layar.
            “Belum.” Ditariknya piring chicken cordon blue yang tinggal separuh dari samping netbook-ku. Tanpa basa-basi, dia melahap makanan sisa santapanku beberapa menit lalu.
           “Aku kelaparan,” lanjutnya, dengan mulut penuh. “Istriku di rumah enggak masak. Meja makan kosong melompong. Kalaupun ada isinya, cuma selembar kertas berisi pesan. Memangnya aku kutu buku yang akan kenyang makan kertas? Malangnya nasibku,” keluhnya.
          “Istri yang aneh,” gumamku, tak lagi kuasa menahan senyum.
          “Ya. Istriku memang ajaib.” Ujung mataku menangkap anggukan.
          “Kenapa tidak kau ceraikan kalau memang dia ajaib?” tanyaku datar.
          “Hmmm.”
          “Kenapa hmmm?” Tak urung aku menoleh penasaran. Ingin melihat mimik wajahnya. Siapa tahu perasaannya bisa kuraba.  Kulihat dia diam. Meletakkan garpu di ujung piring.  Mulutnya telah berhenti mengunyah.
         “Sebenarnya…,” dia mematahkan ucapan dengan garukan di rambut spikes-nya. Membuatku tak sabar.
         “Susah juga mau menceraikan istriku.”
         “Susahnya ?” kejarku cepat.
        
Jari-jarinya turun dari rambut ke hidung, menggaruk-garuknya. Sebuah kebiasaan yang tidak berubah selama lima tahun aku bersahabat dengannya. Kebiasaan yang sering kuprotes keras. Kadang-kadang kuhalangi dengan menangkap pergelangan tangannya, sebelum mendarat. Dia terlihat bodoh kalau sedang menggaruk hidungnya yang mancung.

“Berat untuk berpisah dari istriku.” Wajahnya yang tadinya cengengesan, berubah serius. “Kami sudah menikah cukup lama. Sekalipun kami menikah awalnya bukan karena cinta,  sungguh, aku sayang pada dia.”
Aku menghela napas berat. Semoga dia tidak melihat betapa berat helaannya. Entah, aku merasa senasib seperasaan dengannya. Aku pun merasakan keberatan yang sama dengan dia.

***

JANGKA WAKTU PERNIKAHANKU nyaris berakhir. Pernikahan yang memang ditata dan direncanakan untuk dirampungkan dalam dua tahun. Dan, novel picisan yang kami tulis bersama, telah kami rancang untuk tamat esok hari.

Kami memang harus bercerai. Namun, hari-hari yang terlalui selama dua tahun di bawah atap yang sama, menjalin kisahnya sendiri. Merangkai sebuah cerita bersahaja tentang kehidupan berdua, menguntai tawa dan air mata bersama.   Cerita beralur  tak sama dengan draft novel picisan yang telah kami sepakati, tapi harus berakhir serupa. Cerai.

Ketika desakan untuk menikah datang dengan gencarnya menghantam  pertahananku, lewat telepon maupun SMS, terutama ketika mudik Lebaran, aku pun tak lagi berpikir panjang. Pun tak banyak menimbang ketika laki-laki itu kunikahi.

Kami sedang sama-sama terdesak. Aku tersudut dengan keinginan orang tuaku untuk segera melihat anak perempuannya yang beranjak tua menikah, dan dia terpojok oleh keinginannya sendiri untuk hidup seperti kebanyakan orang.
Laki-laki itu, ingin melepaskan diri dari pacar sesama jenisnya, seorang kulit putih  dari Prancis yang menjadi teknisi di sebuah galangan kapal di Tanjung Uncang.

Aku tahu, orientasi seksnya menikung ke lain arah bukan karena faktor biologis  maupun dorongan dalam dirinya sendiri. Keadaan yang membentuknya. Tidak mengherankan, bila suatu saat dia akan kembali ke jalan semula.
Dia memilih untuk bersedia menjadi pacar pria berambut emas itu karena desakan ekonomi, tak sanggup lagi bertahan hidup di Batam dengan mengandalkan gajinya yang tak pasti sebagai sales produk farmasi. Ada saatnya dia ingin kembali ke rute awal, setelah mendapatkan pekerjaan cukup mapan di sebuah perusahaan di Batu Ampar. Namun, pacarnya terlalu posesif, tak bersedia melepaskannya. Kami yang seia dalam ketersudutan, akhirnya membuat kesepakatan.

Kesepakatan yang begitu entengnya kami setujui, tanpa pernah terpikir akan sebegitu rumit untuk diakhiri. Bukan, bukan sulit sebenarnya. Toh, tinggal datang ke pengadilan agama, menjalani prosesnya untuk beberapa waktu, kemudian resmilah perpisahan. Justru hatikulah yang runyam. Jujur, aku mulai menyayanginya. Aku belum rela untuk berpisah darinya.

SEMESTINYA PERNIKAHAN kami tidak meninggalkan kesan yang terlalu mendalam. Kami tidak saling menunaikan kewajiban sebagaimana layaknya suami-istri. Sepatutnya tak ada perasaan yang terbawa. Kami bahkan tidur di kamar masing-masing dalam rumah cicilan yang diangsur secara patungan, di Batam Center.

Namun, entah kenapa, ada lubang menganga di hatiku yang akan jadi makin dalam bersama kepergiannya. Tak akan ada lagi keusilannya, malam-malam tertawa bersama menonton film komedi sambil saling melempar popcorn. Hari Minggu berdua mencuci mobil barunya yang dia beli dengan mengangsur dari jerih payahnya sendiri. Atau menjadi saksi matahari beranjak ke peraduan di ujung laut Pantai Nongsa, sambil memandangi gedung-gedung pencakar langit di negeri seberang, Singapura. Juga saat-saat kami menghabiskan malam di Seraya atas sembari menghabiskan berbonggol-bonggol jagung bakar aneka rasa sampai pulangnya kami harus berebut toilet karena sakit perut.

