Fiction
Kanal [2]

25 May 2013


<<<<<<Cerita Sebelumnya


Kisah sebelumnya:
Kehidupan perkawinan Liz dengan Matt kian lama kian hambar. Liz merasa Matt yang dasarnya pendiam, kian dingin. Bahkan, Matt selalu lupa pada ulang tahun Liz. Liz kian gamang karena ada George yang sangat perhatian. Liz tak mengerti bahwa Matt pun menyimpan kegalauan yang sama.


Bukan hanya sekali itu, beberapa minggu berselang, Matt berencana mengintai keadaan rumahnya saat ia tinggal bekerja. Dan rupanya, syak wasangkanya tak meleset, tepat pukul sebelas, ketika Matt sudah berangkat kerja, ia memergoki George tengah mampir ke rumahnya. Dan George selalu membawa aneka macam oleh-oleh, entah sebotol susu atau sekardus kue basah, entah sekeranjang buah atau serantang sup.

Entah apa sebenarnya yang dilakukan George dengan Liz di dalam. Apa pun itu, hati Matt sudah telanjur sakit hati. Dan rupanya, hal itulah yang membuat Matt  makin banyak diam di hadapan Liz. Hingga perlahan, rumah tangga mereka seperti sebuah lukisan yang terpajang di ruang tengah, terpatri di depan mata, tapi terasa datar dan seperti tak ada.

Sebenarnya, ketika itu, ketika Matt menurunkah lukisan yang ia beli dengan Liz dan meletakkannya di gudang, Matt hanya ingin menyindir Liz, sampai mana kesetiaan Liz padanya. Apakah kesetiaannya sudah usang dan berdebu seperti lukisan itu? Dan rupanya Liz, memilih diam ketika Matt benar-benar meletakkan lukisan yang sebenarnya masih elok itu di gudang. Bagi Matt, sikap Liz tersebut adalah sebuah jawaban, bahwa Liz sudah tak lagi peduli pada lukisan kenangan itu, tak lagi peduli pada  Matt, dengan rumah tangganya sendiri.

“Lukisan ini sudah usang, dan menurutku, sebaiknya diletakkan di gudang saja,” sindir Matt ketika itu.
“Aku setuju,” singkat sekali balasan Liz. Dalam benaknya, Matt seperti mendengar Liz melanjutkan jawabannya, “Aku setuju kalau semua ini kita akhiri saja, aku sudah punya George yang selalu lebih dalam banyak hal…”
Matt memang lelaki yang pendiam, sangat pendiam. Maka ia merasa cukup dengan menelan kegelisahannya sendiri, sakit hatinya sendiri, selama bertahun-tahun. Meski tiba-tiba Matt mempertanyakan, jika Liz memang tak mencintainya, mengapa dulu bersedia ia nikahi? Perempuan memang misterius.
***
Pada hari itu, hari ulang tahun Liz yang kedua puluh delapan, sebenarnya Liz ingin Matt mengambil cuti. Liz ingin Matt mengajaknya jalan-jalan, entah ke Eiffel, atau ke tepian kanal di dekat Stasiun Republique yang dulu kerap mereka kunjungi, atau ke mana saja Liz akan ikut. Liz tahu, jika ia mengharapkan itu dari Matt, maka sebenarnya ia tengah bermimpi. Karena, Matt bisa mengingat hari ulang tahunnya saja sudah lebih dari cukup. Dan sayangnya, Matt lelaki pelupa yang paripurna. Tak ada harapan bagi Liz.

Maka, pagi itu, Liz ingin kembali memancing ingatan Matt yang akan ia awali dengan percakapan ringan.
 “Musim dingin begini, rasanya memang malas untuk keluar rumah, apalagi kalau turun hujan.” Usai membersihkan piring dan gelas kotor, Liz mengelap tangannya dengan ujung roknya dan duduk di sebelah Matt, di depan televise. “Apa tidak apa-apa kau tidak berangkat kerja?” sambungnya.
“Biar hujannya sedikit reda,” jawab Matt, tanpa menolehkan wajah seinci pun dari layar teve.
“Ini hari apa?” Liz mencoba mengorek ingatan Matt.
“Mmm, Selasa, ya.”
“Bukannya Senin?”
“Senin, ya? Oh iya, kemarin Minggu, ya.”
“Berarti sekarang tanggal…”
“Tanggal lima, bukan?”
“Benar. Sekarang tanggal lima.”

