Fiction
Gaudeamus Igitur [2]

24 Nov 2013


<<<<<Kisah Sebelumnya

Kisah sebelumnya:
Menjadi kepala program akuntansi, Kintan –seorang dosen muda- menghadapi banyak tantangan. Salah satunya, dia harus bisa mendapatkan Profesor Adibrata yang sudah pensiun untuk kembali mengajar agar prodi kampusnya lolos akreditasi. Sayang, Prof Adibrata bukan sosok yang mudah ditaklukkan.


“Sial!  Kau kira Akung lemah?!”
     “Ha… ha… ha… Akung sendiri, lho, yang bilang. Aku tidak bicara begitu.Oh, hai...!” Mata cucu Adibrata melihat kedatangan Kintan, dan melambaikan tangan. Prof. Adibrata menoleh, seketika raut wajahnya berubah. Profesor kawakan itu melotot ke arah cucunya dan mengambil langkah membalik dengan angkuh. Kintan mengejarnya.
     “Profesor... Profesor Adi, tolonglah, berilah saya kesempatan untuk bicara sebentar,” ujar Kintan, di sela-sela langkahnya. Ia berhasil menjajari  langkah Prof. Adibrata.
     “Jika Anda datang untuk membujuk saya mengajar di program studi Anda, maka sia-sia saja,” Prof. Adibrata menjawab dengan geram.
     “Bapak, saya bukan mau membujuk Bapak. Saya mau meminta tolong. Program studi kami sangat membutuhkan seorang dosen senior dan berpengalaman seperti Bapak. Mahasiswa kami membutuhkan Bapak.”
     “Apa yang dibutuhkan mahasiswa tingkat S-1? Yang ada di kepala mereka hanya gadget terbaru, gadis cantik dan pergaulan sosial yang tidak memerlukan otak!”
     “Penilaian itu rasanya kurang bijaksana, Pak. Karena mahasiswa kami adalah putra-putri bangsa yang berniat menimba ilmu dengan sungguh-sungguh. Beberapa di antara mereka adalah pemenang kompetisi akuntansi, dan juga karya ilmiah. Bapak bisa melihatnya di website kami, atau pemberitaan apa saja tentang kami. Lagi pula, saya mengetahui bahwa Bapak juga memerlukan mereka untuk terus mengembangkan ilmu,” Kintan terus berkata-kata, meskipun Prof. Adibrata telah masuk ke dalam mobilnya. Cucu Prof. Adibrata berlari di belakang Kintan yang kini berdiri di sisi mobil.
      “Maafkan akung saya, Mbak. Sifatnya memang seperti itu, namun sebenarnya dia mendengarkan, saya yakin” ujarnya, menghibur.
         Kintan mengangguk dan mencoba tersenyum. Ia lalu mengeluarkan selembar kartu nama.
      “Tolong berikan ini kepada Profesor  Adibrata. Siapa tahu beliau ingin mencari informasi tentang perguruan tinggi kami,” ujar Kintan.
     “Kintan Amilakania. Ketua Program Studi Akuntansi,” pria itu membaca. Lalu dengan senyuman ramah ia mengulurkan tangan.
     “Henggar Ario Laksmana, orang-orang panggil saya Ario,” ia menyebutkan nama begitu Kintan menyambut tangannya. Baru saja Kintan hendak membuka mulut, Prof. Adibrata telah mengklakson mobil dari dalam.  Ario mengangkat bahu dan tertawa.
     “Saya akan sampaikan ini ke Akung. Yakinlah, tidak sampai seminggu lagi, Akung pasti telah bergabung bersama program studimu, Kintan!” ujar Ario, sebelum masuk mobil. Dalam hati Kintan mengamini kata-katanya.

