Fiction
Gadis Oriental [8]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

SEJAK MALAM PENGANTIN yang gagal itu, Sultan tak pernah lagi memberikan kemesraan terhadap Devina. Ia tetap tidur satu ranjang dengan istrinya. Di bawah selimut yang sama. Tapi, sedikit pun ia tak menyentuhnya. Malah, untuk menghindari pertemuan dengan Devina, Sultan lebih banyak bekerja lembur di perusahaannya. Ia pergi ke kantor pagi-pagi sekali.Baru pulang setelah malam menyelimuti permukaan bumi.

Sultan seperti mesin, yang hanya mampu menjalankan tugas di kantornya saja. Ia mati rasa terhadap wanita. Ia tak lagi mampu untuk mencintai. Selama bertahun-tahun menikah, hanya pekerjaan yang ada dalam pikirannya. Devina hanya seperti boneka cantik yang jadi penghias kamarnya.

Hingga suatu malam di sebuah club, tanpa sengaja Sultan bertemu kembali dengan Vivian. “Apa kabar? Boleh aku gabung di sini? Sendiri?”

“Romeo sibuk mengurusi pekerjaannya. Aku juga terlalu sibuk untuk membujuknya menemuiku ke tempat ini,” jawab Vivian, kalem.

Sultan tersenyum. Rupanya, pernikahan mereka juga tak berjalan dengan baik. “Tampaknya kamu tidak mendapatkan apa yang kamu harapkan.” Vivian tersenyum kecut. “Kamu sendiri? Apakah kamu mendapat kebahagiaan yang kamu harapkan?”

“Kebahagiaan tidak akan mudah diperoleh dari sebuah perkawinan yang dipaksakan oleh keadaan,” Sultan menjawab dengan taktis. ”Aku masih tak mengerti, kenapa kamu membatalkan pernikahan kita.”

Vivian mendesah. “Kenapa kamu masih mempertanyakan hal itu? Apakah kamu masih mencintaiku aku?”

Sulit bagi Sultan menjawab yang sebenarnya sangat sederhana itu. Barangkali, karena terlalu tenggelam dalam pekerjaan, Sultan jadi tidak yakin lagi akan perasaannya sendiri. Ia juga tidak yakin lagi akan mampu mencintai wanita, seperti waktu-waktu yang lalu. Ia memang merasa sangat kehilangan Vivian, tapi ia tidak yakin masih mencintai gadis itu seperti dulu.

“Kebahagiaan itu masih bisa kita raih, Sultan,” lanjut Vivian, sambil menggenggam tangan Sultan. “Kita dipertemukan kembali untuk meraih kesempatan yang dulu terlepas dari tangan kita. Kamu masih dapat menikahiku, kalau memang masih mencintaiku.”

Sultan tercengang. Dulu ia memang sangat ingin menikahi Vivian. Tapi, sekarang? Sekarang ia telah memiliki Devina sebagai istrinya. Meski ia tidak pernah menyentuhnya, sedikit pun tak pernah melintas untuk menceraikan Devina dan menikahi Vivian.

“Aku masih mencintaimu. Menginginkanmu jadi suamiku.”

Sultan mengangkat alisnya. “Aku mungkin masih memiliki harapan yang sama denganmu. Tapi, keadaan sudah tidak memungkinkan lagi.”

“Tapi, kamu tidak mencintai istrimu, seperti kamu mencintai aku, Tan. Aku tahu itu!”

Sultan mendesah. “Kamu benar. Aku memang tidak mencintainya seperti aku mencintaimu dulu. Tapi, banyak sekali hal yang membuatku tidak dapat menceraikannya begitu saja. Ia selalu setia mencintaiku, meski aku duduk di kursi roda. Satu hal yang tidak kudapatkan darimu. Jadi, bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya untuk menikahimu?”

Wajah Vivian merah padam seketika. Ia merasakan kalimat Sultan sebagai suatu sindiran pedas untuknya.

“Vivian, perasaanku padamu sudah tidak sama seperti dulu lagi. Sikapmu membuatku terluka. Luka itu masih kurasakan, meski kerap tertutup oleh perasaan rinduku. Lalu, sekarang kamu dengan mudah mengatakan hendak meninggalkan suamimu untuk menikah denganku. Bagaimana aku yakin kalau kamu tidak akan meninggalkan aku kelak?”

Vivian terperangah.