Cukup. Matt hanya mengingat sekarang tanggal lima, dan bukan mengingat bahwa tanggal lima bulan Januari adalah hari ulang tahun Liz. Cukup. Liz harus mengalihkan percakapan. Ingatan Matt tak perlu ia paksakan.
“Jadi, apa kau benar-benar akan membolos kerja di hari Senin ini?” Liz memulai lagi.
“Akan kutunggu sampai hujannya sedikit reda.”
“Kalau begitu mengapa kau tak segera mandi dan berganti pakaian, supaya nanti tak terburu-buru.”
“Rasanya malas sekali mau mandi. Lagi pula hujannya juga belum reda.”
“Kalau hujannya tak reda juga, kau pakai mobil saja.”
“Repot, macetnya, parkirnya, belum lagi kalau mogok di tengah jalan. Naik bus lebih praktis.”
“Kalau hujannya tak reda bagaimana?”
“Sebentar lagi juga reda.”
“Kalau hujannya tak reda juga, kau bawa payung saja sampai ke halte, daripada kau telat.”
“O, tidak, terima kasih. Itu akan membuat sepatu dan celanaku basah.”
“Terserah kau saja kalau begitu. Apa kau mau camilan, sambil menunggu hujan reda?”
“Apa?”
“Ada kentang crispy di lemari es, biar kuambilkan.”
“Oh, tak usah. Itu akan membuat bibirku tampak berminyak. Lagi pula, sepertinya hujan sudah sedikit reda.”
“Kau akan berangkat?”
“Ya.”
“Apa hujannya sudah benar-benar reda?”
“Biar kuperiksa.” Matt beranjak mendekati jendela dan menyingkap gorden sedikit. Liz memperhatikannya dari belakang.
“Sudah lumayan reda. Baiklah, aku akan mandi dulu kalau begitu.” Matt beranjak ke belakang.
“Bukankah barusan katamu kau malas mandi.”
“Aku akan mandi.”
“Bagus kalau begitu. Akan kusiapkan pakaian kerjamu.”

***
Matt sudah menyimpan rasa sakit itu selama bertahun-tahun, hingga rasanya ia sudah terbiasa dan menjadi kebal. Maka lambat laun rasa sakit itu terasa  makin ringan. Bahkan, perlahan-lahan Matt tidak merasa keberatan, jika Liz memang berselingkuh dengan George di belakangnya. Artinya, jika mereka memang sudah saling mencintai, Matt siap melepaskan Liz untuk George. Itulah mengapa Matt lebih suka menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia tak ingin mengganggu pertemuan rahasia istrinya dengan George.

Matt paham sepaham-pahamnya, bahwa kehidupan rumah tangganya memang telah menjadi datar, serba datar, istrinya berselingkuh di belakangnya. Lebih dari itu, kalau mau jujur, Matt sendiri sebenarnya merasa sedikit risau, berumah tangga selama lima tahun tapi belum dikaruniai momongan. Lagi-lagi Matt tak tahu dan tak mau tahu, apakah ia atau Liz yang mandul. Ia dan Liz seperti sudah  telanjur membuat kesepakatan untuk tidak mengungkit-ungkit masalah itu, kecuali mereka ingin benar-benar menyakiti satu sama lain.

Dan pertanyaan lain yang tak pernah terjawab juga masih utuh, mengambang di kepala Matt, mengiang di telinganya, “Apakah Liz masih mencintaiku? Apakah ia masih berkeinginan mempertahankan rumah tangga ini? Apakah….”

Matt merasa, ia tak harus ambil pusing dengan pertanyaan-pertannyaan tak penting itu. Yang jelas, setelah mereka menikah, dan Liz menjalankan kewajibannya sebagai istri dengan baik, melayaninya dengan baik, memasak, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, mencuci piring, Matt merasa bahwa Liz adalah satu-satunya wanita yang berhak untuk ia bahagiakan, meski mungkin dengan cara yang sedikit berbeda.

Bahkan Matt sengaja bersikap menyebalkan di hadapan Liz, supaya Liz punya alasan layak untuk meninggalkannya, karena dalam hal apa pun George memang lebih baik ketimbang dirinya. Liz telah cukup mengorbankan hari-harinya dengan lelaki yang mungkin sudah tidak ia cintai. Dan satu-satunya jalan supaya Liz bahagia adalah berpisah. Ya. Matt sudah siap untuk melepaskan Liz supaya ia  menemui George. Lelaki simpanannya.
***
Pagi itu, hujan sudah reda. Sementara Matt berkecipak air di kamar  mandi, Liz melamun di depan teve. Ia tidak menonton berita, tidak pula membaca koran pagi. Ia hanya tercenung, menatap layar teve, sementara pikirannya tidak di sana.

