Fiction
Hikayat Negeri Terapung [3]

12 Jul 2013



Bagian 3
Kisah Sebelumnya:
Kedatangan Hasanudiin, peria yg dulunya paling miskin di Kampung Terapung, dengan membawa banyak uang membuat heboh. Seperti Hasanuddin, semua orang ingin membuat Proposal bagi warga daerah konflik Aceh untuk mendapatkan uang. Tak terkecuali Ramlah, seorang ibu tunggal yang harus menghidupi kedua anaknya dengan mencari ikan. Bersama Sabariyah, tetangganya, Ramlah berusaha untuk membuat proposal di warnet milik Zaid.

Sejak kedua orangtuanya meninggal, Yusuf hanya tinggal bersama Sabariyah. Mungkin terkadang ia terlalu keras mendidik cucu semata wayangnya. Ayah dan ibunya meninggal saat ia masih berumur dua tahun. Mereka mengunjungi saudara yang sakit, di kampung sebelah,  ternyata jarak antara Desa Terapung dan kampung sebelah itu terlalu jauh. Sampai Yusuf membutuhkan jarak tak terhingga untuk mengetahui keberadaan mereka.

“Hmm, jadi bagaimana Nek, kita lanjutkan?,” tanya Zaid.
“Ya,ya tentu saja,” matanya masih memandang geram pintu yang baru saja mengantar cucunya keluar. 
“Lihat saja nanti di rumah,” batinnya.
Setelah menyebutkan nama, umur, alamat dan pertanyaan standar untuk biodata, selanjutnya Zaid meminta Sabariyah menceritakan kejadian yang menimpanya di masa konflik.
“Apa luka itu harus diceritakan kembali?”
“Ya harus, biar mereka tahu dan yakin kalau nenek itu korban, namanya juga bantuan untuk korban konflik.”
Dengan terpaksa, akhirnya Sabariyah mengorek-ngorek kembali luka yang berusaha ditutup-tutupi dan mudah sekali menganga, lagipula luka itu masih basah. Dan mulailah perempuan itu bercerita.  
“Mulanya saya sangat bahagia hidup bersama suami, melahirkan Azizah, membesarkannya hingga ia menikah. Saat DOM, suami saya berjualan ikan seperti biasanya, sampai hari ini tidak kembali, saya mencarinya kemana-mana. Di mana ada informasi, saya cari dia sampai puluhan tahun, tapi tidak pernah kembali. Akhirnya saya bukan menyerah, tapi kini ikhlas. Di manapun suami saya berada saya selalu mendoakannya.”
“Setelah itu saya kembali melanjutkan hidup, bersama anak menantu, sampai si Yusuf lahir menjadi obat hidup saya, hanya dua tahun, saat anak menantu saya menjenguk saudara yang sedang sakit di kampung sebelah, tapi mereka tidak pernah kembali sampai hari ini, saya dengar kabar kalau mereka diculik, entahlah. Yang pasti memang saya memaafkan yang sudah terjadi tapi bukan berarti melupakan,” Sabariyah bercerita dengan suara bergetar.

****
Selanjutnya Ramlah menceritakan kisahnya dan memberi Zaid biodata yang dibutuhkan. Meskipun dengan terbata-bata, kisah Ramlah berhasil diketik oleh Zaid dengan sempurna. Bahkan dengan bahasa menyentuh dan menarik. 

Ramlah Mulai berkisah, saat itu ia bingung dengan kondisi di kampung mereka, setiap harinya orang-orang berpakaian loreng semakin bertambah. Bahkan jumlahnya seakan melebihi penduduk kampung. Setiap hari berkeliling lorong-lorong sempit kampung terapung. Sesekali puluhan pasukan itu duduk di warung Sabariyah, tetangganya. Sebenarnya Ramlah risih sekali, rasanya setiap geraknya diikuti puluhan mata.

