Fiction
Hitam Merah Cinta [9]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

DARA

Dara melihat, betapa mudahnya mengumpulkan uang, asal mau me­lakukan apa saja. Tak perlu memikirkan kejujuran, moral, tak peduli omongan orang, dan terutama, tak perlu memakai hati. Setelah lama banting tulang, sambil mempertahankan idealisme dan mengorbankan perasaan, apa yang didapatnya? Tak ada, kecuali sakit hati dan tetap sebagai pegawai rendahan. Kini hidupnya sudah bergelimang uang.

Dara membayangkan ayahnya. Mungkin, apa yang dirasanya sekarang, itu juga yang berkecamuk dalam hati ayahnya dulu. Pasti itu membuatnya hilang akal, bagai singa luka. Itulah mengapa ia sering marah dan mengamuk.
Sebagai satu-satunya lulusan lokal di perusahaan multinasional itu, atasannya memandang rendah dirinya. Karier Dara di perusahaan itu sangat lambat, bahkan terhambat, tepatnya dihambat. Betapa kerasnya ia berusaha, betapa pun rajin dan disiplin, betapa pun keras ia berjuang untuk membuktikan diri, tidak pernah cukup untuk membuatnya dipromosikan.

Suatu hari Dara ditugaskan mendampingi tim marketing ke Jepang. Hari itu negosiasi mereka alot sekali. Mereka sudah bicara hampir seharian, matahari sudah lama pergi menyinari bagian lain bumi, tapi belum ada titik temu. Dara lelah sekali. Ia mengusulkan agar pembicaraan dilanjutkan besok pagi. Mereka setuju.

Tapi, Dara tidak bisa tidur. Terlalu lelah malah membuatnya sulit memicingkan mata. Sudah pukul dua pagi. Bosan gelisah di tempat tidur, ia turun ke lobi. Ada bar buka sampai subuh. Dara masuk. Ia perlu sesuatu yang bisa membuatnya tidur nyenyak, tapi tidak terlalu mabuk, setidaknya ia siap kembali bertarung esok pagi.

Ia melayangkan pandangan, menyapu seluruh ruangan. Lampunya temaram kemerahan, musik jazz mengalun pelan. Bartender menuangkan Orange Margarita. Dara menyeruputnya. Hmm... enak, agak sedikit asam. Garam di sekeliling mulut gelas menetrali­sasi rasa pahitnya. Hangat langsung menjalari kerongkongannya, turun ke dadanya, membawa ketenangan yang nikmat.

“Haro...,” sebuah suara terdengar. Dara menoleh. Salah satu anggota tim Jepang yang tadi siang ditemuinya. Dara tersenyum.

“Halo Hideaki san.”

“Sendiri? Tidak bisa tidurkah?”

“Begitulah.” Dara memandangnya, melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Hideaki san sendirian? Sering ke sini?”

“Saya menemani Kimura san. Kalau harus memikirkan yang berat, ia mengajak saya ke sini. Pikiran bisa jadi terang,” katanya, sambil menunjuk Kimura san yang duduk agak jauh, yang kini sedang memandangi mereka. Dara membungkuk, tanda hormat.

“Sebetulnya, apa yang membuat pembicaraan tadi siang begitu alot?” Dara mencoba memancingnya.

“Angkanya tidak sesuai. Soal pembagian keuntungan,” katanya.

“Oh… apa tidak bisa ketemu di tengah?” tanya Dara.

Hideaki san memandangnya. “Mungkin bisa, kalau ada keuntungan lain. Misalnya… kamu temani Kimura san satu malam.”

Dara terbelalak, ia ingin marah. Tapi, kalau ia marah, jalan negosiasi akan kian tertutup. “Hideaki san… itu tidak sopan. Sudah menyinggung saya,” katanya, sehalus mungkin.

“Jangan marah. Maksud saya, cuma temani minum.”

Dara termenung. Ia merasa terjebak. Jika bilang tidak, proyek ini akan gagal. Jika bilang ya, apakah harga proyek itu begitu murah? Hanya menemani minum satu pemegang keputusan, semua akan mulus? Dara yakin 200%, minum itu hanya kata penghalus.

“Tidak usah dijawab sekarang. Kalau besok kamu tidak turun, saya tahu kamu menolak.” Hideaki san meninggalkannya.

