Fiction
Gadis Oriental [4]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Vivian memejamkan matanya beberapa saat. Sentuhan tangan Romeo di bahu Vivian membuatnya membuka mata. “Kalau kamu tidak berani membatalkan pernikahanmu dengan Sultan, biar aku yang menyampaikannya kepada Sultan. Bagaimana?”

Vivian ingin menyetujui usul Romeo itu. Tapi, sebagian dari dirinya berat untuk mengucapkan selamat tinggal pada Sultan.

Setengah terisak, ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Romeo. “Katakan padanya dengan lembut, Romeo. Katakan bahwa aku hanya manusia biasa. Aku tidak sanggup menerimanya, kalau… kalau… ia duduk di kursi roda.”
Romeo tersenyum puas. Ia memeluk tubuh Vivian, sambil meng­hela napas lega. Dengan lembut, ia membelai rambut Vivian. Bau harum yang keluar dari rambut gadis itu menggetarkan seluruh pembuluh nadinya. Darahnya berdesir, jantungnya berpacu cepat. Ia menundukkan kepalanya, mengecup kepala Vivian. Tangan kokohnya mempererat pelukannya.

Sepulang dari rumah sakit, Sultan hanya tersenyum kecil ketika disambut oleh para pembantu rumah itu. Ia memegang tangan Mirah dan Nyonya Fatimah, yang membantunya memindahkan tubuhnya dari mobil ke kursi roda.

“Bagaimana pabrik dan galeri kita, Mi? Semuanya lancar?”

“Baru kembali dari rumah sakit, kok, sudah bertanya soal pekerjaan. Nggak ada soal lain yang lebih menarik?” celetuk Mirah.

Sultan meringis. Tentu saja ia ingin bertanya soal lain. Terutama, soal Vivian yang tidak pernah menjenguknya. Tapi, apa ibu dan adiknya mau menjawab pertanyaannya itu? Rasanya, tidak. Ada sedikit kecurigaan di benak Sultan. Jangan-jangan, ibu dan adiknya menghalangi Vivian datang. Tapi, rasanya, kecurigaan itu sangat tak beralasan. Lagi pula, Vivian keras kepala. Kalaupun kedatangannya dihalangi, ia pasti akan tetap bisa menjenguknya.

“Kamu tahu nggak, selama kamu pingsan, ada seseorang yang sangat setia menunggumu?” bisik Mirah, di telinga abangnya.

“Siapa? Vivian?” tanya Sultan, bersemangat.

Mirah cemberut. “Aku nggak pernah lihat Vivian menjengukmu, apalagi menungguimu. Yang selalu di sisimu justru Devina!”

Sultan mengerutkan alis lebatnya. Di mata Sultan, Devina memang gadis yang menarik. Wajahnya cantik, tutur katanya sopan dan lembut, sangat cerdas, dan memiliki kesabaran luar biasa. Tak bisa dipungkiri bahwa ia sempat jatuh hati padanya. Tapi, sejak bertemu Vivian.... Bagi Sultan, dia sangat istimewa. Bahkan, pesona yang dipancarkan Vivian mampu memupus daya tarik Devina, yang nyaris berhasil menjerat cinta Sultan.

“Halo…,” sebuah suara menyapa lembut. Devina. “Apa kabar? Senang, ya, bisa kembali ke rumah?”

“Tentu,” jawab Sultan, ramah. Ia tidak melihat ibu dan adiknya di belakang kursi rodanya. Entah sudah kabur ke mana mereka.

Sultan menatap Devina dengan mata tajamnya. Tatapan yang penuh selidik, membuat rikuh yang ditatap. Pria itu heran mendengar Devina membuat puding cokelat untuknya. Rupanya, hubungan gadis itu dengan Nyonya Fatimah sudah sedemikian dekatnya, hingga ia bisa bebas memakai dapurnya.

“Mamimu mengizinkan aku meminjam dapurnya,” kata Devina, seakan bisa menerka pertanyaan di benak Sultan. “Mirah mengatakan bahwa kamu sangat suka puding cokelat.”

Lagi-lagi mereka, keluh Sultan dalam hati. Entah apa lagi yang akan dilakukan mereka untuk menjodohkan ia dan Devina.

“Kamu mau kan mencicipi puding buatanku?” tanya Devina.

Sultan mengembangkan senyumnya. Meski ia tidak setuju pada rencana ‘perjodohan’ ibu dan adiknya, ia merasa harus tetap bersikap ramah terhadap Devina. Tidak adil jika memperlakukan Devina dengan sikap dingin, hanya karena ingin menjaga jarak. Apalagi, sikap Devina selalu penuh perhatian.

“Boleh aku bantu mendorong kursi rodamu?” tanya Devina.

“Tidak usah,” kata Sultan, mencegah Devina yang sudah hendak mendorong kursi rodanya. “Ini otomatis. Aku cukup menekan satu tombol, kursi ini bisa berjalan sendiri. Bisa kukendalikan ke mana saja aku mau,” kata Sultan, sambil mempraktikkan kata-katanya. Sultan sengaja berputar-putar di ruang tamu, hingga Devina tertawa terpingkal-pingkal.

Mirah dan Nyonya Fatimah mengintip dari dapur, sambil tersenyum. “Sebaiknya, jangan kamu beri tahu Sultan tentang telepon Romeo tadi. Nanti dia kaget mendengar pembatalan sepihak dari Vivian. Kamu tahu, abangmu tergila-gila padanya. Biar saja Sultan lebih dekat pada Devina, melupakan Vivian sedikit demi sedikit.”

“Mudah-mudahan saja Devina bisa menggunakan peluang ini untuk merebut perhatian Sultan,” gumam Mirah.