                        *****
     Kintan menandatangani surat tugas untuk tiga orang mahasiswa yang akan diberangkatkannya mengikuti olimpiade akuntansi tingkat perguruan tinggi. Ketiga peserta itu berdiri di hadapannya dengan wajah-wajah gugup. Kintan dengan beberapa orang dosen telah memberikan pembekalan yang cukup kepada mereka selama beberapa bulan terakhir, khususnya untuk ilmu akar dari akuntansi dan perkembangannya. Namun, tetap saja menghadapi olimpiade esok hari, mereka gugup luar biasa.
     “Bu, gimana kalau kandidat yang lain jauh lebih hebat? Kita jadi yang paling pertama keluar di babak penyisihan,” ujar Ragil, salah satu yang paling pintar hitung-hitungan dan logikanya. Tak biasanya Ragil begitu tak percaya diri.
     “Kandidat yang lain punya perasaan sama seperti kalian saat ini. Gugup dan siap berkompetisi. Jangan khawatir, kompetisi bukan masalah menang atau kalah, namun lebih pada pengalaman baru yang menyenangkan. Yakinlah, kalian pasti mendapatkan hal-hal yang lebih dari sekadar ilmu di kompetisi. Saya yakin pada kalian, bangga pada kalian, no matter what,” jawab Kintan. Ketiga mahasiswa itu tersipu.
     “Tapi besok Ibu hadir tidak ke sana?” tanya Joshua, salah satu mahasiswa yang dipilih Kintan karena hafalannya yang kuat. Kintan tersenyum dan menggeleng.
     “Kalian itu mahasiswa, bukan siswa. Apa masih perlu ditemani seperti itu?” kelakar Kintan. Ketiganya tertawa.
     “Kita pasti menang, Bu!” akhirnya Arum, satu-satunya wanita dalam tim itu, berkata penuh semangat. Kemampuan Arum seimbang antara hitungan dan hafalan, namun Arum sangat update berita-berita terbaru perkembangan ilmu. Kintan memang sengaja untuk mengikutsertakan mahasiswanya dalam berbagai jenis kegiatan yang berhubungan dengan akademis, khususnya di bidang ilmu akuntansi. Baik olimpiade, lomba penulisan karya ilmiah, diskusi, pidato, ataupun workshop.
Ia yakin kemampuan mahasiswa tidak hanya sebatas kuliah di dalam kelas saja. Anak-anak usia emas harus terus diasah agar kilaunya benar-benar berkualitas. Meski ada rasa tidak percaya diri dalam menghadapi persaingan dan persahabatan dengan perguruan tinggi lain, khususnya perguruan tinggi negeri,   tak jarang juga mahasiswanya berhasil membawa pulang kemenangan. Memang selalu ada harapan dalam  tiap kesempatan, karena itulah Kintan tak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun.

                    ****
Tergila-gila nonton bioskop adalah sifat Kintan yang paling merepotkan. Ia bukan penggemar genre film tertentu, ia hanya penikmat film namun ia akan rewel  jika dalam sebulan tidak menonton bioskop. Tak segan-segan, ia memiliki keanggotaan eksklusif berbagai teater hanya untuk menikmati film di tempat yang paling nyaman dan pas menurutnya sendiri, dan Kintan juga sering menyulitkan dalam hal ini, apalagi kalau filmnya box office yang antreannya panjang.
Meski ia memiliki kartu keanggotaan terkadang ia kalah bersaing juga dengan penggemar film lain yang lebih maniak!.Dan acara menonton film pun sering batal hanya karena tidak dapat tempat. Seperti sore ini, Kintan janjian dengan Olive sahabatnya untuk menonton Breaking Dawn.Olive. Sahabatnya sejak SMP itu telah menikah dua tahun yang lalu, namun masih sering meluangkan waktu menemani Kintan menonton.
Sore ini Olive menjadi penonton tunggal Kintan yang bête gara-gara tidak mendapatkan seat yang ia inginkan. Seperti biasa, Kintan membatalkan secara sepihak acara menonton sore itu.
     “Jadi kita check out, nih?” tanya Olive, sambil  tetap mengemil popcorn yang telah dibelinya. Kintan mengangguk sambil melotot sebal pada mesin pemesan tiket yang menurutnya tidak berguna hari ini untuknya.
“Tapi kan sebenarnya masih ada seat, enggak terlalu dekat screen-nya, kok,” ujar Olive dengan sangat logis.
“Aku enggak mau pulang nonton harus urut leher gara-gara nonton-nya nengok ke kanan terus,” gerutu Kintan. Ia berbalik arah dengan cepat dan tak sadar menabrak seorang pria di belakangnya yang membawa coffee latte. Insiden itu menumpahkan minumannya dan pakaian Kintan dan pria itu dalam sekejap berwarna cokelat.
     “Aduh maaf, maaf Mas, maaf!!” Kintan buru-buru mengambil tisu di tas kerjanya yang sempit dan amburadul isinya.
“Tidak apa-apa Bu Kintan, ini hanya kena rompi, kok.” Suara itu mengingatkan Kintan pada cucu profesor rewel yang kemarin mengusir Kintan di area parkir lapangan tenis. Kintan mendongak dan mendapati Ario tersenyum ramah. Wajahnya mirip dengan Prof. Adibrata, minus cemberut.
“Mau nonton?” tanya Ario.
“Tadinya sih, Breaking Dawn,” Olive yang menjawab pertanyaan itu.
“Sudah dapat tempat?”
“Tidak jadi nonton,” jawab Kintan pendek. Sudut matanya melihat seorang wanita di sisi Ario. Salah satu tangannya memegang kardus popcorn dan yang lain menggandeng lengan Ario.
     “Lho, kenapa? Sepertinya tidak terlalu ramai,” ujar Ario.
“Kami juga mau nonton itu, kok,” wanita di sisinya menimpali dengan ramah.          “Ini Bu Kintan, rekan  Akung di kampus. Bu Kintan, ini Ursula, adik sepupu kesayangan semua orang di keluarga,” kata Ario, mengenalkan mereka berdua. Ursula menepuk pelan pundak Ario.
         “Oh jadi dosen, ya?, Maaf ya, saya kira… habis muda banget, sih,” ujar Ursula tercengang. Kintan hanya tersenyum.
         “Ya, saya dosen, tapi bukan….”
“Ula, bahkan Bu Kintan ini ketua program studi tempat Akung ngajar, lho,” sambung Ario. Kintan menatap Ario tak mengerti. Namun, panggilan untuk penonton Breaking Dawn masuk ke dalam teater telah bergema.  Ursula langsung mewakili mereka berdua untuk berpamitan. Kintan dan Olive pun keluar dari bioskop.
         “Siapa sih, Tan? Kayaknya aku belum pernah lihat,” tanya Olive. Kintan menghela napas. Teringat  Prof. Adibrata membuat mood-nya  makin turun.
         “Nanti aku cerita, makan nasi briyani,  yuk!. Aku kepingin makan gulai kambing,” jawab Kintan cepat. Ia tidak ingin membicarakan Prof.  Adibrata saat ini.