“Kurasa, sampai di sini saja perbincangan kita. Aku senang sekali bertemu denganmu, Vi. Tapi, aku harus segera pulang, karena istriku sudah menungguku di rumah.”

Lalu, Sultan beranjak pergi. Suara panggilan Vivian tak dihiraukannya. Entah kenapa, langkah Sultan terasa ringan. Hatinya terasa lapang. Sultan juga tidak mengerti, mengapa tiba-tiba ia merasa lega, setelah menolak Vivian sedemikian rupa. Entahlah, sulit baginya untuk mendefi nisikan perasaannya sendiri terhadap Vivian. Yang jelas, ia merasa menjadi Sultan yang baru, setelah menyadari bahwa dirinya tidak terobsesi lagi pada Vivian.

“BARU PULANG?” SUARA LEMBUT Devina mengejutkan Sultan yang berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya.

“Maaf. Aku membangunkanmu, ya?” tanya Sultan, rikuh.

“Aku bukan terbangun karena suaramu. Aku memang masih terjaga sejak sore tadi.” Devina bangkit dari tempat tidur.

“Mau kubuatkan kopi susu?” tanya Devina, sambil mengikat rambutnya.

Sultan menggeleng cepat. Ia lalu berjalan menuju meja kerjanya, mencoba menekuni beberapa sketsa barang antik yang berserakan. Tapi, konsentrasi Sultan benar tidak dapat tertuju pada pekerjaan. Ia mendekap wajahnya. Tiba-tiba saja ia merasa berdosa terhadap Devina, yang selalu memperlakukannya dengan lembut. Alangkah tidak adilnya ia selama ini.

Ia berdiri, menuju kamarnya. Ia merasa harus bicara pada istrinya dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak bijaksana. Tapi, baru saja ia bangkit dari tempat duduk, wajah Devina muncul. “Sultan, kamu sudah makan?” Suara Devina lirih. Tapi, terdengar menggetarkan di telinga Sultan.

Sultan tertegun di tempatnya. Pertanyaan istrinya yang demikian sederhana itu terasa sangat menyentuh. Terbukti, meski ia tidak pernah memerhatikan Devina, istrinya tidak pernah lalai memerhatikan kebutuhannya. “Kamu sendiri, apakah sudah makan?” Sultan balik bertanya.

Devina menggeleng lemah. “Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku menunggumu pulang supaya kita bisa makan malam bersama.”

“Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu?” Sultan menepukkan kedua tangannya. Lantas, dengan bersemangat, ia meraih pinggang Devina, dan membimbingnya menuju ruang makan.

Devina tersentak. Sentuhan tangan Sultan serasa mengaliri tubuhnya dengan getaran yang sangat aneh. Ia tambah tertegun ketika Sultan menyalakan beberapa batang lilin di atas meja makan. Menarikkan kursi untuk istrinya. Memutar lagu romantis untuk jadi musik pengiring makan malam.

Meski merasa heran atas sikap suaminya, Devina diam saja. Ia duduk di samping Sultan, menikmati makan malamnya. Ia biarkan tangan kokoh Sultan melingkari pinggangnya. Membiarkan desah napas Sultan mengembus di pipinya. Ia biarkan Sultan memeluknya.

DEVINA TERJAGA DI SAAT MATAHARI belum muncul dari ufuk timur. Wanita lemah lembut itu merasakan sebuah kesegaran yang aneh menyirami tubuhnya. Kesegaran yang diberikan oleh suaminya melalui sebuah kemesraan yang sakral. Perlahan, ia memalingkan wajahnya, tersenyum melihat tubuh suaminya terbaring di sisinya dengan sebuah kebahagiaan terukir di wajah tampannya. Dengan penuh cinta, ia mengecup suaminya.

Ia mendesah. Teringat pada malam yang baru saja dilaluinya. Masih terasa di tubuhnya pelukan hangat, sentuhan lembut Sultan. Tapi, tiba-tiba muncul sebuah tanda tanya di benak Devina. Ia mereka- reka, hal apa yang menyebabkan suaminya bersikap mesra.

Yang pertama melintas di benaknya adalah Vivian. Ia tiba-tiba merasa getir, saat membayangkan sebuah kemungkinan yang menghubungkan perlakuan mesra Sultan dengan Vivian. Devina menangis. Ia sudah cukup termakan perasaannya sendiri dengan membiarkan Sultan tetap mencintai Vivian. Kini haruskah ia menerima kenyataan bahwa Sultan bercinta dengannya sambil membayangkan bercinta dengan Vivian? Tidak!