Liz menengok jam dinding yang jarum pendeknya nyaris mengacung di angka sepuluh. Liz khawatir, jika sewaktu-waktu George datang dan Matt belum berangkat ke tempat kerjanya. Seharusnya, justru Liz merasa lega apabila George datang sebelum Matt berangkat. Jadi tidak ada pertemuan yang tampak sembunyi-sembunyi seperti biasanya. Tapi begitulah, hatinya sudah telanjur cemas dan tidak enak. Jadi, ada Matt ataupun tidak di rumah, kedatangan George masih sama, seperti sebuah virus yang tak ia inginkan, virus yang mengusik rumah tangganya.

Ada kalanya Liz merasa bahwa dirinya sudah terlalu kejam pada George, lebih-lebih pada ibu George yang telah menganggapnya seperti anak sendiri, meski jarang bertemu muka. Entahlah, Liz tak tahu, apakah prinsip yang ia pegang salah atau benar, yang jelas ia ingin rumah tangganya dengan Matt tetap utuh dan  mesra seperti awal-awal mereka menikah. Mungkinkah?

Liz terjengkang dari lamunannya, ketika tiba-tiba Matt sudah berada di hadapannya dengan seragamnya yang necis. Sejenak Liz menatap wajah suaminya yang kini tampak segar usai mandi. Sungguh, wajah itu masih saja memesona seperti awal mula bertemu, batin Liz.
“Kau tahu di mana koperku, Liz?” Matt bertanya sambil membenarkan kerah lehernya.
“Bukannya di loker meja kerjamu?” tanggap Liz.
“Aku sudah memeriksanya, tapi tidak ada.”
“Tunggu sebentar,” Liz beranjak menuju ruang kerja Matt dan kembali dengan koper cokelat yang dicari-cari Matt.
“Ini apa?”
“Di mana kau menemukannya?” Matt mengernyitkan dahi.
“Di loker meja kerjamu.”
“Really? Aku sudah membuka loker meja itu, dan aku tak melihatnya,” Matt menggelengkan kepala untuk dirinya sendiri, “Kupikir aku sudah mulai pikun,” imbuhnya.
“Ini kopernya. Sebaiknya kau segera berangkat, kau sudah telat,” Liz menyodorkan koper itu kepada Matt.
Dengan sedikit senyum, kecut, Matt menyambut tas kopernya dan berkata, “Baiklah, aku beragkat dulu.”
“Hati-hati, awas sepatu dan celanamu basah.” Liz mengantar Matt sampai depan pintu.

Setelah punggung Matt hilang di kejauhan, dan Liz kembali menutup pintu depan, rumah itu tiba-tiba menjadi sangat senyap. Liz kembali terduduk di depan TV tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. Lantai di hadapan Liz masih berdebu. Sebenarnya Liz bisa saja mengambil penyedot debu dan membersihkannya. Atau kalau tidak, Liz bisa membuat cake untuk camilan makan malam. Bukankah Matt sangat menyukai cake.

Tapi tidak, Liz tidak melakukan apa pun. Hari itu ia merasa sangat malas untuk melakukan apa pun. Entah apa musababnya. Liz hanya merasa jenuh. Tiap kali Matt berangkat kerja, hidupnya seperti diliputi kesunyian. Lebih-lebih hari itu adalah hari ulang tahunnya. Tahun demi tahun, hari ulang tahunnya memang selalu senyap. Meski mungkin, sebentar lagi George akan datang untuk membawa kado dan sepotong kue, atau sebotol susu segar.
Apa? George? Ya Tuhan. Benar. Sudah pukul sepuluh. Sebentar lagi pasti George datang.

 Entah mengapa, tiba-tiba Liz berpikir, bahwa pada hari itu, hari ulang tahunnya yang kedua puluh delapan, Liz tak ingin menerima George sebagai orang pertama yang memberikan ucapan selamat dan memberikan kado padanya.  Artinya, detik itu Liz harus bersembunyi. Atau mendekam di dalam kamar dan pura-pura tidak mendengar bunyi bel pintu. Oh, tidak, Liz tak akan tega melakukan itu, jika ia ada di rumah. Maka, hari itu Liz mumutuskan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Pagi itu Liz akan mematikan telepon, dan ia akan pergi keluar rumah sebelum George datang. Sesekali anak itu memang butuh pelajaran lebih. Karena, maksud baiknya tak sebanding dengan risiko yang akan Liz terima: kehancuran rumah tangganya dengan Matt. Mungkin Liz sedikit berlebihan, tapi masa bodoh, detik itu ia merasa bahwa rumah tangganya sudah berada di ujung tanduk, meski semua tampak baik-baik saja.

