Fiction
Hanya Teh Sesekali [1]

9 Jun 2013


“Kenapa parkir disini, dek? Ini kan masih jauh.”
“Enggak apa-apa, di sini saja. Tunggu, ya.”
“Tapi....”
Tapi, cukup sampai situ. Aku buru-buru berbelok memasuki kampus yang terlihat masih jauh di depanku dan membiarkan Mas Aris kebingungan di ujung sana. Tak perlu kutengok. Ia pasti masih di sana. Setia menunggu seperti yang kukatakan.

Aroma mawar menyengat di depan bangku taman. Di situlah Erika menantiku.
“Sendirian? Enggak diantar?”

Sapaan yang bagus. Kali ini aku lebih suka jika ia berbasa-basi dengan sapaan normal, 'hai' atau 'apa kabar?'

“Mana bukunya?” tanyaku. Setidaknya ia mencium pipi kanan-kiriku, sehingga bisa kuabaikan pertanyaan barusan.

“Ini Nyonya Aris, enggak sabaran banget, sih. Repot, ya, pengantin baru, bawaannya mau kabur aja.”

“Tidak ada hubungannya, Nyonya Farhan. Perutmu, kok, belum buncit, sih?”
Pertanyaan itu bukan untuk mengelak dari apa pun. Kawanku ini sudah dua tahun menanti buah hati. Sekarang hari-hari bahagia mulai ia genggam. Rasa penasaran itu muncul ketika tadi ia berdiri dan aku menyadari bahwa perutnya masih tampak rata.
“Entah, ya. Sudah empat bulan masih terlihat kecil, ya. Apa memang harus begitu? Karena ini yang pertama jadi masih banyak bingung dan khawatir. Bagaimana kalau kau tanyakan pada suamimu?”
“Suamiku? Apa kandunganmu tumbuh gigi?” Aku tersenyum geli. Benar-benar membayangkan perutnya yang ditumbuhi gigi, membayangkan suamiku kebingungan mengapa perut bisa ditumbuhi gigi. Ya Tuhan, suamiku.
“Aku harus pergi Er, terima kasih bukunya, ya.” Aku menyambut tangannya bersiap berdiri.
“Apaan, sih, buru-buru amat. Sebentar dulu, yuk.”
“Suamiku udah nunggu di....”
“Di mana? Aku enggak lihat. Kamu ke sini sendirian, ‘kan?”
“I.. ya. Aku sendirian. Dia nunggu di rumah.”
“Tuh, kan benar, pengantin baru enggak sabaran. Farhan sebentar lagi menjemputku. Mungkin masih di tikungan depan. Tolong, ya, please. Demi ibu hamil.” Manis sekali bujukannya. Mau tak mau aku kembali duduk.
“Kamu sendiri sudah ada tanda-tanda?”
Aku hendak menuai lelucon tantang 'apa itu tanda-tanda', tapi percuma saja hasilnya pasti tidak lucu.
“Aku baru enam bulan menikah, Er.”
“Memangnya kenapa? Ada yang baru sebulan sudah hamil. Anak-anak zaman sekarang baru nikah seminggu, esoknya melahirkan.”
Aku sedikit menyunggingkan senyum. Aneh, mengapa ia yang justru berusaha melucu. Tapi, aku tak perlu repot-repot membahasnya. Sebuah motor hitam mendekat ke arah kami. Itu Farhan. Suami Erika yang tampan. Benar-benar pasangan serasi. Seandainya aku pun demikian.


    Seminggu sudah buku Erika kupinjam. Masih kubalik berulang-ulang lembarannya. Hanya itu. Bayangan Erika dan Farhan rupanya sedikit-sedikit merayap di benakku. Dua makhluk muda bercengkerama dalam satu. Irikah aku?. Enam bulan lalu orang tua mengenalkanku kepadanya. Mas Aris. Lelaki serius. Matang dan siap menikah. Dua bulan pengenalan sekaligus persiapan menikah. Sesederhana itu, karena itulah yang kuinginkan.

“Makan dulu, Dek, nanti sakit,” Mas Aris baru saja pulang dan mendapatiku tertegun di balik notebook dan sekumpulan buku.
“Hmm,” cara mengiyakan paling aneh yang sering kulakukan padanya.
“Memang apa judul skripsimu?”
Suamiku mendekat, buru-buru kuaktifkan kembali notebook-ku. Pria ini mengharapkan aku mau berbagi dengannya. Minimal berbagi kisah.
“Masih dalam proses pengajuan.” Tentu saja itu bohong.
“Kalau kau butuh apa-apa, katakan saja,” katanya, menatapku. Ia terdiam cukup lama, kemudian beranjak pergi. Aku menarik napas lega. Menatapnya menjauh. Selalu saja ia begitu. Menanyakan semua kebutuhanku, lalu berusaha memenuhinya. Ia suami yang baik. Memang. Sementara aku bukan istri yang baik. Mungkin bukan.