Rahmat, suami tercintanya selalu menemani Ramlah menuju kompleks perumahan besar, mengantar perempuan kesayangannya mencuci pakain orang-orang kaya, sebelum ia melaut. Laki-laki itu selalu terlihat gagah di matanya, meski wakti itu10 tahun sudah ia lewati bersama laki-laki yang telah memberinya dua putri itu. Setiap hari terpanggang mentari, kulitnya legam, rambutnya cekang, warnanya rambut jagung, akibat terpapar mentari. Perwakannya tinggi, hidung mancung dan alis tebal. Meskipun begitu hatinya selembut lelehan coklat. 

Laki-laki berhati lembut itu selalu mendengar keluh kesah Ramlah. Dan sering bercanda dengan kedua putri mereka. Rahmat berharap anaknya kelak dapat meraih pendidikan tinggi, tidak seperti dirinya, menderita di pondok kayu seumur hidup. 
Sesekali ia ikut menjadi anak buah kapal, melanglang di laut hingga seminggu demi mendapat hasil maksimal untuk keluarga, kadang laut tak selalu bersahabat, namun bertaruh di laut adalah kebiasaannya. 

Hidup memang pertaruhan. 
Ramadhan 1999, Suatu pagi buta, mikrofon mesjid berkoar koar. Ramlah yang sedang membereskan sisa sahur sambil menggendong bayinya yang baru berusia enam bulan. Sikecil tiba-tiba terbangun dan tidak mau tidur lagi, terpaksa ia sahur dengan Mala di gendongan. 

Suara di mikrofon mesjid yang biasanya digunakan untuk azan, atau pun mengumumkan kematian dan kegiatan-kegiatan kampung lainnya, hari itu mengeluarkan ajakan berbeda. Subuh itu sebuah ajakan untuk berkumpul di mesjid kampung membuatnya bergegas membereskan peralatan makan, setelah shalat subuh, matahari belum sepenuhnya menampakkan wujud, hanya warna keperakan yang menandakan subuh telah khatam. Ia bersama suami bergegas menuju mesjid dengan mengajak sisulung yang baru berusia tujuh tahun. 

Sedikit protes karena hari itu hari minggu, biasanya dimanfaatkan oleh putri sulungnya bermalas-malasan sampai puas, sebelum kemudian bermain dengan teman sebaya. Rengekannya untuk tetap tinggal dibalas bujukan.
“Saya nggak mau ikut, masih mengantuk, siap sahur mau tidur lagi,”
“Ayo lah Nak, nanti mamak kasih permen, di sana kamu jumpa sama teman-teman kamu, rame di sana,”
Pengeras suara dari mesjid memang meminta semua penduduk desa terapung unuk berkumpul, tua muda, bahkan bayi juga diikut sertakan. 
Dari kejauhan Ramlah melihat bayangan orang-orang, mesjid tumpah ruah, ternyata mereka terlambat, karena terlalu lama merayu Ainun untuk ikut. 

Subuh itu, desa terapung kosong, kegiatan hanya terpusat di satu tempat: mesjid. Mesjid berkubah satu dengan cat hijau pupus itu menampung ribuan penduduk. Tidak lama kemudian, orang-orang mulai membentuk barisan, ketua pemuda gampong, yang mengorganisasi penduduk mulai mengatur barisan. Barisan depan terdiri dari anak-anak dan perempuan, di barisan belakang laki-laki. 
Sebenarnya Ramlah tidak mengerti untuk apa mereka berkumpul, bahkan sampai membawa anak-anak berbaris seperti itu. Dari pengeras suara tadi cuma terdengar masyarakat diminta berkumpul di mesjid untuk meminta keadilan. Ia tidak mengerti apa maksudnya.

Tidak lama kemudian mereka mulai berjalan dan diarahkan ke Kantor Bupati, barisan yang mengular itu kalang kabut karena ternyata kantor tutup hari Minggu, kemudian mereka menuju ke Pendopo Bupati. Terjadi sedikit kekacauan karena perubahana arah massa yang mencapai ribuan orang.

