Fiction
Gaudeamus Igitur [3]

24 Nov 2013


<<<<<Kisah Sebelumnya

Kisah sebelumnya:

Menjadi kepala program akuntansi, Kintan –seorang dosen muda- menghadapi banyak tantangan. Salah satunya, dia harus bisa mendapatkan Profesor Adibrata yang sudah pensiun untuk kembali mengajar agar prodi kampusnya lolos akreditasi. Sayang, Prof Adibrata bukan sosok yang mudah ditaklukkan. Ketika Prof Adibrata resmi menjadi dosen, Kintan harus sering menjadi kroban kekasarannya.

Akhir semester genap adalah waktu-waktu tersibuk bagi pengelola program studi, karena program penerimaan mahasiswa baru turut serta dalam kegiatan sehari-hari. Tak jarang Kintan bersama rekan-rekannya sesama pengurus program studi di fakultas turun langsung ke lapangan untuk berpromosi. Karena perguruan tingginya merupakan perguruan tinggi swasta maka mau tidak mau harus giat mencari mahasiswa.
Mahasiswa dari senat dan himpunan mahasiswa jurusan pun turut menyumbang tenaga membantu. Promosi semakin gencar dilakukan ketika siswa SMA telah menyelesaikan ujian nasional. Perguruan tinggi tempat Kintan bekerja sebenarnya telah mempunyai nama besar sejak lama, hanya saja semakin banyaknya pesaing menyebabkan mereka harus kerja lebih keras.
     Pagi ini Kintan sudah siap untuk mendampingi beberapa orang mahasiswa yang akan mengikuti acara edu fair yang diadakan salah satu sekolah di sekitar perguruan tingginya. Ia memakai jas almamater sama seperti mahasiswanya. Semua presentasi sudah siap, dan jadwal telah dikonfirmasi ulang. Kintan dan Pak Singgih, kepala tata usaha, sedang memeriksa brosur, liflet serta spanduk yang akan dibawanya ketika Adibrata menghampirinya di aula. Seperti biasa alis matanya mengerut seakan-akan melihat Kintan sedang melakukan koprol yang konyol. Adibrata menyapa Pak Singgih dan menjawab salam Kintan sambil lalu.
     “Ibu ketua program studi ikut edu fair juga, memang tidak ada karyawan yang bisa ditugaskan, kenapa harus pimpinan yang langsung turun?” tanyanya dengan pandangan menghina. Kintan mengatur kata-katanya dulu sebelum menjawab.
     “Ini semata-mata agar jika ada pertanyaan yang signifikan bisa langsung saya yang menjawabnya Prof, karyawan tentu ada yang kami tugaskan, tapi tidak ada salahnya kami turut mendampingi. Kami bergantian kok, sejak kemarin dari program studi manajemen dan ilmu ekonomi juga sudah turun ke lapangan.” Kintan bersyukur kata-katanya terdengar tenang dan berwibawa.
Adibrata tidak menjawab lagi, ia menerima salam mahasiswa dengan dingin. Namun Kintan entah bagaimana melihat sedikit kelembutan di sorot matanya pagi ini. Ini adalah pertama kalinya Kintan sorot mata Adibrata seperti itu di kampus, sejak terakhir melihatnya di lapangan Tennis bertanding dengan Ario.
     “Bu, itu profesor yang jadi juri waktu olimpiade. Sekarang ngajar kita ya, Bu?” bisik Arum, salah satu anggota tim olimpiade akuntansi beberapa waktu lalu. Ragil dan Joshua mendekat ingin mendengar jawaban Kintan.
     “Rencananya begitu, kalian doakan saja ya,” jawab Kintan. Arum bertukar pandang dengan teman-temannya satu tim. Mereka tahu bahwa Profesor Adibrata adalah salah satu juri yang kritis dan sulit.
Kintan sendiri tidak bisa menjanjikan kenyamanan kepada mahasiswanya jika nanti diampu oleh Adibrata karena ia pun belum mengenal betul sifat profesor pembimbingnya itu. Namun ia tetap yakin bahwa keputusannya merekrut Adibrata adalah yang terbaik untuk program studi akuntansi.