Keesokan paginya, pembicaraan tetap alot. Malamnya, Dara tidak bisa tidur lagi. Sebenarnya, ini kunci bagi promosi yang ditunggunya, asal kantor pusat tahu bahwa ialah yang meloloskan dealing ini. Tapi, bagaimana mungkin ia melakukannya?

Dara turun. Hideaki san menghampirinya.

“Saya ingin bicara dulu,” kata Dara. “Hideaki san, harga saya mahal. Selain proyek itu, ada syarat lain. Kimura san harus menyebut nama saya, saat mengegolkan proyek nanti. Meskipun saya bukan tim marketing, katakan pihak Anda mendapat masukan berharga dari saya.”

“Baik. Apa lagi?”

“Saya masih perawan.” Dara ragu-ragu, matanya menerawang, serasa berdiri di ujung jurang. “Sepuluh ribu dolar AS. Tunai, dan ia harus pakai pengaman.”

Itulah awal semuanya. Berawal dari sebuah ucapan asal bunyi yang dikiranya tidak akan ditanggapi. Sejak itu hidupnya dipenuhi kebohongan. Tak ada yang tahu profesi gandanya. Seperti yang sudah dikiranya, Dara memang tetap tidak mendapatkan promosi itu, tim marketing-lah yang dipuji-puji. Tapi, Dara bisa mendapatkan banyak uang dari ’kerja sampingannya’.

Jika sahabatnya tahu yang sesungguhnya ia kerjakan, mereka pasti akan memandang rendah. Ayahnya pasti menyembelihnya. Tapi, mungkin ini jalannya. Jika kejujuran dan kerja keras tidak menghasilkan apa-apa, sudah saatnya berpindah jalur.

Dara menunggu kedatangan Fiona di bandara. Lusa, Saras dan Bart akan bergabung. Mereka sudah mengatur waktu, agar bisa berkumpul bersama, supaya bisa menghadirkan suasana normal buat Anita. Mencoba membuatnya terbawa ke masa lalu. Menurut dokter, itulah terapi yang paling memungkinkan untuk menyembuhkannya, menghapus memori tentang Duncan. Jika tidak berhasil, Anita akan tetap dalam khayalannya sendiri.

“Nit, Fiona dan Saras akan mudik bareng. Mereka ingin kita piknik ke Bali. Kapan lagi kita bisa reuni seperti ini, ’kan?” Dara menyampaikan rencana itu pada Anita beberapa waktu sebelumnya.

Anita terbelalak senang. “Asyik! Berapa lama mereka ke sini? Aku tak tahu apakah bisa ikut, aku harus bilang Duncan dulu.”

“Pasti boleh.” Dara mencoba tidak menyebut nama Duncan. Apa pun kalimat Anita yang membawa Duncan, dijawabnya tanpa menyebut nama itu. Dara berharap setelah dua minggu atau satu bulan mereka bersama, Duncan akan terhapus dari memori Anita. Harapan yang terlalu muluk. Tapi, ia tidak boleh berhenti berharap.

Dara melihat Fiona muncul di pintu keluar, langsung menghampirinya. Mereka berpelukan, keduanya kehilangan kata-kata. Betapa lama mereka tidak bertemu.

Mereka keluar bandara sambil bergandengan, masih membisu. Setelah di mobil, Fiona yang pertama membuka percakapan.

“Bagaimana keadaan Anita, Dara?”

Dara menghela napas. “Menyedihkan, Yon. Kita harus berusaha mencabut Duncan dari memorinya. Kamu pasti kaget melihat dia.”

“Untuk itulah kita di sini. Kita akan bawa dia kembali ke masa sekarang, dia harus bisa mengatasi kehilangan dan kepedihannya.”

Pertemuan dengan Saras malah lebih emosional.

“Aku minta maaf, untuk semua sikap buruk dan kata-kata yang pernah aku katakan tentang Bart. Kalau ia membuatmu bahagia, aku ikut senang, Sar,” kata Dara pada Saras. “Aku tidak mau terbebani rasa bersalah, seperti yang sekarang aku rasakan pada Anita.”

“Kamu tidak salah, Dara. Dulu ia memang pantas dijahati.” Saras memeluknya “Sekarang ia banyak berubah. Kami sudah lebih saling mengenal dan aku melihat banyak kebaikan dalam dirinya.”

“Syukurlah. Aku hanya mau kamu bahagia, Sar,” suara Dara mulai basah. Akhir-akhir ini hatinya yang mengkristal mulai lunak.

