Fiction
Hitam Merah Cinta [2]

22 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ia menelepon pria itu keesokan harinya. Nama lelaki itu Bart. Rupanya, sang nenek juga telah memberi tahu Bart, karena ia tidak terkejut menerima telepon Saras. Mereka berjanji bertemu di akhir minggu, hanya untuk minum kopi. Awal yang bagus.

Ketika mereka bertemu, Saras agak kecewa. Karena, kata awal pria itu adalah no commitment. Bart selalu berjalan sendiri di depan, meninggalkannya beberapa langkah di belakang. Saras agak tersinggung, karena Bart seolah tak mau terlihat berjalan bersamanya. Dipanggilnya pria itu dengan enggan.

“Hei, kamu sedang berjalan bersama seseorang.”

Bart menoleh, tersenyum malu-malu. Saras terkesima, senyumnya polos sekali. Saras merasa sudah jatuh cinta padanya. Lalu, Bart menunggunya dan berusaha berjalan dengan langkah lebih kecil, supaya mereka berdampingan. Mereka berjalan menuju barat, saat matahari sedang tenggelam, meninggalkan warna jingga di sepanjang garis langit. Saras ingin menangis. Baginya, saat itu romantis sekali.

Dua minggu liburannya, diperpanjangnya menjadi satu bulan penuh. Saras menelepon perusahaannya untuk mengambil habis cutinya tahun itu, ditambah utang cuti tahun depan. Waktunya terlalu berharga di sini. Saras tak mau kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Bart.

Bart seorang pencinta seni. Profesinya adalah arsitek. Waktu satu bulan itu dipenuhi dengan acara ngobrol dan jalan-jalan sore di hampir setiap akhir pekan. Bart memang menawan. Bahkan, sewaktu Bart menjemputnya di rumah, paman dan bibinya langsung jatuh cinta juga padanya. Bart pandai membawa diri. Saras yakin, kali ini kisah cintanya akan berjalan mulus.

FIONA
Hidup di ujung selatan bumi, terasa damai bagi Fiona. Semua bermula dari keputusasaan saat sang ayah mendadak meninggalkannya selamanya. Kenangan akan kedekatannya dengan sang ayah membuatnya tak mampu menahan kepedihan. Ia berpikir, ia tak bisa membuat bangga siapa pun lagi, karena ayah yang sangat mencintai dan selalu mendorongnya telah tiada. Lalu, Fiona merantau ke negara paling selatan di bola dunia.

Fiona berpostur tinggi, tertinggi di antara keempat sahabat itu, berkaca mata minus, tipe kutu buku sejati. Orang akan tertipu sebelum bicara dengannya, karena sesungguhnya ia sangat supel dan suka mengumpulkan teman, mengelompokkannya menurut minat, dan sering mengatur pertemuan dengan kelompok itu. Banyak yang akhirnya bertemu jodoh dari pertemuan-pertemuan yang diaturnya. Fiona senang membuat orang-orang bahagia.

Kakak-kakaknya menikah dengan beragam suku. Hanya Fiona yang belum menikah, meski temannya ada di setiap belokan jalan. Fiona keturunan Cina, tetapi ayahnya sangat moderat, tak pernah mempermasalahkan perbedaan ras dan agama, bahkan aktif di organisasi pembauran. Fiona tidak dekat dengan ibunya, melainkan dengan sang ayah. Mereka biasa mengobrol lama dari hati ke hati tentang berbagai topik.

Ketika Fiona pertama kali masuk sekolah, ayahnya yang mengantar dan menungguinya. Ayahnya punya toko hasil bumi. Setiap pukul lima sore Fiona menunggui ayahnya pulang di halaman rumah. Ketika ayahnya muncul di ujung gang, ia berlari menuju ayahnya, kemudian ayahnya akan memanggulnya di bahu. Jika kiriman hasil bumi sedang datang dari para petani daerah, ayahnya pulang terlambat. Fiona terkadang ketiduran di ruang tamu, dan ayahnya akan menggendongnya, memindahkannya ke kamar tidur. Esok harinya Fiona mendapati oleh-oleh. Entah boneka, sekotak cokelat, atau jalan-jalan berdua untuk minum es krim. Atau, ayahnya akan menceritakan dongeng tentang peri baik hati sampai ia tertidur.

Dalam hati Fiona berpikir, tak ada peri baik hati. Yang ada hanya ayah baik hati.

Operator menyampaikan telepon untuknya. Fiona lang­sung mengenali suara kakaknya yang sengau. Ayahnya meninggal! Bagaimana mungkin? Ayahnya tak pernah mengidap sakit apa pun. Tadi malam mereka masih ngobrol sampai larut, sampai Fiona memutuskan tidur di sofa ruang tamu karena malas pindah ke kamar tidur. Ayahnya juga memutuskan menemaninya, dan tidur di karpet. Tadi pagi waktu berangkat kerja, Fiona melihat ayahnya masih bernapas tenang.

Fiona limbung. Ia hampir tak bisa bicara sewaktu minta izin pulang. Suaranya basah bercampur tangis. Fiona serasa melangkah di awan. Bahkan, saat kehilangan Dino, tunangannya dulu, ia tak merasa sekosong ini. Yona masih membutuhkan Papi. Yona sudah berjanji akan membuat Papi bangga. Tapi, kenapa Papi meninggalkan Yona, sebelum Yona sempat mewujudkannya?