Orang-orang berpakaian loreng tampak berjaga-jaga, sebagian malah terlihat menembak lampu-lampu jalan. Lorong-lorong tampak sepi, semua masyarakat berada dalam satu titik perjalanan menuju pendopo. Langkah kaki berjalan cepat, massa mulai berteriak-teriak, Ramlah hanya berjalan saja mengikuti arah massa. Ia sibuk menenangkan putri bungsunya, bayi itu beberapa kali menangis, mungkin karena mendengar teriakan-teriakan. Toko–toko tutup, kota itu seperti mati, beberapa orang yang tidak ikut dalam lautan manusia itu memilih mengunci diri dan berlindung di balik tembok rumah. Sesekali menajamkan telinga, ingin tahu apa yang terjadi di luar. Pasar kosong melompong, hanya lalat-lalat yang terbang kebingungan, kehilangan tambang makanan. 

Mendekati pendopo, massa mulai dihadang orang-orang berseragam. Suasana semakin kacau, orang-orang mulai berteriak-teriak, menuntut keadilan. Tidak lama kemudian rentetan peluru menerjang tubuh-tubuh manusia. Suasana semakin kacau, teriakan ketakutan, kesakitan menjadi satu. Matahari semakin terik, peluh, darah, airmata hari itu tumpah di jalan.

Hari itu sekali lagi kekuatan seorang perempuan dibuktikan, di antara desing peluru, Ramlah memeluk bayi di gendongannya, dan menarik si sulung menjauh dari keributan itu. Namun desir darah mengalir deras, memicu jantungnya bekerja lebih cepat, tubuhnya menjadi lemas dan gemetaran hingga kakinya tidak bisa diajak berlari. Ia berjalan terseok-seok, memaksa sisulung berlari menyelamatkan diri.

“Ayolah Nak, kamu selamatkan diri, mamak tidak mampu berlari lagi,”
“Tidak Mak, kalaupun mati, mati bersama kita,” jawab Ainun mempererat genggaman tangan pada ibunya.
Kekacauan di depan mata, darah di mana-mana, namun tidak membutakan nurani mereka.

****
Setelah bersusah payah, adrenalin memuncak, akhirnya mereka tiba di mesjid tempat berkumpul subuh tadi, tidak lama kemudian mesjid semakin ramai, orang-orang mencari perlindungan di rumah Tuhan.

Setelah menenangkan diri, Ramlah memutuskan pulang ke rumah. Menjelang Ashar, setelah menyusui sibungsu, Ramlah menyeduh kopi. Suaminya maniak kopi, pagi, siang, malam, tengah malam, tidak pernah dilewati tanpa kopi. Semakin memperjelas antara minuman kesukaan dan warna kulitnya. Senada.

Pukul lima sore, kopi sudah dingin, namun suaminya belum pulang. Sebenarnya dari tadi ia sudah gelisah, apalagi anak dalam gendongannya terus-terusan menangis. Dalam suasana kalut, sebuah mobil ambulans merapat di depan jalan, sosok laki-laki yang dari tadi dinantinya akhirnya pulang. Namun hanya jasadnya. Dengan lubang di dada dan kepala. 

Kehidupannya setelah itu berubah total, dari keluarga sederhana di bibir pantai, kini ia menjadi janda dan anaknya yatim. Bukan itu saja, ia juga menjadi buruan media, manusia berseragam dan orang-orang di gunung yang mencari kebenaran.
Akhirnya Ramlah menghilang dari kampung dengan membawa beberapa lembar pakaian, di pinggir jalan besar, ia duduk berhari-hari, tanpa arah tanpa tujuan. Karena tidak tega, beberapa penduduk memberi makanan untuk anaknya.

Tidur di pinggir jalan, ditemani dingin dan nyamuk ternyata lebih baik saat itu dari pada pulang ke rumah dan ditangkap, ditanya tentang kematian suaminya yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya, selain pagi itu mereka mengikuti perintah dari pengeras suara itu. 

