Fiction
Gadis Oriental [7]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

“HALO, VI,” SULTAN MENYAPA KEKASIHNYA.
Vivian terperangah. Ia mengenali mobil Sultan sejak tadi. Tapi, ia tak yakin bahwa memang Sultan yang datang. Ia mengira, Sultan masih berada di rumah sakit. Sultan pun tampak banyak berubah dibanding saat terakhir mereka bertemu sebelum kecelakaan. Kali ini Sultan kelihatan agak kurus dan pucat. Rambutnya sedikit kusut, karena belum dipotong dan tidak disisir rapi.

“Kamu mau memrotes sikapku yang hendak membatalkan pernikahan kita?” tanya Vivian, tanpa tedeng aling-aling.

Kegembiraan di wajah Sultan lenyap seketika.

“Jangan bikin sulit aku, Sultan,” kata Vivian, dingin. Tapi, suaranya bergetar.

Pertanda isi hatinya tidak sama dinginnya dengan nada suaranya.

“Aku tidak mungkin mengubah keputusanku,” kata Vivian, sambil kembali mengenakan kacamatanya, sambil melirik sekilas pada Devina.

“Tapi, kenapa kamu melakukannya?” Sultan bingung.

Devina menatap Vivian tajam. Ingin rasanya ia meneriakkan dengan kencang bahwa Sultan tidak lumpuh selamanya, agar Vivian tidak membatalkan pernikahannya. Tapi, jika hal itu ia lakukan, Sultan pasti akan kembali ke pelukan Vivian. Ia kehilangan kesempatan merebut cintanya.

Segala macam pikiran berkecamuk di dalam benak Devina. Ia ingin Sultan bahagia, duduk di pelaminan bersama Vivian. Tapi, di sisi lain, ia tak ingin kehilangan Sultan.

“Aku akan menikah dengan Romeo,” kata Vivian, mengejutkan Devina dan Sultan. “Karenanya, kuminta kamu jangan menganggu aku lagi!” Lalu, dengan cepat Vivian memundurkan mobil, lalu memutar mobil itu kembali ke jalan raya, melesat meninggalkan Sultan.

“Vivian!” Sultan seperti orang hilang akal, berusaha mengejar.

“Vivian…,” suara Sultan terdengar parau dan putus asa.

“Kamu mau aku mengejarnya?” tanya Devina. Ia tak tega melihat Sultan seperti orang kehilangan separuh nyawanya. Diam-diam Devina mengutuk Vivian, yang tega menghancurkan perasaan Sultan.

Sultan menggeleng. “Tidak. Tidak usah dikejar,” kata Sultan.

“Meskipun kamu harus membantuku masuk ke dalam mobil dulu baru mengejarnya, mana mungkin bisa terkejar? Kita langsung saja ke tempat terapi.”

Devina menarik napas lega. Bukan hanya karena ia tidak harus mengejar Vivian, tapi juga karena melihat Sultan tetap punya semangat untuk sembuh. Sultan sebenarnya sangat terkejut, kecewa, melihat sikap Vivian yang sangat dingin. Juga tak mengerti mengapa Vivian akan menikah dengan Romeo. Tapi, karena itu, ia makin bertekad untuk sembuh.

Satu-satunya jalan yang masuk akal bagi Sultan adalah menyembuhkan kakinya secepat mungkin. Setelah itu, ia akan bicara pada Romeo dan Vivian untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi.

“KAMI TIDAK INGIN KAMU KECEWA,” kata Nyonya Fatimah. “Mami, aku lebih terpukul ketika mendengar semua ini dari Romeo dan Vivian.

Kenapa hal penting ini harus disembunyikan?”

“Kamu tidak bisa menyalahkan aku dan Mami, Sultan! Kami merahasiakan ini justru untuk melindungi kamu!”

“Melindungi bagaimana?” sergah Sultan.

“Kamu kan baru keluar dari rumah sakit. Masa aku sampai hati menjejalimu dengan berita buruk? Lagipula, alasan Vivian membatalkan pernikahan itu sangat memuakkan!”

“Jadi, kamu tahu alasannya?”

“Tentu saja aku tahu. Romeo mengatakannya dengan cukup jelas di telingaku melalui telepon! Vivian tidak mau menikah denganmu, karena dia tidak mau punya suami lumpuh!” kata Mirah, ketus.

