Fiction
Gaudeamus Igitur [1]

24 Nov 2013


    Kintan menuliskan dua digit angka di papan tulis, membantu mahasiswa menyelesaikan sebuah persoalan rumit mengenai logika dalam Penyajian dan Pengukuran Utang Jangka Panjang. Seketika senyum mahasiswa mengembang, angka itulah yang seharusnya mereka dapatkan sejak sepuluh menit lalu.
     “Terima kasih Ibu, kalau dijelaskan Ibu kayaknya mudah, tetapi kalau mengerjakan sendiri kenapa jadi lemot, ya?” Kenny, ketua dalam kelas itu berkomentar.
     “Siapa dulu, dong, Bu Kintan gitu, loh...,” ujar Kintan, sok memuji diri sendiri. Mahasiswanya tertawa. Kintan memang dosen muda yang pintar. Selain pintar,  ia juga sangat disukai mahasiswa karena energik, baik hati, berjiwa muda. Tak jarang ia terlihat mengobrol, bercanda, bahkan ikut berolahraga tenis bersama mahasiswa.
Kintan lulusan dari perguruan tinggi negeri   terkemuka di Indonesia. Sewaktu masih menjadi mahasiwa ia aktif dalam banyak kegiatan yang berhubungan dengan akademik. Ia bahkan pernah menjuarai Penulisan Jurnal Ilmiah di bidang ilmunya, akuntansi, saat ia masih duduk di tingkat tiga!
Saat lulus, ia langsung mendapatkan beasiswa melanjutkan program pascasarjana di bidang ilmu yang sama. Ia pun berhasil lulus dengan IPK cum laude. Sebenarnya tidak sulit bagi Kintan untuk mendapatkan pekerjaan di luar perguruan tinggi, namun Kintan sejak pertama kali mengikuti prosesi wisuda menjadi ketagihan. Ia berpikir keras, bagaimana caranya ia ikut wisuda terus-menerus, dan pilihannya hanya satu: menjadi dosen!
     Karena pengalaman akademis di usianya yang relatif muda dan penuh semangat, ia pun diangkat oleh dekan untuk menjabat sebagai ketua program studi akuntansi sejak setahun yang lalu. Sebagai ketua prodi, hari-hari Kintan menjadi seratus kali lebih sibuk daripada hanya sekadar mengajar.
Untuk pengembangan sebuah program studi agar tetap diminati oleh calon mahasiswa tentu saja bukan perkara mudah. Dari penyusunan satuan ajaran pengajaran sampai rekrutmen dosen merupakan tanggung jawabnya. Dan saat ini ia sedang pusing, stafnya memberi tahu bahwa ia harus menghadap dekan.
Sudah tiga bulan terakhir ini program studinya kehilangan satu–satunya profesor, Pak Arman Sudesna, karena tutup usia. Kini program studinya tidak memiliki profesor. Padahal, persyaratan akreditasi perguruan tinggi menuntut sebuah program studi untuk memiliki setidaknya tiga orang doktor dan satu orang profesor di bidang ilmu yang linier dengan program studi. Masa berlaku akreditasi program studinya akan berakhir dua tahun lagi.
Saat ini Kintan tengah bekerja keras mempersiapkan akreditasi program studinya, namun tersandung masalah kekurangan dosen. Untuk merekrut seorang profesor yang ilmunya linier sejak sarjana sampai doktor  itu membuat pening kepalanya. Wakil dekan bagian akademis telah berkali-kali memanggilnya untuk menanyakan progress Kintan, kali ini bahkan dekan sendiri yang menanyakan langsung.
     “Bagaimana dengan merekrut di program pasca sarjana kita, Bu Kintan?” tanya Pak Indra Baskoro, dekan fakultas ekonomi. Kintan berada di ruangannya yang luas dengan ratusan plakat, piala, penghargaan, sertifikat dan foto-foto dekan dari yang terdahulu. Ruangan itu tidak pernah dirasakan nyaman oleh Kintan.