Fiona meratap dan pingsan berkali-kali. Bahkan, saat tanah ditaburkan di makam ayahnya, ia harus dipegangi erat-erat. Keluarganya takut ia akan ikut melompat ke liang kubur. Saat saudaranya mengundangnya ke Auckland untuk menenangkan diri, Fiona malah tak ingin kembali ke Jakarta.

Saat ini ia tak tahu apa yang diinginkannya. Ia hanya tahu, tak akan ada yang melindunginya lagi, tak akan ada yang memberinya senyum kebanggaan. Ia tak tahu, apa yang akan dibuktikannya atau ingin dicapainya. Bahkan, ia tak ingin lagi bersama teman-temannya, tempat ia biasa berbagi kebahagiaan.

DARA
Sebagai pengacara sebuah perusahaan multinasional di Jakarta, Dara paling sukses di antara mereka berempat. Semua orang memandang iri hidupnya yang lengkap. Tubuhnya yang langsing selalu dibalut pakaian keluaran butik ternama. Mobil mewah dan apartemen pribadi sudah dimilikinya, rupiah menumpuk di rekeningnya, separuh dunia sudah dikunjunginya.

Dara berkulit putih bersih, berwajah oriental dengan kecantikan yang dingin. Dara skeptis terhadap perkawinan, dan memandang negatif segala bentuk hubungan romantis. Dengan jabatan dan mobilitasnya yang tinggi, namanya seolah menunjukkan siapa dirinya. Ia hampir tak pernah punya waktu untuk sekadar berleha-leha, kecuali saat tidur malam hari, yang maksimal hanya empat jam. Dara tak pernah tidur sebelum pukul satu malam, dan sudah terbangun pukul lima pagi. Waktunya hanya untuk mencari uang.

Tiga belas tahun lalu, Dara hampir menikah dengan Ivan, yang tanpa putus asa mengejarnya. Saat itu Dara masih gadis sederhana. Ia sulit jatuh cinta. Tapi, perhatian Ivan melumerkan hatinya.

Mereka sudah menabung bersama dan rajin mengunjungi pameran perumahan. Sebetulnya, ibu Dara kurang setuju. Sebagai anak gadis satu-satunya, cantik dan pintar, ibunya ingin Dara mendapatkan seorang pengusaha kaya, bukan karyawan bank seperti Ivan. Kendaraannya pun hanya motor tua. Bagaimana Dara akan menopang hidup orang tuanya, jika untuk mereka berdua saja masih harus berjuang?

Dara dilahirkan di sebuah kota kecil dalam keluarga sederhana. Ayahnya terus berganti pekerjaan, ibunya menerima jahitan di rumah. Biaya hidup sehari-hari lebih banyak ditopang oleh ibunya. Seharusnya, mereka bisa hidup berkecukupan. Sayang, ibunya suka berjudi, terpesona pada impian untuk kaya mendadak, sehingga sering meninggalkan langganannya menunggu.

Hanya, ayahnya mendorongnya tetap sekolah, sesulit apa pun keuangan mereka. Bahkan, ayahnya sering membuainya dalam mimpi, ”Kalau bisa terus jadi juara kelas, Ayah akan kirim Dara sekolah di luar negeri.” Sayang, itu hanya fatamorgana. Ayah-ibunya tak mampu mengirim Dara ke luar negeri. Tapi, Dara berhasil masuk universitas negeri.

Pernikahannya dengan Ivan tinggal satu bulan lagi. Semua sudah diatur matang. Tak akan ada pesta besar, hanya pemberkatan di gereja. Yang diundang hanya kerabat dekat dan sahabat.

Dara teringat saat pertama bertemu Ivan, mereka berbagi meja di kantin kantor. Mereka bekerja di gedung yang sama. Dara baru bekerja satu minggu. Saras adalah penyelianya saat itu. Saras pula yang memperkenalkannya kelak dengan Anita dan Fiona.

Hari itu mereka makan siang bersama. Kantin penuh sekali. Semua orang berbagi meja. Dara dan Saras berbagi meja bersama dua pria menarik. Saras kenal dengan keduanya. Pria pertama bernama Herman. Sudah ada cincin melingkar di jari manisnya. Katanya, ia pengantin baru. Pria yang lain, Ivan, baru putus cinta. Ivan punya senyum seperti anak- anak, tampan, dan lucu.

Ivan meminta nomor teleponnya hari itu. Esok harinya, dan berhari-hari kemudian, tidak kurang dari tiga kali sehari Ivan meneleponnya. Semua orang di divisinya heran, karena tiba-tiba Dara sering mendapat telepon misterius.

Tak dinyana, rahasianya dibocorkan dari Pak Imran, cleaning service. Ivan memang sering menitipkan sarapan lewat Pak Imran. Hebohlah seluruh gedung, karena anak baru berhasil menggaet hati Ivan. Tapi, Dara tidak langsung terpikat pada Ivan. Ia sadar, pria yang baru putus cinta, rawan sekali terhadap hubungan baru. Namun, pria itu terang-terangan mendekatinya.


Penullis: Dela Tan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?