Devina tidak mau membiarkan dirinya jadi jelmaan Vivian di mata Sultan. Sudah cukup lama dia hidup di bawah bayang-bayang wanita itu. Kini segalanya harus diakhiri! Dengan hati pedih, Devina bangkit. Ia mengemasi pakaian dan barang-barangnya dalam dua buah koper. Sebelum ia meninggalkan rumah mewah suaminya, ia meletakkan surat di atas bantalnya. Matahari masih mengintip malu, saat Devina melangkah pergi.

“DEVINA…,” DENGAN MATA MASIH TERTUTUP, Sultan meraba-raba sisi tempat tidur yang biasa ditiduri Devina. Tapi, tidak ditemukannya wanita yang telah setia mendampinginya selama 4 tahun itu. Tak disengaja tangannya menyentuh selembar kertas terlipat di atas bantal istrinya.

Mata Sultan langsung terbuka lebar, terkejut. Ia segera bangkit dan membuka lipatan kertas itu dengan terburu-buru. Matanya terbeliak membaca kata demi kata. Ketika seluruh isi surat telah selesai dibaca, Sultan tertawa. Lalu, ia mandi dengan santai. Sesudahnya, ia menemui ibunya yang sudah menunggu di ruang makan.

“Hmm… tumben bangun agak siang,” sapa Nyonya Fatimah.

Sultan hanya tersenyum.

“Mami tidak melihat Devina. Ke mana dia?” tanya ibunya lagi.

“Dia pulang, Mi,” kata Sultan. “Dia pulang ke rumahnya sendiri.”

“Apa?! Kalian bertengkar atau bagaimana?”

“Tidak, kok.” Sultan tersenyum.

“Tapi, kenapa Devina pulang ke rumahnya, Sultan? Kamu harus bicara yang jelas. Mami tidak ingin kamu memperlakukannya dengan semena-mena.”

Sultan tersenyum, sambil melahap sepotong roti isi selai stroberi ke dalam mulutnya. “Aku berniat menyusul ke rumahnya, setelah selesai sarapan. Ada kesalahpahaman antara aku dengan Devina.”

”Sekarang saja kamu susul dia,” kata Nyonya Fatimah tegas, sambil menggeret Sultan, agar bangkit dari tempat duduk.

SAAT SULTAN TIBA DI RUMAH DEVINA, ia melihat istrinya itu tengah membantu ibunya, melayani seorang pembeli ketoprak. Ia terkejut sekali melihat kedatangan suaminya yang tak terduga itu. Devina mengerutkan alisnya. Ia tak mengerti mengapa Sultan menyusulnya ke tempat ini. Padahal, lewat surat, ia telah mengutarakan semuanya, termasuk permintaan agar suaminya tidak mencarinya lagi.

“Devina…,” Sultan memanggil dengan lembut.

Devina sampai terkejut mendengar kelembutan suaranya. Apalagi, saat melihat tatapan mata yang begitu menyejukkan dari Sultan.

“Seharusnya, kamu jangan datang ke sini, Sultan…,” ujarnya lirih.

“Kamu lebih baik mencari Vivian, yang lebih pantas untuk jadi istrimu. Dia pasti akan menerimamu kembali, kalau tahu kamu tidak lum….”

“Sssh!” Sultan meletakkan telunjuknya di depan bibir Devina.

Tanpa berkata apa-apa, ia meraih wanita itu dalam pelukannya.

“Jangan sebut orang lain lagi, Devina. Aku hanya mencintaimu…,” bisik Sultan di telinga istrinya.

Devina terperangah. Rasanya, ia tengah berada dalam mimpi mendengar penyataan cinta dari suaminya itu. Selama bertahun-tahun suaminya mabuk oleh pesona Vivian. Ia hampir tak percaya apa yang didengarnya.

“Benarkah?” tanya Devina.

Sultan tak menjawab. Ia hanya mempererat pelukannya. Sebutir kristal bening turun di pipi Devina. Ia bahagia mendengar penyataan suaminya. Tak peduli bahwa adegan pelukan yang cukup hangat itu menjadi tontonan beberapa pembeli ketoprak ibunya….
(Tamat)

Penulis: Itong Rahmat Hariadi





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?