                    *****

Kintan baru saja masuk ke dalam kamar kos ketika membaca pesan singkat dalam ponselnya. Dari Ario.
“Performance tim mahasiswamu menarik hati Akung kemarin. Bersiaplah menerima Akung dalam jajaran program studimu.”
Kintan sampai harus menyempatkan diri untuk duduk demi mencerna pesan itu. Ia belum menerima kabar apa pun dari mahasiswa yang berangkat kemarin untuk olimpiade. Apakah mereka menang?.
“Arum, bagaimana kabar kalian kemarin di olimpiade?” tanya Kintan, segera menelepon salah satu dari anggota tim. Ia yakin timnya tidak menang karena tidak mendengar kabar apa pun.
“Kami masuk perempat final, Bu, kemarin,  tapi terus kalah. Maaf, ya, Bu, kami tidak menang,” jawab Arum.
Kintan merasakan lega yang dalam di relung hatinya. Masuk babak perempat final itu kemajuan pesat bagi mahasiswanya.
“Pesertanya hebat-hebat, Bu, jurinya juga kritis-kritis banget,” sambung Arum.
         “Uhm… Arum, apakah Prof. Adibrata menjadi salah satu juri kemarin?” tanya Kintan ragu. Arum sepertinya berpikir sejenak.
“Oh, yang bapak-bapak udah tua itu, ya, Bu?” tanya Arum.
“Ya, betul,  kalian lihat beliau?”
“Ya Bu, ada. Beliau salah satu juri,” jawab Arum. Kintan seperti ingin melompat kesenangan. Berarti kata-kata Ario benar!.
“Bu, sekali lagi maaf, ya, kami tidak menang,” Arum membuyarkan pikiran Kintan.
“Tidak apa-apa, kalian telah melakukan yang terbaik. Saya bangga sekali pada kalian,  bisa masuk perempat final itu berarti sudah mengalahkan banyak tim juga. Besok kita ketemu dan bicarakan, ya.” ujar Kintan. Setelah menutup pembicaraan dengan mahasiswanya itu Kintan mengetik pesan singkat balasan kepada Ario.
“Apa yang harus kusiapkan untuk akung-mu?”
“Teh melati hangat,” jawab Ario. Malam itu juga Kintan menghubungi Pak Indra untuk memberitahukan bahwa Prof Adibrata kemungkinan besar akan bergabung di jajarannya, dan juga kepala rumah tangga kampus agar segera menyiapkan ruangan untuk ruang kerja Prof. Adibrata.