Sultan menatap adiknya dengan tajam. “Pasti telah terjadi salah paham.” Sultan mengarahkan kursi rodanya ke meja telepon. “Aku harus menjelaskan bahwa aku tidak selamanya lumpuh.”

Namun, Nyonya Fatimah telah lebih dulu meletakkan tangannya di pesawat telepon.

“Lupakan saja niatmu. Vivian bukan wanita yang tepat untukmu. Ia tega memutuskan hubungan, saat kamu sedang dalam kesulitan. Wanita seperti itukah yang akan kamu jadikan teman seumur hidupmu?”

“Aku akan meneleponnya dari kamarku,” Sultan tak menggubris ucapan ibunya. Tapi, sebelum Sultan memanggil Parman dan Kemis untuk membantunya naik ke kamarnya, telepon berdering keras.

Nyonya Fatimah mengangkat gagang teleponnya, lalu diam dengan wajah serius. “Romeo ingin bicara denganmu,” katanya, singkat.

Sultan dengan cepat menerima pesawat telepon itu.

“Sultan, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Vivian ingin kamu tahu bahwa kami telah menikah di Catatan Sipil pagi tadi.”

Sultan terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak seketika.

Kenapa Vivian tega melakukan semua ini?

SEGALA PERUBAHAN DIALAMI OLEH SULTAN. Kini ia mulai dapat berjalan, tidak bergantung pada kursi roda lagi, meski masih harus menggunakan tongkat. Lalu, atas desakan ibunya, Sultan akhirnya memperistri Devina yang selama ini tidak pernah lelah memperlihatkan cinta dan perhatiannya. Ia menerima desakan ibunya, bukan karena cinta pada Devina, tapi didorong oleh rasa kecewa pada Vivian. Ia lalu bertekad menyelenggarakan pesta pernikahannya, sebelum Vivian menggelar resepsi pernikahannya dengan Romeo.

Pesta pernikahan Sultan dan Devina dirancang sangat mewah. Tak lupa ia mengundang Romeo dan Vivian, yang kaget karena melihat Sultan tampak gagah dalam setelan jas pernikahannya. Tidak terlihat lumpuh sama sekali.

“Kamu tampak tidak senang, Sayang. Kenapa?” tanya Romeo.

“Bagaimana mungkin aku senang. Pesta ini seharusnya jadi pesta pernikahanku,” sentak Vivian.

Romeo tercekat. “Bukankah kamu yang membatalkan?”

“Memang. Tapi, aku sudah dijebak, hingga mengambil keputusan itu. Mirah telah membohongiku! Aku mau pulang sekarang,” kata Vivian, sambil berjalan keluar.

Sultan, yang mengamati raut wajah Vivian, tersenyum simpul. Pemandangan itu sudah cukup untuk jadi satu angka kemenangan untuknya. Ketika pesta usai, langkah Sultan menuju kamar pengantin terasa sangat ringan, tanpa beban.

Ia baru selesai mandi, saat melihat pengantin wanitanya duduk di tepi ranjang dengan wajah tertunduk. Kecantikan Devina yang mengagumkan dan luar biasa membuat Sultan tergoda untuk menyentuhnya.

Sentuhan Sultan pada tubuh Devina begitu lembut dan menghanyutkan. Mereka tenggelam dalam keindahan yang menghanyutkan. Mereka terbuai oleh kemesraan yang hampir mencapai puncaknya. Tapi, semua itu terputus saat sebuah bayangan menyeruak tirai ingatan di benak Sultan. Bayangan Vivian!

Mendadak Sultan kehilangan gairah. Bayangan itu membuatnya mati rasa seketika. Sepertinya, Vivian tengah berada di kamar pengan tin itu dan mengamati semua yang tengah dilakukan Sultan.

Ini membuat Sultan tak berdaya. Ia menggelosor jatuh di sisi Devina dengan wajah pucat pasi. Badannya basah karena keringat. Sultan marah. Marah sekali, karena ia belum dapat melupakan Vivian. Ia marah, karena ternyata masih menyimpan cinta untuk Vivian!

cerita selanjutnya >>

Penulis : Itong Rahmat Hariadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?