    Tepat dua minggu kemudian aku mengembalikan buku Erika. Kami berdua tidak memiliki jadwal kuliah lagi, namun selalu bertemu di kampus. Selalu aku yang memilih tempatnya.

“Kurasa tidak baik kalau aku terus-terusan bertemu denganmu di kampus. Emosiku sering tidak stabil, badanku cepat lelah. Intinya aku khawatir janinku ada apa-apa kalau terlalu banyak aktivitas. Bagaimana kalau kamu saja yang sering ke rumah?” Erika memetik salah satu mawar di depan bangku panjang kami.
“Tapi kamu enggak pergi ke mana-mana sendirian, ‘kan? Masih ada Farhan yang setia antar jemput.”
“Farhan sering ke lokasi, Shanti. Minggu ini juga.”
“Oh.” Tiba-tiba aku merasa bersalah. Dia sedang hamil, aku membutuhkannya dan aku merepotkannya.
“Aku sering kerepotan kalau Farhan keluar untuk tugas. Kami benar-benar hanya tinggal berdua. Aku sering cemas kalau dia pergi, lebih buruk lagi aku ini pencemburu.”
“Cemburu?” aku tidak tahu itu pertanyaan untuk Erika atau jangan-jangan untuk diriku sendiri.
“Ya, sebenarnya… terlalu berlebihan, sih.”
Maksudku... maksudku, dia...dia... lumayan. Oke... oke suamiku itu memang tampan dan keren.”
Aku terheran mendapati Erika yang kikuk mengakui ketampanan suaminya. Lucu sekali karena sebelum menikah, dia selalu melontarkan kalimat manja seperti, “Ya ampun Shan, calonku ternyata cakep,” , “Duh, Shanti, ganteng banget si Farhan itu.” . Dan kalimat-kalimat norak lainnya yang membuatku berpikir, beruntung juga si Erika ini.
“Dan kau khawatir kalau ada perempuan lain yang mencoba menyenggolnya atau bisa jadi sebaliknya karena suamimu itu masih muda.”
“Tepat.”
“Oya?”
“Ya, begitulah.” Erika mengernyitkan dahinya. Tanda ia mengakui kebenaran itu sekaligus membencinya. Aku tersenyum geli.
“Kau lucu, Bu. Oke, Nyonya Farhan, apakah Anda bersedia saya antar?” tanyaku mengulurkan tangan pada ibu hamil di depanku.
“Harus! Tunggu, mobilmu di mana?”
“Aaah... itu. Emm, aku diantar.”
“Lho, katamu tadi?”
“Tunggu sebentar. Aku telepon dulu.”
“Kenapa aku merasa ada yang aneh, sih.”
“Tidak ada yang aneh. Kita tunggu saja di sini, sebentar lagi ia tiba.”
“Aku baru menyadari kalau kalian belum pernah terlihat berdua,” Erika mengetuk-ngetuk jemarinya pada dagu mengamatiku. Rasanya aku mendapati tanda tanya besar keluar dari kepalanya. Besar sekali.
“Nah, itu mobil kami. Yuk.”
“Astaga, cepat sekali. Suamimu lewat sekitar sini? Kok, pas banget?”

Aku membukakan pintu untuk Erika. Dengan santai ia menyelipkan kepala dan berusaha duduk nyaman. Hampir saja aku ikut duduk bersamanya. Lalu tersadar tindakan itu akan membuahkan pertanyaan baru baginya. Kucukupkan senyumku untuknya lalu meraih bukaan pintu depan. Duduk di samping pak sopir yang sedang bekerja. Dengan manis.

    Rumah Erika mungil dan sederhana. Ini pertama kali bagiku menginjakkan kaki di rumahnya setelah aku menikah. Atau lebih tepatnya bagiku dan suami. Dalam dua tahun pernikahan mereka terhitung sudah tiga kali Erika dan suaminya berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Tipikal pengontrak. Dan inilah tempat berteduh terakhir mereka, rumah yang berhasil mereka bangun sendiri. Di sinilah akhirnya Erika hamil setelah penantiannya yang cukup lama.

