Fiction
Hari Raya Hantu [1]

26 Mar 2015


AKU meletakkan dua kantong kresek berisi barang belanjaanku di atas meja makan, di depan Ibu. Lalu mengeluarkan satu pak nyuko (kertas sembahyang), satu pak lilin merah, dua botol arak putih, satu pak teh tubruk, sekantong jeruk, dan barang-barang belanjaan lainnya. Ibu yang duduk di salah satu kursinya menoleh sekilas. Melirik barang-barang yang kubeli. Aku berharap  mendengar komentarnya. Setidaknya ingin dia berkata sesuatu. Dia pasti tahu makna  dari barang-barang yang kubeli sore ini. Tapi dia bergeming, bahkan membuang wajah.

“Mom,” terdengar suara Liam di belakangku. Aku menoleh. “Mommy sudah pulang?” tanyanya dengan mata berbinar. Aku tersenyum dan mengembangkan tangan. Anak laki-lakiku yang berumur tujuh tahun itu segera menghambur, memelukku sebentar, lalu melongok isi meja makan.

“Apa kita akan membakar  uang  akhirat  lagi tahun ini, Mom?” tanya Liam sambil menunjuk satu pak nyuko di atas meja.
“Tentu saja, Sayang,” jawabku. “Besok  tanggal  tujuh bulan  tujuh  kalender Lunar. Kita harus ziarah kubur dan membakar nyuko untuk Kungkung. Agar dia sejahtera di akhirat dan kita pun sejahtera di dunia.”

“Kungkung pasti meminta Dewa Bumi agar melancarkan rezeki Daddy.” mata Liam yang cokelat berbinar terang. Cemerlang. Aku mengangguk.

“Amma,” Liam memanggil Ibu. “Tahun ini Amma harus ikut bersama aku, Mommy, dan Daddy membakar  hio, lilin merah, nyuko¸dan menghidangkan bunga serta daging ayam kesukaan Kungkung. Dia pasti kangen Amma. Kenapa Amma tak pernah mau menziarahinya saat hari raya Hantu?”

“Aku tak mau,” jawab Ibu, ketus. “Kalau aku ke sana, kungkung-mu akan mencekikku dan aku akan mati. Tentu saja dia ingin aku segera mati, agar dia punya seseorang untuk dibenci di alam akhirat sana. Dia….”
“Bu,” aku memotong ucapan Ibu. Perempuan berumur hampir enam puluh tahun dengan rambut memutih itu menatapku. Pandangannya berkilat, lalu dia berdiri dari kursi, dan meninggalkan aku bersama Liam yang tertegun memandang punggungnya yang hilang di balik tirai pintu dapur.

?
SEINGATKU, sejak Ayah meninggal beberapa tahun lalu, Ibu tak pernah menziarahi kuburnya saat hari raya Hantu. Aku tak tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua. Sejak aku bisa mengingat dengan jelas, Ibu tak pernah sekali pun menunjukkan rasa cinta dan sayang  kepada Ayah. Entahlah, aku sangat heran dengan sikapnya itu.

Dulu, kuduga Ibu menikah dengan Ayah lantaran dijodohkan. Itu hal lumrah di zaman mereka masih muda. Orang-orang tua berharap anak gadisnya menikah dengan laki-laki tampan, terpelajar, dan dari keluarga kaya. Ayah memiliki itu semua. Bahkan, Ayah pernah menjabat sebagai kepala produksi di tambang timah Pulau Bangka.

Namun  ternyata, pernikahan Ayah dan Ibu bukan perjodohan. Mereka teman sejak kecil. Teman bermain dan teman sekolah. Dari sanalah benih-benih cinta itu tumbuh. Lalu berkembang sempurna. Hingga mereka melangkah ke altar pernikahan.