Liz kembali menengok jam yang berdetak di pusat dinding. Liz hanya punya waktu beberapa menit. Sedikit menit. Liz akan membereskan sedikit pekerjaan rumahnya, dan setelah itu, ia akan segera hengkang, mengunci rumah dari luar. Biar saja  George tahu bahwa ia tak butuh kado atau apa pun darinya. Dan pada saat-saat seperti itu, Liz tahu ke mana ia harus pergi, menuntaskan kesunyiannya, mencairkan kecemasannya. Yang jelas, Liz harus sudah sampai rumah sebelum Matt pulang petang nanti.

***
Matt melangkah tergesa-gesa, menuju halte. Sepatu dan celananya basah oleh sisa-sisa hujan. Itu memang satu hal yang tak bisa ia hindari. Tidak masalah, yang penting baginya ialah, ia bisa segera pergi dari rumah dan tidak membuat Liz cemas karena keberadaannya. Pasalnya, sebentar lagi George pasti datang dengan sedan silver-nya, dengan kado dan kue ulang tahun untuk Liz. Ah, romantisnya. Matt membayangkan. Betapa manisnya ia andaikata bisa bersikap seperti George, dan betapa menggetarkannya seandainya Liz bisa mencintainya seperti mencintai George. Cemburu yang aneh.

Matt menunduk, memelototi sepatu dan ujung celananya yang sedikit basah, hingga ia melamun. Sebenarnya, kalau Liz mau tahu, hari itu Matt sengaja mengambil cuti. Ia berencana akan berdiam diri di rumah karena hari itu hari ulang tahun Liz. Matt selalu ingat, tanggal lima bulan Januari, Matt tak pernah lupa, bahkan ia sudah menyiapkan kado jauh-jauh hari, sama seperti tahun-tahun lalu. Tapi begitulah, mulut Matt seperti terkunci ketika ia hendak mengucapkan selamat ulang tahun, kado yang sudah ia siapkan pun urung ia berikan.

 “Liz, selamat ulang tahun, I love you…” Kata-kata itu sebenarnya sudah menyembul sampai ujung lidah, namun sebelum kata-kata itu terlompat ke udara, Matt seperti ditimpa kegamangan. Barangkali, kata-kata itu akan bertepuk sebelah tangan. Tiap kali hendak mengucapkan kata-kata itu dan menyerahkan kado ulang tahun untuk Liz, Matt selalu membayangkan bahwa Liz    hanya akan membalas dengan dua kata, “Terima kasih,” dan tentu saja tanpa kecupan yang Matt harapkan. Ujung-ujungnya Matt berpikir, bahwa ulang tahun Liz adalah pesta eksklusif untuk George dan untuk dirinya sendiri, Matt tak terhitung di dalamnya.

Itulah mengapa Matt selalu terlambat menyerahkan kado itu pada Liz. Ia selalu mengalah dan memilih berada di belakang George. Ucapan dan kado dari Matt adalah ucapan basa-basi yang sepantasnya dilakukan untuk orang yang tinggal satu atap. Pedih? Mungkin. Apa pun itu, Matt tak pernah peduli, pada akhirnya, seperti apa pun Liz menganggap dirinya, Matt tak pernah ambil peduli. Asalkan Liz bahagia, itu sudah lebih dari cukup. Terkadang Matt tersenyum kecut, menganggap sikap yang ia ambil itu terlalu bijak dan mulia, hingga kisah cintanya seperti telenovela dengan kadar keharuan yang berlarat-larat.

Matt duduk terdiam, menunggu bus datang. Sekali lagi, kalau ia mau jujur pada dirinya sendiri, sebenarnya hatinya masih saja sakit memikirkan Liz, memikirkan George, dan memikirkan dirinya sendiri. Matt menerawang, ke jalanan yang lengang karena bus belum juga datang. Tiba-tiba Matt membayangkan bagaimana wajah Liz ketika ia mendesak Matt untuk cepat-cepat berangkat kerja.  Matt tahu mengapa Liz mendesaknya sedemikian rupa untuk lekas-lekas berangkat kerja, karena sebentar lagi, pukul sebelas atau dua belas siang, George akan datang menemuinya.