Hanya itu, ia tahu suaminya tidak terlibat gerakan apapun, Rahmat hanya laki-laki setia yang menghabiskan waktunya di laut demi memberi sumber kehidupan bagi keluarga kecilnya. Hanya itu. Namun di masa sulit siapa yang percaya pada kata-kata. 
Seperti berteriak di dalam air, hanya menyisakan gelembung-gelembung yang tidak akan dimengerti siapapun. Jadi ia memutuskan diam dan menjadi separuh gila di pinggir jalan, tapi tidak pernah mengganggu, separuh pengemis tapi juga tidak pernah meminta. Hanya menerima jika diberikan. Itupun karena ia masih ingat kedua anaknya yang butuh makan. 

Tidak mandi berhari-hari, rambut megar, numpang buang hajat di rumah orang, diterpa panas dan dingin  hampir sebulan, baju tidak pernah ganti persis pengemis. Namun ia merasa aman dengan kondisi itu, pernah terbersit di hati untuk meneruskan kebiasaan itu namun ia teringat suaminya pasti akan kecewa jika ia terus-terusan seperti itu. 
Suatu pagi, kicau burung membangunkannya, kicau itu sekaligus membangunkan sesuatu yang hampir padam dalam dirinya. Semangat hidup. Lalu ia pandangi kedua anak di dalam dekapannya. 

Tubuh kurus Ainun semakin gelap, rambutnya kusut dan memerah dibakar mentari, di kakinya tumbuh kudis yang kini sedang dihinggapi lalat hijau. Makhluk itu seperti sedang mengorek-ngorek kudis Ainun, sampai ia terbangun dan mendapati ibunya sedang sibuk mengusir lalat itu, namun semakin diusir semakin tertantang untuk mengerubungi luka di kaki mungil itu.

Si bungsu semakin kurus dan sekarang panas badannya tinggi. Sesuatu matanya tiba-tiba menghangat, butiran air memaksa keluar, dadanya sesak karena menolak butiran luruh dari matanya. Rasa bersalah mengepungnya. Seketika ia mengutuk diri sendiri sebagai ibu yang telah menelantarkan dua amanahNya. Sekaligus tanda mata suami tercinta. 
Tanpa menunggu lama, Ramlah memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Berjalan kaki hampir tiga jam, dengan perut kosong, bukan pilihan yang tepat.  Perlahan dibukanya ikatan kecil di sudut kain panjang yang ia pakai menggendong sibungsu. Ramlah membeli nasi untuk dirinya dan Ainun. Si bungsu belum makan makan selain ASI. Selesai makan, mereka bertiga menumpang labi-labi menuju desa Cot Mesjid. Kampung halamannya sebelum pindah ke Desa Terapung. 
Saat melangkahkan kaki ke halaman rumah tempat ia dibesarkan, suara telapak kaki menginjak daun kering terdengar seperti sesuatu menggesek hatinya. Bau asam sunti yang sedang dijemur berbaur dengan wewangian Seulanga yang sengaja di tanam ibunya berjejer di halaman. Muncullah ironi, harum yang unik. 
Hasanah sedang menaiki tangga rumah panggungnya, saat ia mendengar langkah kaki di halaman rumahnya.

“Mak,” ujar Ramlah dengan suara tangis tertahan
Buru-buru tubuh renta itu turun kembali dan hampir membuatnya tersungkur. Memeluk anak dan cucu yang belakangan ini terus ia cari keberadaanya.
“Ayo masuk,” ujarnya setelah puas menumpahkan rasa.

Di rumah itu, Ramlah memandikan anak-anaknya, kemudian ia sendiri juga mandi, selama menjadi gelandangan di jalan, tubuhnya hanya tersentuh air saat buang hajat. 
Ramlah bergidik saat air sumur menyentuh tubuhnya. Air itu terasa asing sekali di tubuhnya. Namun setelah tiga kali guyuran, ia mulai menikmati ritual mandinya hari itu. Mandi kali ini seperti buka puasa yang panjang dan melelahkan.  Saat tiba saatnya berbuka, nikmatnya tak terkatakan. 