     “Program doktorat kita memang telah meluluskan empat orang, Pak, namun tidak satu pun dari keempat orang tersebut telah memiliki kepangkatan profesor. Sedangkan untuk mencapai kepangkatan profesor mereka harus menjalani tahapan-tahapan sebelumnya. Saya tidak yakin dalam masa dua tahun tahapan-tahapan tersebut terpenuhi, Pak. Saya telah berupaya berkomunikasi dalam forum ketua program studi akuntansi, siapa tahu bisa membantu saya mencari profesor yang linier dengan program studi ini. Namun, sampai saat ini belum ada hasil yang maksimal,” Kintan melaporkan.
Pak Indra mengusap wajahnya, tampak kelelahan.  Kintan yakin bahwa Pak Indra juga berupaya mencarikan profesor untuk program studi akuntansi, namun karena latar belakangnya yang dari ilmu ekonomi dan memang keterbatasan alumni akuntansi sampai setingkat doktorat, membuat dekannya itu juga kesulitan. Jalinan alumni yang besar tidak banyak membantu karena program akuntansi termasuk anak bungsu di fakultas ini.
     “Sebenarnya saya ada satu kandidat, Pak. Prof. Adibrata,” Kintan menyebutkan nama itu perlahan seraya mengawasi wajah dekan. Pak Dekan menghela napas, tidak ada yang tidak mengenal Prof. Adibrata. Dosen senior, penulis buku-buku akuntansi, seorang praktisi di public accountant, mendapatkan gelar doktor cum laude-nya dari perguruan tinggi di Inggris, dan telah berpengalaman   di berbagai seminar nasional dan internasional di bidang ilmu akuntansi.
Hanya saja, Prof. Adibrata konon pernah terlibat masalah di perguruan tinggi home base-nya, yang menyebabkan beliau harus mengundurkan diri. Setelah ia tidak memiliki home base, ratusan fakultas ekonomi telah berusaha ‘melamarnya’.
Ada kombinasi yang menarik dari seorang Prof. Adibrata. Beliau cerdas, tak diragukan lagi, namun kecerdasan intelektualnya tidak dibarengi dengan kecerdasan emosional. Profesor Adibrata dikenal sebagai pribadi yang sulit, idealis, kaku, dan cuek. Meski demikian, Kintan sangat memujanya. Sewaktu Kintan mahasiswa, Prof. Adibrata adalah pembimbing skripsinya. Mungkin saat itu ia babak belur mengerjakan skripsinya, namun Kintan tetap meyakini bahwa Prof. Adibrata benar-benar dosen berkualitas!
         “Saya tidak masalah Bu Kintan mau turut mencoba untuk merekrut Prof. Adibrata, namun Bu Kintan tahu sendiri sifat beliau seperti apa,” ujar Pak Indra.
         “Saya akan berusaha, Pak. Beliau pembimbing skripsi saya dahulu. Saya bahkan tahu tempat tinggalnya. Asalkan Bapak menyetujui pengangkatan beliau menjadi tetap di fakultas kita, saya ke sana sore ini juga,” jawab Kintan.
         Kintan memarkir motornya di depan sebuah rumah bernuansa Jawa di daerah Jakarta Selatan yang baru saja diguyur hujan. Setelah merapikan diri sekadarnya, ia menekan bel. Asap rokok tercium melewati pagar, yakinlah ia bahwa Sang Profesor tengah duduk di teras.
Profesor Adibrata adalah perokok, Kintan tahu itu. Seorang wanita muda membuka pintu pagar, lalu mengatakan bahwa Profesor sedang tidak di rumah. Namun, Kintan memaksakan diri masuk dan tersenyum menang melihat orang yang dicarinya tengah duduk membaca majalah Bisnis. Mata Prof. Adibrata yang cuek meliriknya.