                *****
     Sabtu sore, Kintan yang lelah mengeluh pelan menyadari ia harus pulang ke kos tanpa motor. Beberapa hari ini ban motornya kempes, ia sedang sibuk sehingga tidak sempat menambalkan ban motornya. Ia sedang berjalan ke arah halte terdekat ketika mobil di sampingnya berjalan pelan-pelan dan menyalakan lampu dim dengan genit. Kintan menoleh dan mendapati wajah Ario tengah tersenyum dari jendela mobil yang terbuka.
     “Ibu ketua prodi, kok, jalan kaki? Motornya ke mana?” tanya Ario.
     “Ya, motorku kempes ban. Sore, Bapak!” Kintan menyapa Adibrata yang duduk di samping Ario. Sang Profesor hanya mengangguk dan tersenyum sekenanya.
     “Mari kuantar Bu, rumahnya searah, ‘kan,” Ario menawarkan dengan sok tahu.
     “Oh jangan, terima kasih, rumah saya jauh dan harus ambil jalan memutar.”
     “Kalau begitu sekalian melihat-lihat pemandangan deh, malam minggu ini. Akung tidak ada kencan, ‘kan?” Ario menoleh ke akung-nya. Kintan bisa melihat Adibrata mendelik ke cucunya yang masih saja tersenyum-senyum.
     “Tidak usah terima kasih. Saya naik angkot saja.”
     “Oh ayolah, Bu Kintan, tidak apa-apa. Kami juga tidak ada kegiatan lain, kok,” Ario memaksa. Akhirnya Kintan masuk ke mobil Ario, duduk di belakang. Sebenarnya Kintan rikuh sekali semobil dengan Adibrata. Namun Ario yang ramah selalu mencairkan kekakuan mereka. Ario banyak mengoceh ini itu seperti berusaha mendamaikan kedua pihak yang sebenarnya juga tidak resmi bertikai.
     “Kudengar Bu Kintan menugaskan Akung di Pengantar Akuntansi, ya!. Wah bagus sekali Bu, itu akan membantu ingatan Akung menjadi lebih kuat. Sudah lama sekali Akung tidak mengajar Pengantar kan, ya?” ujar Ario. Kintan menunduk tak tega mendengar kata-kata apa yang akan dilontarkan Adibrata.
     “Kamu ini memang makhluk kecil yang sok tahu!” jawab Adibrata ketus seraya memalingkan wajah. Ario menoleh sekilas ke arah Kintan seraya mengerdipkan mata.
     “Pengantar Akuntansi yang bikin Laporan Harga Pokok Produksi kan, ya, Kung?” Ario sialan, masih saja mengusik topik yang rentan itu. Adibrata menggulung koran lalu menepis kepala Ario pelan. Mulutnya tersenyum menahan tawa seperti melihat anak balita yang tertukar antara mainan kapal laut dan kapal terbang.
     “Lihat saja Bu Kintan, begini ini jadinya anak kalau terlalu dimanjakan kakek neneknya. Belajar akuntansi sampai master juga masih tertukar antara materi Pengantar Akuntansi dan Akuntansi Biaya,” jawab Adibrata. Ario menggaruk kepalanya yang tadi terpukul koran sambil masih tertawa. Adibrata pun tertawa.
     “Dasar kau bikin malu saja,” gerutu Adibrata kemudian. Kintan menatap hubungan antara kakek dan cucu yang begitu dekat itu. Adibrata sang profesor ketus dan tidak bersahabat, ternyata hanya Ario cucunya yang bisa membuatnya tertawa.
     “Ario ini sejak kecil sudah ditolak ayah ibunya saking bandelnya, dan dititipkan ke saya dan istri. Lihat saja Bu Kintan, mana ada yang tahan dengan celoteh ngawurnya. Untung saja saya dan istri memiliki bakat jantung yang kuat. Kalau tidak, pasti sudah mati sejak dulu waktu dia kecil. Susahnya minta ampun disuruh diam, dikasih uang pun uangnya diterima tapi mulutnya tetap berbicara. Seperti burung!” Adibrata tiba-tiba bercerita sekilas. Terdakwa yang diceritakan senyum-senyum.
     “Tapi bukankah burung membuat dunia bernyanyi?” sahut Ario sambil kembali menoleh ke arah Kintan. Tak sadar setir mobilnya terlalu ke kiri dan menabrak trotoar pelan. Kintan menjerit tertahan ketika Ario menginjak rem tiba-tiba. Koran gulung kembali melayang ke kepala Ario.
     “Kamu ini, hati-hati!. Sedang membawa orang tua dan ketua program studi!!” sentak Adibrata. Ario mengangguk nurut.
“Jika Kaprodi terluka, mau kerja di mana akung-mu nanti,” gumam Adibrata melanjutkan. Kintan menahan tawanya.