“Kamu mau menolongku, Dev?” tanya Sultan. “Tolong panggilkan Parman dan Kemis untuk membantuku naik.”

“Baiklah. Kamu tunggu saja di ruang tengah. Dekat tangga.”

Devina segera mencari Parman di pos jaga, lalu memanggil Kemis yang masih asyik dengan rumput liarnya. Mereka lalu membantu Sultan naik ke lantai dua untuk masuk ke kamar barunya. Sebenarnya, ketika mengetahui bahwa Sultan akan memakai kursi roda selama beberapa lama, Nyonya Fatimah ingin memindahkan kamarnya ke lantai bawah, tapi Sultan menolak. Ia merasa sudah sangat nyaman dengan kamar barunya.

Kamar baru Sultan adalah dua kamar tidur yang digabung menjadi satu. Tadinya, kamar itu merupakan kamar tidur tamu. Tembok pemisah dua kamar itu lalu dibongkar menjadi satu kamar besar. Di kamar itu telah terdapat beberapa ’penghuni’ baru, seperti ranjang, meja rias untuk wanita, dan beberapa benda lain, yang baru dibeli Sultan untuk Vivian. Rencananya, setelah menikah, ia dan Vivian akan menempati kamar baru itu. Dekorasi di dalam kamar juga merupakan dekorasi pilihan Vivian, dengan dominasi warna jingga, warna kesukaan Vivian.

Setelah Parman dan Kemis me­nutup pintu kamar dari luar, Sultan merebahkan diri. Pikirannya menerawang dan jadi kacau karena selalu teringat pada Vivian. Seharusnya, pernikahan mereka akan berlangsung dua minggu lalu. Tapi, hingga kini, Sultan tidak dapat menghubungi Vivian. Selama di rumah sakit, Sultan beberapa kali berusaha meng­hubungi Vivian melalui ponselnya.

Sepasang mata Sultan tertumbuk pada setumpuk kartu undang­an pernikahannya di sudut meja kerja. Dari sekian banyak kartu undangan, belum ada satu pun yang disebar. Padahal, tempat pesta sudah dipesan. Sultan menarik kakinya ke atas tempat tidur, lalu meraih pesawat telepon di meja kecil dekat ranjang.

Sampai beberapa kali Sultan menelepon rumah Vivian, tapi tidak ada yang mengangkat pesawat telepon di seberang sana. Sultan menghubungi telepon di kamar Vivian. Juga tak ada yang mengangkat. Lesu, Sultan menutup teleponnya, kembali membanting kepalanya ke permukaan ranjang.

“Vivian?” suara Romeo terdengar, ketika pintu kamar Vivian terbuka. Isak tangisnya terhenti. Vivian mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika wajah Romeo muncul dari balik pintu.

“Kenapa di sini?” Kesedihannya yang terpotong membuat Vivian marah. Tapi, Romeo tidak tersinggung. Ia kasihan melihat Vivian memakai gaun pengantin yang terkoyak, bersimbah air mata?

“Pergi! Aku benci melihatmu!” Vivian berteriak.

Romeo berdecak. Ia agak bingung melihat Vivian yang tampak seperti orang kehilangan akal itu. Tapi, ia tetap tidak pergi.

“Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini. Tapi, kamu tidak pernah mau mengangkat telepon dariku. Jadi, aku ingin menengokmu.”

Romeo memandang wajah Vivian, yang pucat seperti orang sakit. Mata gadis itu tidak bersinar tajam seperti biasa. Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu sering menangis. Rambutnya acak-acakan.

“Aku dengar dari pembantumu, kamu selalu mengurung diri,” kata Romeo, tanpa memedulikan bentakan Vivian. “Kupikir, kamu sedih karena rencana pernikahanmu gagal. Aku coba menghubungi ayah­mu. Tapi, beliau sedang ke Malaysia mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri masuk ke sini. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan.”

“Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi!” Vivian berusaha mendorong Romeo, tapi Romeo menangkap tangannya dengan sigap.

“Kamu panik, Sayang,” kata Romeo, lembut. “Kamu merasa tertekan karena situasi ini.”

Vivian berusaha melepaskan diri dari genggaman Romeo. Tapi, Romeo mencengkeram le­ngan­nya keras, hingga ia kesakitan. Vivian mendengus. Ia sangat marah karena keadaan telah membuat Sultan lumpuh dan tidak mungkin jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena tidak bisa melupakan Sultan.

Romeo menarik Vivian ke dalam pelukannya. Dengan lembut ia membelai punggung Vivian. Ketika tangannya menyentuh kulit yang halus dan lembut, darahnya berdesir. Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya meremang. Vivian menjatuhkan diri ke pelukan Romeo.

“Aku bingung, Romeo…,” keluh Vivian. “Aku sangat mencintainya.”

Romeo gemas, merasa marah bercampur cemburu. “Kamu harus melupakan dia!” kata Romeo, dengan mata berapi-api. “Sesulit apa pun, kamu harus tetap berusaha melupakan dia!”

“Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?”

Vivian sama sekali tidak curiga bahwa belaian Romeo bukan lagi belaian simpati seorang sahabat. “Kamu memiliki aku, Vi….”

Vivian mengangguk. “Jangan tinggalkan aku sendirian.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Vi,” bisik Romeo, seraya mempererat pelukannya. “Karena, aku mencintaimu.”

Vivian terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Romeo dan mundur beberapa langkah. “Tapi, bukan itu maksudku,” kata Vivian “Aku hanya menginginkan kamu sebagai teman.”

“Kenapa hanya sebagai teman?”

Vivian diam. Romeo tidak berlama-lama membiarkan Vivian bimbang. Ia mendaratkan sebuah ciuman.


Penulis: Itong Rahmat Hariadi


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?