Fiction
Jejak Seribu Penyu [2]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Senyum angkuh Fei spontan mengukir. “Yang jelas, keberadaanku pasti dalam radius paling terjangkau oleh orang-orang penting itu.”

Tertegun sejenak, namun Via cepat memajukan bibirnya, membentuk ‘o’ yang panjang. Dasar bodoh. Siapa pun tahu, adalah suatu kelalaian besar untuk seorang staf humas dan peliputan yang luput mendokumentasikan segala bentuk aktivitas kemasyarakatan maupun ‘ritual’ seremonial yang ditorehkan oleh ‘orang-orang penting’ itu.

Dengan sigap Via melompat naik ke bak pick-up, yang memang telah disiapkan untuk mengantar rombongan ‘kelas dua’ menuju tempat tujuan masing-masing dalam beberapa rombongan. Masih sempat ia melambai pada Fei yang hanya mematung, tak tergerak sedikit pun untuk sekadar membimbing tangannya memanjat pick-up.

“Kuucapkan selamat bertugas, Mr. Jutek. Oh, ya, jangan lupa, sesekali arahkan kameramu padaku. Buletin kalian butuh penyegaran, bosan juga kan terus-menerus memasang tampang pejabat?”

Ya! Satu sama! Senyum puas Via terkembang, saat melihat wajah Fei yang kembali mendengus. Roda bergerak, meninggalkan dermaga yang berangsur sepi, dengan hanya satu-satunya kapal navigasi yang bersandar. Pun satu-satunya kapal yang akan membawa rombongan kembali ke Bintan sehari sesudahnya.

Pak.. pak... pak... dung.. tra... ra... ram...! Tabuhan gendang berirama rancak meningkahi lincah gerak empat pasang penari, pertanda acara penyambutan telah dibuka dengan tarian Persembahan.  Via sejenak memutar mata, menemukan sudut strategis, meja prasmanan!

Semilir sejuk menerpa. Via mendongak. Matanya memicing silau oleh panas terik sang surya, tak terhalang oleh naungan atap tenda, dan panas suhunya seakan mampu menguliti kulit kepala. Ini tidak mungkin. Via mendesah, seraya memegangi tengkuknya. Tengkuk yang mulai dirambati sejuk yang aneh.

“Kau... kenapa mengikutiku?”

“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin mengucap selamat datang, akhirnya kau sudi mengunjungiku.”

Apa? Tangan Via spontan menyusuri dadanya. Ada detak kencang di sana.

Tatap mata Via, perlahan mengedari sekeliling. Tak hanya dia, tapi juga mereka.  Ada di setiap sudut. Berdiri di bawah tenda, bergerombol di depan hidangan, berlalu- lalang di antara para penari. Menyebar, membaur, atau mungkin, ikut menikmati keramaian yang hanya sesekali adanya. Keramaian sekali setahun seiring kedatangan rombongan orang-orang penting dari kabupaten. Tapi, mungkinkah mereka juga menganggapnya sebagai sesuatu yang penting?

Via merapatkan kelopak mata. Seiring bisik lirih yang hanya mampu mencapai kedua gendang telinganya. ‘Anugerah’-Mu tak pernah sanggup untuk kutolak, ya, Allah, tapi kumohon untuk sejenak, izinkan mata ini menikmati dunia yang ‘seindah’ pandangan orang lain.

Dimensi Annisa
Tambelan, awal 2006

Seekor tukik (anak penyu) merangkak pelan. Tak menyadari bahaya yang mengintai hanya dalam jarak kurang dari setengah meter. Seekor penyu dewasa, yang sejak beberapa minggu ini tampak malas bergerak, tiba-tiba saja merangkak cepat, menuju ke arah tukik, dan dalam sekejap melahap dan membenamkan tukik malang itu ke dalam perutnya.

Sepasang mata bening mengamati seksama. Keasyikan yang meluputkan kesadarannya akan kehadiran seorang pria setengah baya yang ikut mencangkung di sisinya. “Asyik sekali kau, Nisa. Ape yang kau tengok?”

Wanita yang disapa Nisa itu spontan menoleh. “Penyu dewasa memangsa tukik, Pakcik. Sepertinya, kita harus memisahkan tempat mereka. Lama-lama bisa habis tukik-tukik kecil ni kalau terus hidup sekutak (kotak) dengan penyu.”

Pakcik Sahak, demikian orang kampung menyebut pria setengah baya itu, menghela napas dengan raut letih.

“Bang! Ada tamu di depan, nak (ingin) jumpe Nisa!” sebuah suara lantang memekik dari arah rumah Sahak.

“Siapa?” Sahak balas berteriak.

“Katenye dari perwakilan masyarakat. Mereka nak cakap (bicara) soal penyu dengan Nisa.”