“Yah, beginilah rumah kami. Kecil, sederhana, sepertinya berantakan juga.”
Jelas kalimat sambutan ini untuk suamiku yang baru kemari.
“Tidak apa, Mbak, yang penting kan isinya.” Ini gaya suamiku yang santun, memanggil perempuan dengan 'Mbak'.
“Wuaah... isinya juga kosong melompong. Paling-paling mesin cuci, televisi, computer, sama kulkas.”
Entah mengapa, Erika kerap terdengar polos akhir-akhir ini.
“Maksud saya penghuninya. Adanya suami dan istri yang bisa saling melengkapi. Yang satu bisa jadi partner buat yang lain. Ada cinta orang tua untuk anak-anak, juga sebaliknya. Kan itu yang terpenting di dalam rumah.”
“Oh, ya... ya... benar. Saya buatkan minum dulu.”
Erika bergegas ke dapur. Dari ujung dapurnya yang terlihat dari ruang tamu, Erika memberiku sinyal untuk mendatanginya. Aku segera ke dapur menyusulnya.
“Suamimu enggak tugas?”
“Tidak sore begini. Hanya pagi sampai siang, lalu lanjut malam.”
“Biasanya berapa gula?”
“Apa?”
“Teh, kopi, soda, susu, suka yang mana dia? Gulanya berapa sendok?”
“Aku....”
Aku tidak tahu.... Aku bahkan tidak tahu minuman apa yang ia suka.
“Kopi, cukup satu sendok gula.” Sepertinya pilihan yang tepat.
“Oh, dokter gigi yang biasa ngopi rupanya. Enggak ada efeknya, nih, buat gigi.”
Duh, benar juga. Apa benar? Aku tak tahu. Aku buta soal kegemarannya atau pantangannya.
“Yah, kalau begitu air putih saja,” kataku menyeringai.
“Apaan, sih? Kan sudah dibuatin. Masa  istri enggak tahu minuman suami.”
Erika mengeluarkan beberapa makanan ringan dari lemarinya.

    Kami bercakap-cakap ringan sesaat, lalu beranjak keluar. Kudapati Mas Aris sedang berada di teras menerima telepon. Mungkin dari rumah praktik. Ia lalu masuk dan duduk kembali, tersenyum pada kami dan mengucapkan terima kasih atas suguhannya.

“Benar Pak Dokter suka minum kopi? Sebenarnya kopi ada efeknya untuk gigi enggak, Pak Dokter?”
“Shanti bilang saya suka kopi?”
Aku heran, dari dua kalimat Erika justru kalimat pertama yang memancingnya. Aku menghirup minumanku sendiri, tidak menatapnya. Hanya membiarkan reaksi yang muncul darinya. Sementara ia menatapku. Lekat.
“Panggil Mas atau Pak Aris saja juga tidak apa. Ya, saya suka kopi, tapi tidak sering. Sebaiknya memang tidak terlalu sering,” katanya, sambil perlahan meminum minumannya.
“Wah, kalau suami saya di sini, dia pasti senang bisa kenalan dengan Pak Dokter.”
“Bukan mau konsultasi, ‘kan? Kalau konsultasi bayar, lho.” Aku menyertakan tawa dalam ucapanku. Sayang, tidak ada yang tertawa.
“Biar mereka saling kenal, Shan. Kamu kan jarang cerita suamimu. Eh, kayaknya malah enggak pernah. Dia pernah cerita tentang saya enggak, Mas?”
“Ehm... Mbak...?”
“Erika, kawan sekolah dan sekarang kuliah. Dia yang meminjami buku untuk bahan skripsi baru-baru ini. Suaminya bernama Farhan,” aku tidak tahu mengapa buru-buru menjelaskan siapa makhluk di hadapannya.
“Oh, skripsi yang belum ada judul itu?” tanya suamiku.
“Belum ada judul?” dan dibalas tatapan aneh Erika. Bagus, sekarang giliranku mengalihkan pembicaraan. Aku mengajukan diri untuk pulang.

    Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Sebenarnya ini bukan hal baru, justru akan jadi unik jika sepanjang perjalanan kami banyak bicara.
“Apa kau malu denganku?”
“Apa?”
Sungguh aku pikir kami akan diam saja hingga tiba di tujuan.
“Sebenarnya aku tidak suka kopi. Aku suka sekali teh dengan aroma melati dengan setengah sendok gula. Itu pun sesekali saja,” katanya, sambil tetap memandang ke depan.
“Yah, aku mengerti.”
Rasanya itu sudah merupakan kalimat terbaik yang bisa keluar dari mulutku. Aku mengalihkan pandangan dari jalan dan menatap pria di sampingku. Pria yang berbeda enam belas tahun denganku. Berwajah pucat dan kelelahan. Seumur hidupnya digunakan untuk bekerja dan menafkahi adik-adiknya hingga mereka mandiri. Lalu saatnya ia menikah. Denganku, di sini.
    Aku mengambil tangan kirinya yang bebas. Tersenyum padanya. Jika hanya teh sesekali, aku tahu aku pasti bisa.

***
 Damaulli


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?