Dan lihatlah aku. Aku terlahir dari buah cinta mereka itu. Jadi, aku sangat bingung ketika menyadari betapa Ibu membenci  Ayah. Saking bencinya, Ibu bahkan tak pernah mau menziarahi kuburnya. Tak adakah sisa dari rasa cinta mereka di hati Ibu? Aku tak tahu.
Saat aku kecil dan beranjak dewasa, mereka kerap bertengkar diam-diam. Ya, diam-diam.

Mereka tak pernah perang mulut di depanku, tapi aku tahu, karena aku sering mengintip atau menguping saat Ibu memaki-maki Ayah yang lebih banyak diam dan mendengarkan saja ocehan Ibu. Pertengkaran ganjil itu sering terjadi tengah malam. Mungkin mereka berpikir aku sudah tertidur, jadi tidak akan tahu. Memang begitu, tapi aku akan terbangun saat mendengar teriakan Ibu, lalu suara-suara piring atau gelas pecah. Pada akhirnya, Ibu sendiri  yang akan menangis dan Ayah akan memeluknya. Selalu begitu. Dan terus begitu sampai Ayah meninggal dunia karena dimakan usia.

Aku tak pernah tahu apa yang memicu pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Aku hanya tahu hidup mereka tak harmonis. Pernah terpikirkan olehku, kenapa mereka berdua tidak bercerai saja? Mungkin karena ada aku, walau aku sendiri tidak yakin akan hal itu.

Kenapa aku tak yakin? Karena aku tak tahu, apa perasaan Ibu padaku. Cintakah? Sayangkah? Atau benci? Seumur hidupku, Ibu tak pernah menunjukkan perasaan itu padaku. Aku seperti dianggap tak pernah ada olehnya. Dia tak memperlakukanku dengan buruk seperti ibu-ibu tiri dalam novel yang mulai kubaca saat aku duduk di bangku SMP.

Tidak. Tapi, Ibu juga tidak pernah bersikap manis seperti ibu-ibu temanku. Dia tak pernah menyisir rambutku saat aku SD, tidak pula mengepangnya, atau mendandaniku. Semua itu Ayah yang melakukannya. Aku memang lebih dekat dengan Ayah. Terasa ganjil, bukan? Harusnya anak perempuan dekat dengan ibunya. Tapi aku sebaliknya.

Seingatku, hanya satu kali, aku merasa Ibu peduli padaku. Itu saat aku haid pertama kali, di bangku kelas dua SMP. Saat pulang sekolah  aku merasa perutku demikian sakit. Lalu, aku menjerit histeris di kamar mandi begitu melihat noda darah di celana dalamku. Aku pasi dan nyaris pingsan. Lalu, Ibu datang tergopoh-gopoh. Dia tak banyak bicara padaku, memang seperti itu. Saat mengetahui apa masalahku, dia menempelkan pembalut di celana dalamku, lalu menyuruhku memakainya. Kemudian Ibu memberiku minuman pahit yang katanya akan meredakan sakitku. Selain kalimat itu, Ibu berkata,  tiap anak perempuan akan haid. Itu artinya dia sudah dewasa. Hanya itu. Cuma itu. Sisanya kucari sendiri pada teman-temanku.

?
SEPERTI  tahun yang sudah-sudah, aku menyiapkan sendiri jamuan untuk arwah Ayah di hari raya Hantu besok pagi. Semasa hidup, Ayah sangat suka makan daging ayam. Jadi aku membelikannya ayam jantan gemuk yang akan kurebus. Aku berharap Ibu keluar dari kamarnya dan bergabung denganku di sini. Tapi, sejak makan malam usai, dia sudah mengunci kamarnya dengan rapat.

