Fiction
Hitam Merah Cinta [1]

22 May 2012

ANITA
Bekerja sebagai kepala bagian personalia di perusahaan minyak asing, Anita punya kesempatan bertemu banyak ekspatriat. Meski sebelumnya ia tak pernah berminat ikut ‘berburu’ pria asing, suatu saat ia tersadar bahwa pepatah Jawa ‘witing tresno jalaran soko kulino’ ternyata benar adanya.

Dibesarkan di lingkungan keluarga besar dengan tujuh saudara, kedua orang tuanya mungkin sulit membagi kasih dengan adil, sehingga akhirnya perhatian dan kasih sayang mereka hanya tercurah pada adik bungsunya. Lagi pula, keluarga Anita sering berpindah kota, karena ayahnya seorang pegawai BUMN yang sering dipindah-tugaskan.

Anita bertubuh mungil. Rambutnya ikal sebahu. Pekerja keras dan mempunyai kasih yang tak ada habisnya di hatinya. Anita bersedia mengulurkan tangan, tanpa pamrih. Temannya tak terhitung. Tapi, dalam cinta, ia tak seberuntung wanita lain. Menjelang tiga puluh lima, Anita sudah tiga kali jatuh cinta pada pria yang keliru. Semua pria yang dicintainya, hanya memanfaatkannya, lalu menikah dengan wanita lain.

Saat inilah ia sekarang, hidup bersama, berbagi hari dengan kekasihnya seorang berkebangsaan Inggris. Hidupnya terasa lengkap. Hampir lengkap, hanya kurang status sebagai istri dan ibu.

Duncan berusia 50 tahun. Istrinya tinggal di London, bersama kedua anaknya yang telah menikah dan cucunya. Ia pendiam dan kaku. Tubuhnya gempal dan rambut mulai menipis, jauh dari kesatria berbaju zirah impian Anita semasa remaja. Ketika pertama kali bertemu, Anita bahkan tak pernah berpikir akan jatuh cinta padanya. Ia tahu Duncan sudah berkeluarga. Ia pun tak pernah mengincar pria asing. Tapi, nasib bicara lain.

Hari itu hujan lebat turun di Jakarta. Deras sekali, seolah langit sedang kebanjiran. Seperti biasanya, curahan air sebesar itu akan membuat Jakarta macet. Anita berpikir menunggu sampai agak larut di kantor, daripada menambah panjang deretan mobil. Duncan bolak-balik di depan ruangannya, sesekali melongok ke dalam. Kelihatan sekali bahwa ia gelisah.

Anita sadar, sudah beberapa bulan ini Duncan lebih sering menyapanya, bahkan sering menatapnya diam-diam. Anita tahu, tapi tak berani terlalu bereaksi. Ia sadar, membalas perhatian pria itu, berarti mengundang sejuta masalah. Tapi, Anita juga sadar, degup jantungnya lebih kencang jika mereka berpapasan. Anita sangat sadar, aliran kimia di darahnya kian ditahan malah kian menggelegak. Dan, ia yakin telah jatuh cinta. Pada orang yang salah….

Malam ini, nyata sekali Duncan sengaja menunggunya. Kantor sangat sepi. Seluruh rekan kerjanya sudah lama bergabung di kemacetan kota. Anita mulai ketakutan. Takut akan perasaannya sendiri. Takut ia tak bisa menahan gejolak yang selama ini ditahannya.

Tiba-tiba Duncan sudah berdiri di depan mejanya. Anita kaget setengah mati dan jeritan kecil keluar dari mulutnya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Duncan, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

“Ya. Hanya, saya pikir, kamu sudah pulang,” kata Anita.

“Tadinya begitu. Tapi, hujan sederas ini pasti Jakarta macet. Ini sudah malam sekali. Kamu tidak takut pulang sendiri?”

“Sudah biasa,” jawab Anita, sambil tersenyum, menutupi debar jantung yang rasanya hendak mendobrak dada. Ia mendongak. Mata mereka beradu.