                    ******
Kintan berbincang online dengan Ario malamnya. Ario kecil memang diminta oleh akung dan uti-nya untuk menemani mereka berdua. Orang tua Ario tinggal di Yogyakarta dan mereka tetap rutin berkomunikasi. Menurut Ario, akung-nya memang berwatak keras dan sering tidak mau kalah, jadi kalau Kintan kerepotan itu hal yang wajar. Namun Ario menawarkan diri untuk membantu Kintan jika ada permasalahan pelik dengan akung-nya.
“Jangan kaget ya, Akung suka seenaknya sendiri dalam tindakannya. Sebagai pimpinan kamu harus bisa mengaturnya,” ujar Ario.
     “Dan sejak Uti tiada, Akung paling ketakutan ditinggalkan sendirian.”
     “Maksudmu, sendirian di ruangannya?” tanya Kintan.
“Ha…ha…ha… nanti kau akan mengerti,” Ario hanya menjawab seperti itu.
Kesibukan dalam rangkaian kegiatan penerimaan mahasiswa baru menyita waktu dan pikiran Kintan. Setelah ia menyelesaikan jadwal kuliah sesuai dengan kalender akademik dan penugasan dosen, pikirannya penuh tercurah membantu kegiatan penerimaan mahasiswa baru.
Rangkaian kegiatan dimulai dari perkenalan kampus, lalu ada tes bahasa Inggris, dan beberapa seminar dan kuliah umum. Seminggu penuh ia dan anggota struktural fakultas beserta karyawan bahu membahu untuk melayani keperluan mahasiswa baru. Adibrata pun terlibat dalam mengisi kegiatan kuliah umum bagi mahasiswa baru.
“Bapak, jangan lupa lusa kuliah umum dimulai jam sepuluh pagi ya, dan temanya tentang perekonomian global. Karena mahasiswa fakultas ekonomi terdiri dari tiga program studi yang berbeda, maka…”
     “Ya, saya tahu!. Tidak perlu diulang-ulang!!” salak Adibrata. Kintan menutup mulutnya seketika. Adibrata yang tengah duduk di ruang tamu dosen sambil merokok menatapnya galak.
     “Baik Pak, maaf….” Kintan melihat isyarat dari Dekan yang tengah duduk bersama Adibrata untuk tidak mengganggu profesor itu lagi. Adibrata tiba-tiba berdiri dan mengajak Dekan untuk masuk ke dalam ruangan kerjanya.
     “Dan Bapak, maaf, itu… bahan kuliah umumnya harap di-e-mail ke akun e-mail saya, untuk digandakan.” Suara Kintan melemah karena Adibrata sama sekali tidak mendengarkannya, langsung masuk ke ruangan dan menutup pintu.