“Mom,” Liam membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Dia sudah mengenakan baju tidurnya yang bergambar Spongebob.
“Kenapa?” aku meletakkan pisau yang sedang kupegang untuk membelah pantat ayam, agar isinya bisa kukeluarkan.
“Dad baru saja cerita,” katanya dengan mata berbinar, penuh luapan semangat, “katanya Mommy tahu cara melihat hantu. Ajari aku. Aku ingin melihat arwah Kungkung. Kumohon,” pintanya.
Aku tersenyum. “Daddy juga tahu caranya.”
“Tapi Dad enggak mau diganggu. Dia sudah masuk ke ruang kerjanya.” Wajahnya berubah sedih. Aku segera mencuci tangan dengan sabun di wastafel dan tergesa mengelapnya hingga kering.

“Baiklah, akan Mommy ajari,” kataku, sambil melangkah menuju tampah yang biasanya kugunakan untuk membersihkan sayuran. Liam melonjak girang.
“Kamu harus berjongkok sambil memanggul tampah di pinggir jalan depan rumah,” ucapku sambil duduk berjongkok dan meletakkan tampah di atas kepala. Liam menyimak dengan saksama. “Jangan lupa bakar kertas-kertas sembahyang, sediakan juga daun teh kering, serta tiga atau lima cangkir arak putih. Kamu tunggui sampai arwah-arwah lewat dan tentu saja arwah Kungkung yang berkunjung.”

“Apa aku akan benar-benar melihat arwah Kungkung?”
“Bila kau beruntung,” sahutku dengan senyum mengembang.
“Mommy pernah mencobanya?”
“Mommy penakut, Sayang. Mommy tak berani,” sahutku.
Liam terlihat kecewa, dia tertunduk. Aku segera meletakkan tampah di lantai dan berjongkok di depannya, hingga kami berdiri sama tinggi.
“Tapi Mommy ingin kau mencobanya,” ucapku dengan senyum merekah. “Dulu Kungkung yang mengajari Mommy. Nanti kau ceritakan apa yang kau lihat. Mau, ‘kan?”
Senyum Liam merekah dan dia mengangguk cepat. “Baiklah, Mom.”
Aku memeluknya. Dan ketika mataku terarah ke pintu pembatas antara dapur dan ruang makan dengan ruang tengah itu, aku melihat Ibu berdiri mematung dengan ekspresi yang tak bisa kuterka. Aku ingin memanggilnya, tapi Ibu tergesa berbalik dan menghilang saat tirai pintu kembali menutup.

?
AKU memutuskan menziarahi kuburan Ayah saat hari masih pagi. Sebab Kim, suamiku, harus berangkat kerja, dia baru pulang jelang magrib.
“Kita tak akan sempat ziarah jika menungguku pulang kerja. Jadi pagi saja,” ucapnya semalam dan aku mengangguk setuju. “Sepulang aku kerja, kita segera bergabung dengan orang-orang di tanah lapang untuk merayakan hari raya ini.” Lagi-lagi aku hanya mengangguk setuju.

Langit masih berkabut dan sedikit gelap  ketika aku, Kim, dan Liam berjongkok di depan kubur Ayah. Kami membakar lilin merah. Konon, Dewa Penjaga Kubur sangat menyukai lilin merah yang menyala. Aku menuangkan tiga gelas teh, tiga gelas arak putih, menaruh kue apam merah di atas piring, mempersembahkannya di depan patung Dewa Penjaga Kubur Ayah. Kim meletakkan sebungkus daun teh kering, sebungkus klotok, lalu dia menyalakan tiga batang hio dan memberi penghormatan dengan khusyuk sebelum menancapkannya di tanah. Liam mengikutinya dengan semangat, wajah mengantuknya sudah hilang. Setelah dia, giliranku.

Setelah menancapkan tiga batang hio di tanah, aku mengeluarkan  ayam jantan yang kurebus semalam, sepotong tahu rebus, dan sebutir telur rebus. Semua kutata dalam piring, kuletakkan juga tiga butir jeruk dalam piring kecil, serta beberapa kue kecil lainnya. Sementara Kim, dia menuang tiga gelas teh dan tiga gelas arak untuk arwah Ayah.
“Ayah, bangunlah untuk makan. Aku, suamiku, dan cucumu datang berziarah. Ibu sudah tua, jadi dia tak kuat lagi untuk berziarah,” bohongku. Aku tertunduk saat mengucapkan itu. Kurasakan tangan Kim mengusap pundakku, lembut.