Duncan tersenyum. “Ayo, saya temani pulang. Kalau masih macet, kita bisa mampir makan malam.”

Anita mengangguk dan mulai berbenah.

Jalan setapak berkerikil menuju rumah kontrakan Anita terasa licin karena basah. Anita gugup, karena terlalu keras berusaha menahan diri. Ia tergelincir. Duncan memeluknya. Di sanalah mereka, tengah malam di bawah langit Jakarta yang masih gerimis, berpelukan lama sekali, tak ada yang berinisiatif melepaskannya lebih dahulu.
Keesokan harinya dan hari berikutnya lagi, terus dan terus, mereka berusaha mencari peluang bersama, tersembunyi dari mata rekan kerja.

Saat Anita berulang tahun, Duncan menyentuhnya pertama kali. Anita sebenarnya konservatif, tapi tak bisa teguh lagi memegang keyakinannya. Meleleh oleh keinginan akan kedekatan yang lebih, Anita menyerah. Mereka menghabiskan hari-hari bersama di Bali.

Mereka berhasil merahasiakan hubungan terlarang itu dari semua mata. Tapi, Anita tidak sanggup jika tidak membagi hitam merah cintanya dengan ketiga sahabatnya Saras, Fiona, dan Dara. Hanya mereka temannya berbagi, meskipun sekarang mereka terpencar di belahan lain dunia. Hanya ia dan Dara yang masih sama-sama di Jakarta.

Asa yang ada kian menyesakkan. Anita tak mau lagi berbagi. Ia ingin memiliki Duncan, seutuhnya, hanya untuk dirinya. Cintanya sekali ini ternyata lebih keliru dibanding cintanya yang lalu-lalu. Cintanya sekali ini telah membutakan mata dan hatinya….

SARAS
Ketika memutuskan nekat pergi ke negeri orang, Saras tidak pernah berpikir hidupnya akan terasa sesempurna ini. Suaminya pria Belanda tampan yang dicintainya setengah mati, yang dikejarnya hampir separuh bumi, dan akhirnya jatuh ke pelukannya, jadi miliknya selamanya.

Tidak seperti ketiga sahabatnya yang lain, pria Indonesia tak pernah memasuki hatinya, seindah apa pun paras pria itu. Tapi, dengan mudah ia terjerat pada lelaki asing, bagai besi menempel di magnet. Meskipun, penampilan pria asing itu biasa-biasa saja.

Saras berkulit sawo matang . Rambut ikalnya tergerai melewati bahu, yang tetap dipertahankan berwarna hitam, meskipun seluruh dunia, pria dan wanita, ramai-ramai mengubah warna rambutnya. Ia dibesarkan di keluarga Jawa, yang berpegang teguh pada adat. Hampir semua kerabat dari garis ayahnya menjadi perwira militer. Karena itu, kenekatannya berjuang mendapatkan cinta pria asing adalah perjalanan panjang yang melelahkan.

Hampir dipastikan, Saras berangkat ke Belanda setiap tahun. Di sana ada Bibi Tutik, adik ibunya, dan suaminya, Oom Denis, yang tidak dikaruniai anak, sehingga Saras dilimpahi kasih sayang lebih daripada anak sendiri.
Sudah kesekian kalinya Saras berkunjung ke Belanda, ketika ia bertemu seorang nenek di kereta dari Leiden menuju Amsterdam. Entah karena sangat terkesan oleh pembicaraan mereka, entah nenek itu berperan sebagai tenaga pemasaran bagi cucunya, ia menunjukkan foto pria berparas elok pada Saras. Katanya, pria itu adalah cucunya yang sedang mencari jodoh.

Pria di foto itu tinggi dan langsing. Rambut dan matanya abu-abu. Konon, usianya 41 tahun. Usia sempurna, menurut Saras. Saras, dengan jiwa petualangan dan minatnya pada pria berambut tidak hitam, berjanji pada nenek itu akan menelepon cucunya. Dan, janji Saras bukan cuma basa basi.


Penullis: Dela Tan



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?