Semua, termasuk Bart, tinggal di apartemen Dara. Mereka tidur bertiga di kamar Dara, mengobrol sampai pagi. Mereka menyusun skenario untuk menyembuhkan Anita. Bart dipisahkan di kamar tamu, supaya tidak terganggu obrolan mereka, dan bisa beristirahat.

Hari ini mereka akan menemui Anita. Mereka sudah sepakat, akan bertingkah laku seperti anak kuliah. Jika Anita menyebut nama Duncan, mereka akan berpura-pura, seolah baru pertama kali itu mendengarnya. Semua akan mencoba seceria mungkin.

Tapi, ternyata berpura-pura ceria itu lebih sulit dari yang didu­ga, karena Saras dan Fiona tak pernah membayangkan, tidak bisa membayangkan separah apa keadaan sahabat mereka. Langkah mereka tertahan ketika melihat Anita duduk didampingi ibunya di teras. Fiona dan Saras ingin berlari, untuk menyembunyikan air mata yang sudah mendesak keluar.

“Nit, sudah siap? Tante, kita berangkat sekarang, ya.”

“Kita mau ke mana, sih?” Anita heran.

“Kita kan mau ke Bali. Liburan begini kan kita biasa jalan-jalan.”

Anita memandang ibunya. “Tadi malam kau sudah beres-beres. Ayo, berangkat sana. Mama ambil koper kamu dulu,” ibunya menghilang di balik pintu, lalu muncul lagi, sambil menenteng koper.

Selama di perjalanan, Anita kelihatan gembira. Tiba di Bali, mereka mengisi hari-hari dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang menarik. Bermain dengan monyet-monyet gemuk, bermain pasir di Kuta, makan seafood di tepi pantai. Tak ada kejadian aneh atau ingatan Anita yang melenceng dari bayangan masa kuliah. Ketika melihat Anita tertidur dengan nyenyak sambil tersenyum, mereka bertiga bertatapan dengan trenyuh.

Hari ketiga, ketiganya terbangun serentak. Mereka mendengar suara nyanyian di kamar mandi. Anita bangun mendahului mereka, lebih pagi dari biasanya. Mereka mengutuk diri sendiri karena terlalu nyenyak tertidur. Setelah tersadar, mereka berlari menuju pintu kamar mandi, lalu saling menatap dengan pandangan tanya.“Jangan panik dulu, siapa tahu tidak terjadi apa-apa,” Fiona berbisik.

Mereka lalu kembali ke tempat tidur. Menunggu. Anita keluar dari kamar mandi. Rambutnya dibalut handuk, sepertinya baru saja keramas. Ia tertegun menatap tiga wajah tegang di depannya.

“Kalian kenapa ada di rumahku? Duncan mana, ya?”

Mereka bertiga langsung lemas. Tapi, harus tetap bersandiwara. “Duncan siapa?” tanya Saras.

“Ah, kalian memang belum pernah bertemu. Hari ini ia akan berangkat ke Balikpapan. Nanti aku kenalkan, Sar.”

“Nit, kita kan sedang liburan semester. Kita sedang piknik di Bali, nih,” kata Fiona, mencoba terus bersandiwara.

“Ah, kamu mimpi, Yon. Kita sudah lulus. Aku malah sudah hidup bersama Duncan, kami akan menikah kalau istrinya meninggal.”

Mereka bertiga menghela napas. Dara memejamkan mata dan menggeleng putus asa. “Kamu mimpi, Nit. Ini masih malam. Tidur lagi, yuk,” Dara masih mencoba meyakinkan Anita.

“Kamu yang mimpi. Kamu mimpi menjauhkan aku dari Duncan. Tidak akan terjadi, Dara. Aku akan tetap menunggu, menunggu, menunggu,” Anita mulai menjerit. Lalu, ia lari keluar, memanggil-manggil nama Duncan. Mereka bertiga mencoba menyusulnya. Bart yang mendengar ribut-ribut di kamar sebelah ikut terbangun dan keluar, menghalangi jalan mereka bertiga, sehingga Anita hilang dari pandangan.

“Anita kabur. Ayo, kejar,” kata Saras pada semua, termasuk Bart.

Mereka berpencar, sambil memanggil-manggil nama Anita. Dua ratus meter dari penginapan mereka, laut bisa terlihat. Mereka sangat khawatir jika Anita lari ke laut.


Penulis: Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?