                    *****
Kintan tersenyum sumringah mendapati Prof. Adibrata duduk di dalam ruangannya bersama Pak Indra dan Pak Raka keesokan paginya. Suara Pak Indra dan Pak Raka terdengar mengajak mengobrol dengan akrab, namun Sang Profesor hanya menanggapi dengan kata-kata bersuku tunggal.
     “Ketua Prodi Akuntansi bangunnya siang, ya,” komentar Prof. Adibrata tanpa menjawab salam Kintan sebelumnya. Kintan bisa merasakan wajahnya bersemu merah.  Pak Indra dan Pak Raka saling melempar pandang.
    “Ehm, Prof, bagaimana kalau saya tunjukkan ruangan Prof di gedung selatan,” Pak Indra tiba-tiba menyela. Prof. Adibrata memandang Pak Indra dengan kesal, seolah-olah mengganggu kesenangannya sedang menyudutkan Kintan. Pak Raka menepuk pelan pundak Kintan sebelum menyusul Pak Indra dan Sang Profesor.
Ketika Kintan sampai di ruangan yang sudah disiapkan untuk Prof. Adibrata, profesor kawakan itu tengah duduk di sofa, isi cangkir teh melati di hadapannya tinggal setengah. Diam-diam Kintan bersyukur dalam hati. Berkenalan dengan Ario benar-benar menguntungkan. Pak Indra dan Pak Raka masih menemani Kintan ketika pembicaraan awal mengenai aktivitas akademis di program studi.
Seperti yang telah diperkirakan oleh Kintan, tentu saja dalam hal materi perkuliahan dan pengelolaan program studi Prof. Adibrata telah makan asam garam lebih banyak darinya dan dalam beberapa hal yang cukup signifikan, pola pikir mereka berbeda. Kintan mengetahui ini akan sulit, namun ia akan bersabar. Demi kemajuan program studi yang kini menjadi tanggung jawabnya.
         “Baik Prof, mungkin lebih jauh bisa berdiskusi dengan Bu Kintan tentang program studi. Saya sangat berterima kasih Prof telah meluangkan waktu untuk membantu kami di sini, selamat bergabung,” Pak Indra akhirnya menyalami Prof. Adibrata, yang disambut Prof.  Adibrata   dengan cukup santun, dan melirik sekilas ke arah Kintan.
“Terima kasih, saya berharap juga bisa cepat beradaptasi. Saya yakin akan kemampuan mahasiswa di program studi ini. Hanya, bagaimana kemampuan program studi mengasah kemampuan mereka itulah yang saya belum yakin benar,” ujarnya, skeptis.  Pak Raka berusaha mencairkan suasana dengan tertawa riang.
“Justru itu Prof, kami akan banyak belajar dari Profesor Adi,” jawab Pak Raka. Prof. Adibrata mengangguk. Ketika kedua pejabat struktural itu akhirnya berlalu dari ruangan Prof. Adibrata, tinggal Kintan sendirian. Kintan berdiri dengan gelisah. Prof.  Adibrata menyesap kembali tehnya.
         “Semester ganjil ini sudah melakukan pengabdian ke mana saja  program studi?” tanya Prof. Adibrata tiba-tiba. Jantung Kintan berdebar.
         “Uhm, pengabdian masyarakat yang kami lakukan masih bergabung bersama-sama di fakultas, Prof. Beberapa waktu yang lalu kami mengadakan bakti sosial dan donor darah, lalu juga….
         “Program studi akuntansi melakukan apa?” potong Prof. Adibrata dengan tak sabar.
         “Uhm… itu  kami….”
         “Ada atau tidak?? Anda itu ketua program studi, jawab yang tegas!. Ketua, kok, ragu-ragu begitu, bagaimana jajarannya nanti!”.
Hmm…  Kintan menarik napas, ketus.
“Belum ada, Prof,” jawab Kintan setegas mungkin, tapi yang keluar dari tenggorokannya seperti suara ingin menangis. Mungkin Prof. Adibrata mendengar itu juga karena matanya menatap Kintan.
“Inilah yang saya tidak suka berhadapan dengan pimpinan bocah. Sudah, silakan keluar, saya sudah cukup mengenal Anda,” Prof. Adibrata mengibaskan tangannya dengan angkuh.
Pikiran Kintan dipenuhi awan gelap yang berisi listrik-listrik, tak mampu berpikir. apalagi berkata-kata. Maka Kintan pun menutup pintu ruangan Prof. Adibrata dengan lunglai, seperti kucing kalah. Setitik air telah menyembul di ujung mata, namun Kintan mengusapnya dengan kasar.
“Bu Kintan, sabar, ya. Saya tadi juga sudah kena omel, beliau tidak suka ada bunga di meja kerjanya,”  Nining, salah satu cleaning service kampus, membisiki Kintan. Kintan mengangguk.
         “Ya sudah, untuk saya saja, ya, bunganya,” jawab Kintan seraya mengambil vas berisi bunga segar dari tangan Nining.
         