Matt merapatkan kedua giginya hingga bergemeletak. Suara klakson membuyarkan lamunan Matt, lekas-lekas ia berlari mengejar bus yang hampir meninggalkannya. Di atas bus, Matt kembali membuka kopernya: sebuah kotak persegi kecil yang berisi kalung manik-manik, yang terbungkus rapi dan urung ia berikan pada Liz. Matt tersenyum. Perih.
***
Setelah pekerjaan rumahnya beres, Liz bergegas menuju halte. Menunggu bus yang akan membawanya ke sebuah kanal di pinggiran Kota Paris, tempat yang selalu ia datangi semasa kecil, semasa lajang, entah dengan ibunya, entah dengan George, entah sendiri.  Sudah lama sekali Liz tidak ke sana. Kini, kanal itu pasti sudah banyak berubah.

Liz ingat, ketika pertama kali ibunya membawanya ke tepian kanal itu. Ketika itu, mungkin ia masih tujuh atau delapan tahun. Ia dan ibunya terduduk di pagar beton yang menjadi bibir kanal dengan kaki menjuntai menyentuh air. Liz kecil terlalu bersemangat, mengibas-ngibaskan kedua kakinya hingga menciptakan suara air yang berkecipak.
“Jangan bermain air seperti itu, bisa terperosok kau nanti,” kata ibunya.
Liz kecil menghentikan gerakan kakinya dan menoleh kepada ibunya. “Mengapa kita ke sini, Ibu?” tanya Liz kecil.
“Karena tempat ini istimewa,” balas ibunya.
“Istimewa?”
“Ya, Ibu belum pernah bercerita, ya, kalau tempat ini adalah tempat ibu dan ayahmu bertemu, untuk pertama kali.”
“Di sini? Di tempat sekarang kita duduk ini?”
“Di sepanjang tepian kanal ini. Sebelum ayahmu pergi, pergi ke surga maksud Ibu, kami sering sekali menghabiskan waktu di sini. Jadi, mendatangi tempat ini adalah cara Ibu untuk mengenang ayahmu. Tempat yang indah, bukan?  Ibu harap kau menyukainya.”
“Aku memang menyukainya, tempat ini memang indah.”

Ibu tersenyum. “Tempat ini bukan cuma indah, Sayang, tapi mengajari kita sesuatu.”
“Maksud Ibu?”
“Kau lihat air jernih yang mengalir tenang itu?”
“Ya, aku melihatnya.”
“Terlampau jernihnya, bahkan kita bisa melihat apa-apa yang ada di dasar kanal, bebatuan, pasir, dedaunan yang tenggelam dan terbawa arus… bahkan ikan-ikan yang berenang ke hulu, semua tampak gamblang dan menggemaskan. Coba kau lihat itu!”
Liz kecil tertunduk, memperhatikan aliran air yang mengalir tenang, nyaris tanpa riak.
“Iya, Bu, ada ikan, ikannya berenang naik, ada satu, dua, tiga….”
“Ibu ingin, kelak, jika kau dewasa nanti, kau menjadi seperti kanal ini. Kanal yang airnya jernih dan sangat tenang.”
“Mengapa?”
“Kau tahu, kanal ini adalah terusan dari Sungai Saine yang agung. Jadi, meski Sungai Saine begitu besar, ia tetap membutuhkan sebuah kanal untuk mengalirkan airnya ke  tiap penjuru yang membutuhkannya. Dan, jangan pernah biarkan airmu menjadi keruh, karena air jernih adalah air yang selalu jujur, bersih dan mampu membersihkan, dan ia sangat bermanfaat bagi banyak orang, bagi banyak makhluk hidup. Ibu ingin kau seperti itu. Nanti kalau kau besar, pasti kau akan paham apa yang Ibu maksudkan.”

Liz kecil memandangi ibunya. Ibunya tersenyum lagi, “Dan satu lagi, air adalah makhluk paling kuat di dunia. Sejernih apa pun ia, setenang apa pun ia, ia bisa melumat segala apa bila ia marah: tanah, api, dan bahkan batu. Ibu ingin kau seperti air, yang di balik kelembutannya, di balik kejernihannya, menyimpan kekuatan yang dahsyat.”
“Mengapa begitu, Bu?”
“Apanya yang mengapa begitu?”
“Mengapa aku harus menjadi seperti itu, Bu.”
“Karena kau anak perempuan, Liz. Kelak, kau akan menjadi istri dan seorang ibu, seperti Ibu sekarang ini. Dan yang kau butuhkan untuk itu adalah mengerti, mengerti menempatkan sesuatu, mengerti hak dan kewajibanmu, dan selain itu kau juga membutuhkan kekuatan. Maka, Ibu katakan, jadilah kau seperti air, air jernih, air yang punya kekuatan dahsyat dan berfaedah bagi banyak orang.” (f)





************
Mashdar Zainal



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?