“Lah kate aku (sudah kubilang)!” Wajah Sahak mendadak diliput gerhana. “Tenanglah, Pakcik. Niat baik memang butuh perjuangan.” Seraya menggamit tangan Sahak, Nisa melangkah tenang.

Telah ada ratusan penyu di dalam penangkaran. Bentuk penangkaran itu  sederhana saja, lebih tepat disebut keramba yang terapung di atas laut. Bedanya, kalau keramba biasanya digunakan orang untuk beternak ikan kerapu, maka keramba yang dijadikan Nisa sebagai tempat penangkaran penuh berisi tukik.

Lima wajah sangar menyambut Nisa dengan pandangan tak bersahabat. Sahak langsung memasang sikap waspada. Salah seorang dari mereka maju selangkah. “Kami tak nak berpanjang kata. Kami datang hanya nak tegaskan pada awak (kamu), segeralah hentikan usaha penangkaran tu! Pemikiran sarjana awak lebih memihak pada keselamatan hewan-hewan tu daripada asap dapur kami!”

Sampai akhirnya kelima pemuda itu beranjak, Nisa tetap mengunci mulutnya rapat. Gadis itu tahu persis, sekaligus menyadari, bahwa bantahan secara frontal hanya akan menyulut kemarahan, dan akibatnya, tak tertutup kemungkinan kalau usaha penangkaran yang telah susah payah ia rintis sejak setahun ini, akan berakhir sia-sia. Namun, Nisa juga menolak untuk mengiyakan, apalagi mengangguk setuju. Layar telah ia kembangkan, pantang baginya untuk surut ke belakang.

Tambelan adalah salah satu pulau di perairan Laut Cina Selatan dengan populasi terbesar persinggahan penyu dan sisik (penyu hijau) untuk menetaskan telur-telurnya. Anugerah itulah yang kemudian dimanfaatkan penduduk setempat dengan mengumpulkan telur-telur itu untuk diperjualbelikan. Namun, sejak 10 tahun terakhir, jumlah penyu yang singgah di perairan Tambelan telah menyusut jauh.

Kenyataan inilah yang kemudian membangkitkan kegelisahan Nisa. Tak hanya atas dasar rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang ia peroleh di bangku kuliah, lebih dari itu, siapa lagi yang lebih pantas untuk mempertahankan eksistensi penyu-penyu, jika bukan mereka yang mengaku terlahir di pulau ‘anugerah’ persinggahan ratusan, bahkan ribuan, hewan-hewan langka itu setiap tahunnya?

“Kau dah (sudah) dengar sendiri, ‘kan? Kalau dah bicara urusan asap dapur, urusan perut, siapa pun sanggup bertekak (berdebat) dan bersuara lantang, Nisa!” Sahak menyergah, nyaris putus asa.

Tak ia pahami benar jalan pemikiran Nisa. Sejak menamatkan kuliah, kemenakannya itu justru memilih kembali ke kampung. Mengabdikan diri pada upaya penyelamatan penyu. Ironisnya, ‘pengabdian’ Nisa justru dipandang sebelah mata. Di mata sebagian masyarakat, kegigihannya itu justru dianggap telah mengancam sumber utama mata pencaharian mereka yang selama ini bergantung pada penjualan telur penyu.

“Telur-telur tu kan sifatnya hanya musiman, Pakcik? Dan, bukankah pulau ni kaya hasil laut? Nisa yakin, ada yang dah memprovokasi mereka. Buktinya, tak sedikit juga masyarakat yang dah memulai upaya penyelamatan kecil-kecilan dengan memelihara tukik,” terang Nisa, seraya meraih ponselnya.

“Terserah kaulah, Nisa. Pakcik hanya khawatir dengan keselamatan kau”.
Bukan hal mudah untuk mencapai Tambelan. Kapal yang berlayar hanya ada dua kali dalam sebulan. Sekali berlayar, butuh waktu tak kurang sehari semalam, pun jika musim angin selatan tiba, orang enggan melayari perairan Tambelan, karena pada musim ini tinggi empasan ombaknya bisa mencapai lebih
dari dua meter.

“Dasar budak-budak (anak-anak) kini (sekarang)! Kalau dah dapat berita dari si jantung hati, cakap orang tua pun macam angin lalu! gerutu Sahak, seraya beranjak meninggalkan Nisa yang sudah tenggelam dalam keasyikan berbalas SMS. Satu-satunya media penghubung antara Nisa dan si ‘jantung hati’ yang hanya sekali dalam beberapa bulan dapat ia temui. Benda kecil ajaib itu menjadi mediator penting bagi memelihara hubungan kisah kasih jarak jauhnya.

Jd bila lg kemari? Cptlah, sdh ada rombongan berikutnya nak kulepas. Tak menunggu lama telah kembali muncul gambar amplop di layar ponselnya. Sgr. Thn dl penyu2 tu smp aq dtg.


Penulis: Riawani Elyta
Pemenang penghargaan Sayembara Mengarang Cerber Femina 2009



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?