         “Uhm, permisi Bapak, selamat sore…”
         “Kalau Anda mahasiswa tingkat akhir yang skripsinya belum selesai-selesai, silakan mencari dosen pengganti saja untuk pembimbing Anda. Saya tidak lagi membimbing skripsi, saya sudah pensiun,”  Prof. Adibrata memotong dengan dingin. Jantung Kintan masih terasa jatuh seperti pertama kali ia menemui profesornya ini ketika skripsi dulu. Namun, ia berusaha tenang.
         “Maaf, Pak, saya bukan mau bimbingan dengan Bapak. Boleh saya duduk?” tanya Kintan sambil dengan cuek menarik kursi rotan di teras.
         “Saya belum mengizinkan Anda duduk!” protes Prof. Adibrata. Tetapi, Kintan yang telah mengenal sifat dosennya ini dengan santai duduk rapi.
         “Bapak, saya dulu mahasiswa bimbingan Bapak. Saya sangat mengagumi Bapak. Bapak adalah profesor di ilmu akuntansi dan dosen senior dengan banyak pengalaman, Bapak juga…”
        “Silakan ke inti permasalahan!” Prof. Adibrata mengibaskan tangan tak sabar. Kintan menghela napas seraya mengatur kosakatanya.
         “Saat ini saya adalah ketua program studi akuntansi di sebuah perguruan tinggi, Pak. Terus terang, kami membutuhkan profesor di program studi kami. Saya datang kemari ingin menawarkan Bapak untuk bergabung di program yang saya kelola. Karena saya tahu…”
     “Telah saya katakan bahwa saya tidak mengajar lagi, saya sudah pensiun!” bentak Prof. Adibrata. Sementara Kintan terkejut, profesor berusia paruh baya itu berjalan angkuh ke dalam rumah. Kintan masih duduk dalam keterkejutannya. Ia jadi hilang fokus, apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
     “Hai..” sebuah suara berat mengejutkannya. Kintan menoleh dan mendapati ia bersitatap dengan seorang pria, kira-kira seusia dirinya, berdiri di tempat yang seharusnya garasi.
     “Itu motor  Mbak, ya? Maaf, menghalangi mobil saya mau masuk,” tanya pria itu.
         “Oh iya, Mas, maaf, saya akan pindahkan” ujar Kintan, lalu  buru-buru menuruni teras. Pria itu mengikutinya.
         “Mbak mau ketemu sama akung saya?” tanyanya, ketika Kintan telah duduk di motornya untuk bersiap pulang. Kintan mengangguk.
         “Diusir?” tanyanya lagi. Kintan menatap pria itu, ada kemiripan di wajahnya dengan Prof. Adibrata, juga sifat cuek-nya.
         “Tepatnya beliau sendiri yang masuk ke dalam rumah, saya tidak diusir,” jawab Kintan mengoreksi. Pria itu tersenyum, rahangnya yang kokoh terlihat melembut.
         “Kalau mau, coba lagi besok Sabtu pagi. Akung dan saya main tenis di Senayan,” pria itu tiba-tiba memberi informasi sebelum membuka pintu mobilnya. Kintan menatapnya dan tak sadar termenung di motornya.
         “Hei, Mbak, mau sampai kapan di situ!” tegur pria itu sambil membuka kembali kaca mobilnya dan menegur Kintan sambil tersenyum lebar. Kintan bisa merasakan semu merah di pipinya.
     “Baik Mas, terima kasih, ya!” ujar Kintan.
     “See you on Saturday morning!” balas si sopir santai sambil melambai. Kintan pun menyetir motornya dengan perasaan lebih percaya diri.
     Kintan tengah mengoreksi proposal-proposal skripsi yang menumpuk di mejanya, ketika beberapa mahasiswa seangkatan menghadapnya. Salah satu dari mereka adalah ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi.
      “Bu, ini program kerja HMJA periode semester ganjil depan. Silakan dipertimbangkan, terutama kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat. Kakak-kakak senior perlu sertifikatnya buat pengajuan proposal skripsi,” ujar Hilman, ketua HMJA, sambil menyerahkan sebuah program kerja. Kintan membacanya sekilas. Seminar, kunjungan, workshop, pelatihan, dan beberapa kegiatan sosial.