                        *****
Namun kekhawatiran Kintan terhadap Adibrata ternyata tidak beralasan. Sang Profesor melakukan tugasnya dengan baik, kuliah umum yang diberikan Adibrata sangat menarik dengan mengangkat tema perekonomian yang umum dan mudah dipahami mahasiswa baru.
Bahkan mahasiswa senior pun turut berpartisipasi mengajukan pertanyaan dan pendapat. Dan Kintan sebenarnya tidak perlu mencemaskan apa pun karena sampai bahan kuliah umum pun beliau siapkan dengan teliti.   Kintan merasa sangat malu ketika di malam hari ia menemukan e-mail bahan kuliah umum, baik dalam bentuk makalah maupun presentasi di inbox-nya.
“Baik adik-adik yunior, mahasiswa baru di fakultas ekonomi, saya ucapkan selamat bergabung di civitas academica. Terutama untuk program studi akuntansi, saya harap kita bisa bersama-sama membangun dan mengembangkan ilmu akuntansi. Saya yakin Anda semua bisa, apalagi Anda memiliki ketua program studi yang hebat, masih muda, mau turut aktif sampai berpromosi ke sekolah kalian dulu, bukan?.Dan sangat kompeten di bidangnya.” Adibrata melakukan ending yang mengejutkan dalam kuliah umumnya.
Mahasiswa baru yang memang telah diperkenalkan pada masing-masing ketua program studinya pada hari sebelumnya bertepuk tangan. Mau tidak mau Kintan berdiri, menebarkan senyum dengan wajah yang memerah.