Aku tak akan perlu lagi menggedor pintu kamar keesokan harinya, membangunkan untuk pergi bekerja. Dan kelak, bila aku sakit parah lagi seperti setengah tahun lalu, tak akan ada dia lagi yang membopongku dengan cemas ke Rumah Sakit Casa Medica. Menyemangatinya untuk selalu giat bekerja demi masa depannya, atau dia yang menyemangatiku untuk terus mengejar mimpiku menjadi penulis, akan selekasnya tak lagi saling kami lakukan.

Kami tak banyak mereka-reka keadaan. Namun, kenapa harus sepelik ini hatiku menyudahi sebuah kisah bersahaja? Selama seminggu ini, nyaris tiap malam aku keluar dan menghabiskan waktu dari kafe ke kafe. Baru pulang lepas tengah malam, hingga tak perlu bertemu dengannya yang sudah tertidur kelelahan sepulang kerja.

Ini kulakukan untuk membiasakan diri bila esok hari dia sudah tidak ada lagi. Sekaligus juga untuk menyembunyikan nyeri. Nyeri yang semestinya di luar rencana. Akan tetapi ia ada. Datang tanpa diundang. Juga tak bersedia untuk beranjak pulang, sekalipun aku bersedia untuk mengantar.

***

         “MAKANANMU SUDAH KUHABISKAN, Vika. Kau mau pesan lagi?” suara Adit, pria itu, mengusik lamunanku. Pramusaji telah mengantarkan pesanannya. Dan dia lekas menyantap iga bakar yang masih berasap.
         “Enggak usah, aku sudah kenyang.” Aku melengos, berpura-pura menyedot float avocado di sebelah kiri netbook. Padahal, aku memalingkan sudut-sudut mataku yang tergenang.
         “Jadi… kita bercerai besok?”
         Ah, pertanyaan ini tak ingin kudengar. Tapi, dia mengutarakan juga. Tak mengertikah dia betapa terluka hatiku diingatkan tentang itu.
         “Entah,” jawabku.
         “Entah?” Dia menggeser piring yang isinya telah tandas ke ujung depan meja. Meletakkan siku di meja setelah menyekanya dengan selembar tisu. Wajahnya ditopang telapak tangan. Perasaanku mengatakan, tatapannya mengarah tepat ke wajahku yang berpura-pura sibuk antara keyboard dan layar.
         “Entah adalah jawaban aneh untuk seorang perempuan yang akan segera berpisah. Artinya, kau tidak yakin dengan keputusanmu sendiri. Bukan begitu?”
         “E….”
         “Jangan menjawab entah lagi!” sambarnya, sebelum bibirku terbuka sepenuhnya.
         “Bilang padaku sejujurnya, kenapa belakangan ini kau tidak lagi betah di rumah? Untuk menghindar?” Telapak kokohnya meraih daguku, memutarnya untuk berhadapan dengan tatapan elangnya yang kian tajam di bawah pendar lampu kafe.
          “Apa yang sebenarnya kau hindari? Perceraian itu sudah kesepakatan, bukan? Atau kau sesungguhnya berlari dari perasaanmu sendiri?” cecarnya, tanpa memberi peluang buatku menata debaran hati yang mulai berkejaran.
          “Perasaan apa maksudmu?” Mau tidak mau aku menentang tatapannya.
          “Perasaan bahwa kau sebenarnya tak menginginkan untuk berpisah.”

eribu kali aku berusaha tegar menantang tatapan matanya, berlagak tak menyembunyikan perasaan apa pun, tapi aku yakin dia bisa membaca kegundahanku. Jarak kami terlalu dekat. Kurang dari tiga jengkal. Perasaanku pun terlampau rapat. Kami telah bersahabat lima tahun lamanya, sejak kami menjadi pendatang baru di pulau ini. Banyak suka-duka yang telah kami lewati bersama. Kami saling mengenal terlampau erat. Kian lekat setelah dua tahun belakangan dia menjadi teman hidupku dalam satu atap.

“Tidak perlu kau jawab,” katanya, sambil melambaikan tangan pada pramusaji yang kebetulan lewat. “Bereskan barang-barangmu, istriku! Kita pulang!”
 Pulang? Aku benar-benar tak berkehendak untuk pulang. Karena ini adalah hari terakhir kebersamaan kami.
“Pulang ke mana?” tanyaku, mulai kalut dan linglung. Air mata sudah tak tergalang lagi melelehi pipi.
“Ya, pulang ke rumah kita. Ke mana lagi?” Dia mengusap air mataku dengan punggung jari. Membuat seribu pedang mencacah hati. “Atau kita menyeberang ke Singapura saja. Selama ini kita lupa untuk berbulan madu.”
“Tapi, kita akan bercerai, Dit!” sergahku.
“Jangan sebut-sebut lagi tentang perceraian!” ucapnya, setengah membentak. Bentakan yang tak pernah kudengar sebelumnya. Dia menggamit lenganku sebelum aku selesai mencerna ucapannya. Bulan sabit mengintip di balik awan, ketika mobil meluncur meninggalkan parkiran mal, menuju Batam Center Ferry Terminal.

Hidup sering kali bermain petak umpet. Saat kita mengejar, tak ada yang teraih. Saat meminta, tak ada yang diberi. Namun, ketika diam berpasrah, hidup justru berbaik hati menganugerahi.
***



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?