                        *****
Memerlukan waktu yang lama bagi Kintan untuk memutuskan di mata kuliah apakah ia harus menugaskan Prof. Adibrata. Dengan sederet pengalaman, penghargaan dan gelar akademis, Kintan khawatir apa yang diputuskannya tidak sesuai di hati Sang Profesor.
Pernah suatu ketika ia memberanikan diri bertanya kepada Prof. Adibrata akan kesediaannya mengajar mata kuliah apa. Namun, lagi-lagi Prof. Adibrata mengusirnya sambil mengomel bahwa itu hak ketua program studi,  dosen pasti akan menuruti apa yang telah ditugaskan, mau tidak mau dan suka tidak suka. Baris demi baris kata-kata yang melemahkan Kintan dengan sewenang-wenang diucapkan oleh Prof. Adibrata  tiap saat mereka bertemu muka.
  Kintan akhirnya menempatkan profesor kawakan itu di mata kuliah Pengantar Akuntansi I, mata kuliah yang menjadi akar utama dalam jajaran mata kuliah-mata kuliah di program studinya. Mata kuliah yang sepertinya paling mudah namun membangun fondasi kokoh dalam pemahaman akuntansi bagi mahasiswa.
“SEMESTER SATU!!!” Prof. Adibrata mendatangi Kintan ke ruangan sambil membawa surat tugas mengajarnya. Wajahnya merah menahan keheranan akan keputusan Kintan menempatkan dirinya. Kintan yang sedang mengetik rancangan Satuan Acara Pengajaran terbaru dengan sigap berdiri. Dugaannya bahwa Prof. Adibrata akan menolak, benar seratus persen.
“Bu Kintan yang terhormat, apakah Anda tidak bisa membayangkan seorang kakek-kakek seperti saya mengajar mahasiswa yang baru lulus SMA?  Akan jadi apa kelas itu?!!.Saya tidak sanggup!!”
“Profesor, duduklah dulu. Bukankah kelas itu akan menjadi kelas yang paling berkualitas nantinya. Pengantar Akuntansi I adalah mata kuliah yang paling utama dan menurut saya haruslah dosen senior yang mengajar mata kuliah tersebut.”
         “Jangan mengajarkan saya tentang mata kuliah-mata kuliah utama!.Anda masih dalam gendongan ketika saya menempatkan dosen untuk mengajar mata kuliah ini!” salak Profesor.
Kintan diam untuk menenangkan dirinya sendiri. Selama ini ia paling tidak tahan dengan senioritas. Namun, sejak awal ia sudah berniat untuk bersabar menghadapi Prof. Adibrata. Dosen pembimbingnya itu masih mengomelinya tentang ketidakbijakannya mengambil keputusan, tentang terlalu beratnya tanggung jawab pekerjaan untuk usianya yang masih muda, dan bahkan tentang pakaiannya yang dinilainya terlalu menarik untuk dipakai mengajar di depan kelas.
Karyawan, dosen, dan beberapa orang mahasiswa berkerumun menontonnya. Setelah lelah mengomel, Prof. Adibrata kembali ke ruangannya.  Orang-orang pun bubar. Kintan duduk di kursinya, kedua telapak tangannya menutupi matanya yang berair. Tak ada yang pernah mengomelinya sekasar itu, bahkan ayahnya pun tidak.

Kisah Selanjutnya >>>>>

********
Hayuningtyas Pramesti



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?