                ****
Hari pertama perkuliahan semester ganjil seperti biasanya Kintan berkeliling melakukan kontrol, dan ia menemukan dirinya berdiri terpaku melihat Adibrata telah berada di kelas Pengantar Akuntansi I, mengajar seperti apa yang telah ditugaskan Kintan kepadanya.
“Terima kasih telah membujuk profesor untuk mau mengajar Pengantar Akuntansi I,  ya,” Kintan mengirim pesan kepada Ario.
“Bukan aku yang membujuknya. Keinginan Akung untuk belajar dan mengajar terlalu besar untuk menolak mata kuliah apa pun,” jawab Ario. Kintan tersenyum, diam-diam ia ingin sekali kembali duduk di sana mendengarkan dan memahami apa yang sedang diajarkan oleh dosen pembimbingnya itu.
Betapa sosoknya sangat mengagumkan ketika beliau berdiri di depan kelas, dengan salah satu tangan diselipkan ke dalam jas, dan tangan yang lain menuliskan persamaan akuntansi di white board. Seperti aktor yang menggila meninggalkan sifat aslinya ketika di depan kamera, begitu pula Adibrata.
Sosok aslinya yang pemarah, angkuh dan seenaknya sendiri lenyap, menjelma menjadi sosok cerdas yang dengan rendah hati membagi ilmu dan kemampuannya dalam bidang akuntansi, mau mendengarkan semua jenis pendapat, dan menjawab segala jenis bentuk pertanyaan.
         Keluhan mendatangi Kintan setelah jam pertama usai: layar infocus yang kuning, microphone yang kemeresek, bahkan spidol yang seret tidak enak dibuat menulis di white board. Keluhan yang mirip omelan yang datangnya dari Profesor Adibrata itu diterima Kintan dengan lapang hati.Lalu Adibrata mencemooh koleksi buku-buku handbook yang ada di lemari buku di ruangan Kintan.
“Itu buku zaman saya masih kuliah!” cibirnya menunjuk satu buku yang memang sudah menguning karena usianya.
“Buku itu tidak dipakai Prof, hanya dipajang saja untuk motivasi mahasiswa,” Kintan menjelaskan buku tua itu.
“BODOH!!” bentak Adibrata keras. Kintan mundur beberapa langkah demi mendengar bentakannya. Adibrata dengan tidak sabar meminta kunci lemari buku, mengambil buku itu dari lemari dan melemparnya ke sudut ruangan.  Kintan terpaku melihat aksi gila profesor itu.
         “Ilmu itu terus berkembang, untuk apa menyimpan buku dengan ilmu yang sudah ketinggalan zaman! Apalagi salah satu penilaian akreditasi program studi adalah ketersediaan buku-buku pendukung perkuliahan yang terbaru!. Anda itu ketua program, Anda harus bertanggung jawab akan penilaian yang baik tentang program studi yang Anda pimpin!” deretan omelan Adibrata mengalir mengisi pagi Kintan di awal semester ganjil. Lagi-lagi ia menjadi bahan tontonan.
     Kintan mengomel  tak keruan di kamarnya. Olive yang sedang datang berkunjung mendengarkan dengan santai sambil menonton DVD drama Korea dari Note Book. Isi omelan Kintan kurang lebih sama, yaitu membicarakan tentang dosen baru di jajaran program studinya. Profesor yang berusia jauh lebih tua darinya dan tidak pernah sepaham dengannya.
     “Harusnya dia itu tahu diri, meskipun dia usianya jauh lebih tua dariku, aku itu pimpinannya  di kampus!. Setiap kali ketemu selalu saja ada yang salah dalam diriku, dan menjadikan aku bahan tontonan sirkus!” Kintan mengusap mulutnya yang kecapekan ngomel. Rambutnya yang ikal panjang berantakan, kusut.  Olive paling sebal melihat Kintan kalau bad mood, selalu tak peduli pada apa pun. Bahkan kamar kosnya seperti tempat pembuangan sampah akhir. Sehingga Olive yang membereskannya.
     “Sisir dulu tuh rambutmu, kayak singa!” komentar Olive ketika Kintan dengan cemberut memeluk guling, sudah lumayan tenang. Kintan menatap cermin, wajahnya memang sedang dalam kondisi terburuk di dunia. Ia sendiri tidak yakin apakah dirinya telah merepresentasikan sosok seorang dosen yang disegani.
     “Kamu tahu gak Liv, bahkan Adibrata sering komentar tentang rambutku yang katanya panjangnya terlalu berlebihan untuk penampilan dosen. Apa dengan menjadi dosen terus tidak boleh memelihara rambut panjang,” Kintan mengusap ujung rambutnya. Olive memperhatikan sejenak.
     “Itu karena kamu keseringan menggerai rambutmu. Memang rasanya kurang pantas, deh. Harusnya disanggul kali, ya, kelihatan lebih anggun,” jawab Olive dengan objektif. Kintan memelototinya.
     “Huh, kayak ibu-ibu!” jawabnya sengit. Olive hanya mengangkat bahu. Kintan memang keras kepala. Pantas saja ia tidak pernah cocok dengan profesor baru itu, pasti keduanya sama-sama orang yang berkepribadian keras. Kintan, meskipun masih muda,  punya prinsip dan ego yang tinggi.
     “Enggak tahan aku rasanya Liv menghadapi Profesor Adibrata. Apa sebaiknya  aku mengundurkan diri saja, ya?”
     “Jangan ikutan gila deh, Tan!  Aku yakin kamu pasti bisa menjinakkan Sang Profesor. Apalagi dengan dukungan cucunya yang gagah itu, siapa namanya? Ario?” Olive mengerdipkan matanya menggoda. Kintan menghela napas.
      “Ario itu sudah punya kekasih tahu, yang waktu kita ketemu di bioskop itu,” sergah Kintan.
Olive menatap sahabatnya. Sinar mata Kintan sedikit meredup ketika membicarakan Ario dan wanita yang menggandeng mesra lengannya di bioskop itu.
     Tiba-tiba dering bel kamar Kintan menjerit nyaring. Kintan lompat dari kasurnya dan membuka pintu, ia memang sedang menunggu pizza delivery. Namun, yang berdiri di depan kamar kosnya justru lelaki gagah yang tadi dibicarakan Olive. Ario tersenyum sambil membawa pizza di tangannya. Kintan spontan menutup pintu lagi dan menyisiri rambutnya. Olive membuka pintu.
     “Kiriman pizza atas nama Kintan” suara Ario terdengar. Olive menerima pizza itu. Kintan yang telah selesai menyisir rambut seadanya menyusul Ario di ruang tamu.
     “Aku bertemu mas-mas pizza delivery tadi di luar kosanmu,” ujar Ario menjelaskan.
     “Berapa harganya?” tanya Kintan seraya mengeluarkan dompet dari kantong celana pendeknya. Ario tertawa melihat uang logam Kintan berjatuhan.
     “Tidak usah, bayarannya temani aku jalan-jalan sebentar, yuk” ajak Ario. Kintan sejenak terpaku mendengar ajakannya. Sudah lama sekali tidak ada pria yang mengajaknya keluar.
     “Tapi Olive....”
     “Im fine, just go.. go!! Aku pengin menghabiskan pizza enak ini sendirian!!!” suara Olive terdengar dari kamar Kintan. Sialan Olive, maki Kintan dalam hati.
Ario benar hanya mengajaknya berjalan-jalan berkeliling kompleks tempat kos-kosan Kintan. Dari pembicaraannya Kintan mengetahui bahwa hati pria itu sedang risau. Ia diminta ayah ibunya untuk pulang ke Yogyakarta untuk turut serta mengurusi hotel keluarga yang dimiliki kedua orang tuanya, dan ia tidak tega meninggalkan akung-nya sendirian.
“Akung tidak mungkin ikut pindah ke Yogya, dia sudah bekerja lagi sekarang dan Akung tidak akan akur dengan Ayah,” ujar Ario dengan wajah sendu.
         “Tapi bukankah kamu juga bekerja di sini?” tanya Kintan. Ario mengangguk.
“Hotel itu memang milik orang tuaku, adik-adikku semua perempuan. Tidak ada yang bisa mengelola. Sebenarnya ada Ursula, sepupuku. Ursula saat ini salah satu manajer di hotel. Ayahku kurang suka jika hotel sepenuhnya dikelola Ula. Bagaimanapun, akulah putra Ayah.” Wajah Ario yang biasanya penuh senyum tiba-tiba menjadi redup.
Ingin rasanya Kintan menepuk punggungnya lembut dan mengatakan semua masalah akan selesai juga nanti pada waktunya. Namun Kintan tak sanggup melakukan itu. Ia hanya mendengarkan saja, dengan harapan dengan mendengarkan ia bisa membantu Ario menenangkan perasaannya yang risau.