         “Baik, saya panggil kamu lagi kalau saya sudah membacanya dengan lebih serius. Sekarang biarkan saya menyelesaikan tugas yang ini dulu, ya,” jawab Kintan. Hilman mengangguk dan mengajak teman-temannya ke luar ruangan.
            Seorang mahasiswi tiba-tiba menyeletuk,  “Ibu, katanya dua tahun lagi mau akreditasi? Kalau begitu nanti di ijazah angkatan kita akreditasinya yang terbaru atau yang lama, Bu?” tanyanya.
         “Tentu saja yang terbaru,” jawab Kintan,  tersenyum.
         “Oh begitu, baik, Bu, terima kasih.”
              Kintan bisa menangkap harapan dalam sorot mata mereka. Penilaian akreditasi yang baik akan membawa kemudahan alumni untuk menghadapi dunia kerja. Perasaan Kintan jadi tidak enak, jangan sampai dirinya sebagai ketua prodi justru membawa penilaian yang tidak baik pada program studi yang dikelolanya ini.
         Wakil dekan urusan akademis, Pak Raka, tiba-tiba sudah berdiri di pintu ruangannya. Pak Raka yang banyak tertawa itu mengetuk pintu dengan sopan.
     “Permisi Bu, mau bimbingan skripsi” kelakarnya. Kintan tertawa. Pak Raka lalu duduk di hadapan Kintan dengan serius.
         “Saya mendengar dari Pak Indra, Mbak Kintan mau merekrut Prof. Adibrata yang terkenal itu?” tanya Pak Raka. Kintan tersenyum.
         “Saya mencoba saja, Pak. Karena saya tahu betul kompetensi beliau dalam bidang ilmu akuntansi. Lagi pula, untuk mencari profesor dengan linieritas ilmu seperti beliau tidak mudah. Kebetulan beliau ada, saya akan coba.”
         “Apa tidak lebih mudah untuk merekrut dari program doktorat kita sendiri saja, lalu untuk pelaporan kepangkatan, ya, kita kondisikan sedemikian rupa,” ujar Pak Raka. Kintan menggeleng.
         “Jangan, Pak. Saya tidak mau memulai dengan situasi ‘dikondisikan’.  Lebih baik saya berusaha untuk mengajak beliau bergabung dengan kita. Mahasiswa kita pun mendapatkan nilai lebih karena dibimbing oleh dosen yang memang kompetensinya sudah jelas.”
         “Baiklah, tapi ingat, waktu kita tidak banyak. Paling tidak semester ganjil mendatang beliau sudah mendapatkan kelas,” Pak Raka mengingatkan. Kintan mengangguk.
         “Siap!” ujarnya. Tawa Pak Raka berderai.
         Sabtu pagi Kintan sudah duduk di kursi penonton lapangan tenis di Senayan. Benar saja, ia melihat Prof. Adibrata dan cucunya sedang bermain di arena. Mereka kelihatan sama gesit, meskipun Prof. Adibrata telah berusia lanjut. Kintan sendiri tak menyangka bahwa profesor pujaannya itu ternyata juga pemain tenis yang andal.
Beberapa kali si cucu kehilangan angka karena Prof. Adibrata lebih jeli mengambil kesempatan. Namun, di akhir permainan, kemenangan diraih si cucu. Kintan mendekati  mereka ketika keduanya sedang beristirahat. Tawa lebar Prof. Adibrata mengembang mendengar lelucon cucunya.
         “Kau benar-benar anak muda yang curang, sengaja ya, kau gunakan dead net untuk mencuri angka Akung!” terdengar suara Prof. Adibrata seraya meninju pelan lengan cucunya.
         “Aku kasihan dengan Akung, nanti napasnya habis!” gurau si cucu.

    
Kisah Selanjutnya >>>>>


********
Hayuningtyas Pramesti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?