Ingin sekali penderitaan panjangnya dibersihkan dan dialirkan ke selokan seperti air yang mengalir di tubuhnya saat ini. Saat mandi, ia menangis sepuasnya. Sumur rumah itu letaknya jauh di belakang rumah, dekat dengan rimbunan bambu, yang dipagari dengan terpal seadanya, dan di alasi kayu. Jadi ia dengan leluasa menumpahkan segala rasa tanpa membuat ibunya khawatir mendengar isak tangisnya. Setiap kali isaknya mulai terdengar, ia redam dengan guyuran air di kepalanya. Dua jam sudah, namun ia belum puas, sampai akhirnya ia lelah sendiri menimba air selama itu. Jari tangan dan kakinya juga sudah berkerut. 

Lakon hidupnya adalah lakon hidup sebagian besar orang di negeri ini. Tiba tiba ia ingat kalau bukan hanya dia yang menderita, bukan hanya ia yang dipaksa menjanda dengan tragis. Bahkan ibunya sudah mengalami hal yang sama saat ia masih berumur lima tahun. Dengan cara yang sama tragisnya. Cepat ia tuntaskan mandinya, menyabuni tubuhnya, memberi shampo di rambutnya dan menyikat gigi yang sudah kuning kecoklatan, tertimbun makanan berhari-hari tanpa pernah dibersihkan. 

Sebenarnya ia bukan perempuan jorok, dulu, ia mandi tiga kali sehari, pagi, siang dan sore. Menyambut suami dengan pakaian rapi, rambut tergelung dan senyum manis. Rumah mungil yang apik, dan anak-anak yang wangi dan sehat. Ramlah ingin suaminya senang saat pulang mencari nafkah. 

Sesaat setelah musibah itu ia seperti hilang pegangan, trauma dan kehilangan membuat hatinya kelu. Tubuhnya kaku, hanya mematung di pinggir jalan, tiba-tiba ia seperti menyadari kebodohannya, telah mengikuti perasaan dan hatinya tanpa mengunakan logika. Menelantarkan dua buah hatinya. Tiba-tiba iangin kembali ingin menangis menyadari kealpaannya. 

Cepat ia selesaikan mandinya, kemudian ia tutupi tubuhnya dengan handuk dan kain panjang, menuju rumahnya untuk memeluk dua buah hatinya dan meminta maaf.  Ainun bingung mendapati ibunya tiba-tiba memeluknya dan membisikkan kata maaf.
“Kenapa Mak,” ujarnya sambil melepaskan pelukan ibunya, tubuh ibunya dingin sekali. 
“Maafkan mamak ya Nak, sudah menelantarkan kamu dan adikmu,”
“Kenapa mamak minta maaf, tidak ada yang salah, saya mengerti kita harus bersembunyi dari orang-orang yang bertanya-tanya tentang bapak,”
Ramlah sudah tidak dapat berkata-kata, ternyata anak yang tumbuh dalam suasana perang, dewasa puluhan kali lebih cepat dari anak-anak yang terus menerus dimanjakan fasilitas lengkap. 

Sekali lagi ia memeluk anak sulungnya, yang telah menyaksikan banyak kesulitan. Kemiskinan, berdemo, terjebak dalam lautan peluru dan mesiu, menggelandang berhari-hari, kedinginan, kehausan, kelaparan, sampai lubang menganga di tubuh ayahnya, namun tidak pernah keluar keluhan sekalipun dari bibirnya. 

Kemudian diciumi bayinya di dalam ayunan, anak itu menggeliat sedikit, mungkin indera perasanya menangkap dingin di kulitnya. Kelihatannya ia tidur nyenyak sekali.  Mandi, rumah, makan dan ayunan sepertinya hal paling penting bagi tubuh mungil itu. 
Setahun setelah kejadian itu, ia memutuskan kembali ke rumahnya di Desa Terapung. Selain itu juga karena Ainun harus kembali bersekolah. Jarak dari rumah ibunya ke sekolah terdekat sekitar 30 km, tidak mungkin ia biarkan anak sekecil itu berjalan sejauh 60 km, pergi dan pulang, sementara ia masih terdaftar di SD Desa Terapung,  walaupun sangat-sangat sederhana namun jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah. 



                                                          *****
Mellyan Cutkeumala Nyakman
Pemenang II Sayembara Cerber Femina 2013



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?