                    *****
Pagi itu Dekan mengundang semua jajaran strukturalnya untuk rapat khusus akreditasi program studi akuntansi. Kintan telah menyiapkan semua bahan rapat dan bantuan apa yang dibutuhkannya untuk penilaian akreditasi. Visi, Misi, Strategi dan Tujuan Program Studi, jumlah mahasiswa dan rasio dosen yang linier dengan program studi, kegiatan penelitian, pengabdian masyarakat, fasilitas penunjang perkuliahan, penganggaran dalam program studi, ikatan alumni dan juga teknologi informasi yang digunakan di program studi.
Dokumentasi sedikit banyak telah diusahakan oleh Kintan dibantu oleh sekretaris prodi dan stafnya. Kondisi dosen yang belum memadai juga telah diusahakan dengan merekrut dosen-dosen baru yang berpendidikan minimal master dan linier dengan program studi.
Terlebih lagi ia telah merekrut Profesor Adibrata, ia merasa itu cukup untuk menutupi kekurangan dosen. Penelitian dan pengabdian masyarakat rutin dilakukan para dosen akuntansi serta melibatkan mahasiswa yang dikelola oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Hanya satu hal yang masih membuat risau Kintan, yaitu kemampuan program studi dalam menyediakan sistem berteknologi dalam melaksanakan pengelolaan dan perkuliahan. Dosen dan staf dalam program studinya termasuk golongan angkatan sepuh. Mereka tidak terlalu familiar dengan perkembangan teknologi. Penggunaan note book untuk pekerjaan saja masih sulit, apalagi kalau mau mengembangkan sistem belajar berbasis internet.
Sementara dunia kerja juga mendesak para lulusan untuk menguasai teknologi yang memadai. Kintan tetap harus menyiapkan lulusannya, untuk itu.laboratorium akuntansi dan perpajakan tentu saja tidak bisa secara manual lagi.


Kisah Selanjutnya >>>>>

********
Hayuningtyas Pramesti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?