Hampir dua puluh menit kami bertiga terjebak dalam hening. Membiarkan arwah Ayah menikmati hidangan hari rayanya. Setelah merasa arwah Ayah menyantap semua sajian, suamiku mulai membakar nyuko yang sudah ditetesi darah ayam. Kertas sembahyang bergambar bujur sangkar berwarna perak di tengahnya ini  dipercaya sebagai uang akhirat yang berlaku di dunia roh. Uang ini agar Ayah bisa tetap makmur dan sejahtera di sana.
“Ibu menitipkan uang akhirat ini untuk Ayah,” bohongku lagi. Lalu aku membakar kertas-kertas sembahyang itu, satu per satu. Liam mengikuti dengan antusias sambil mengatakan bahwa uang yang dia bakar untuk kungkung-nya  itu uang ayahnya karena dia belum bisa mencari uang sendiri.

?
LANGIT cerah malam ini, sepertinya para dewa di khayangan dan roh para leluhur tak ingin membiarkan hari raya ini penuh kemuraman. Seperti tahun yang sudah-sudah, semua orang di kota kecil kami ini berduyun-duyun menuju tanah lapang, menuju langit yang terbuka. Malam ini puncak perayaan hari raya Hantu. Orang-orang akan sibuk membakar nyuko untuk para leluhurnya, dengan harapan para roh leluhur akan mendoakan keberkahan dan kesejahteraan pada mereka, serta para dewa akan melancarkan rezeki keturunan yang berbakti.

“Aku melupakan nyuko,” desisku ketika sudah sampai di tanah lapang dan tak menemukan kertas sembahyang itu dalam tas. Padahal, aku sangat yakin sudah memasukkannya. Kim memandangku dengan tatapan terkejut.

“Aku akan pulang dan mengambilnya. Kau letakkan di mana?” tanyanya.
“Tak usah, aku saja,” jawabku cepat. “Kau dan Liam menunggu di sini.”
Tanpa menunggu jawaban Kim, aku segera bergegas pergi, menuju rumah yang berjarak ratusan meter dari tanah lapang ini.

Saat aku sampai di rumah, aku terkejut melihat pintu kamar Ibu yang terbuka. Kuintip. Ibu tak ada di sana. Setahuku, sejak Ayah meninggal, Ibu tak pernah mau mengikuti perayaan hari raya Hantu di tanah lapang bersama orang-orang.

Aku melangkah ke dapur, mungkin Ibu ada di sana. Tak ada. Hanya pintu belakang yang terbuka lebar. Aku melangkah pelan dan tertegun melihat Ibu yang sedang berbicara sendiri sambil membakar kertas sembahyang.
“Kau jahat sekali, Liong. Jahat sekali!” Ibu memanggil Ayah. “Kau mati terlebih dulu dan membiarkan aku menderita. Harusnya aku yang mati! Harusnya aku!” Dia menangis dan meratap sambil terus membakar uang akhirat.

“Harusnya kau tak mengampuni aku. Harusnya aku menggugurkan kandungan itu. Harusnya kau tak mencintainya seperti anakmu! Dia bukan anakmu, Liong! Kau mandul! Kau mandul! Itu anaknya A Chung! Laki-laki berengsek yang membuatku mengkhianati cintamu! Kau jahat, Liong! Kau jahat! Kau biarkan aku menderita dengan dosa ini. Aku bahkan malu pada anakku sendiri! Pada cucuku sendiri! Liong!”
Aku tersentak mendengar racauan Ibu itu. Kupegang bibir daun pintu belakang yang terbuka. Apakah… apakah yang Ibu maksud itu aku? Lututku terasa lemas.

*********
Guntur Alam



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?