Fiction
Facebook Bapak [1]

13 May 2013


Sanggul Marata

SEPERTI BAPAK-BAPAK pada umumnya. Bapakku gaptek alias gagap teknologi. Lebih tepatnya, agak antiteknologi. Pertama kali punya telepon genggam, dia tak mau memakai layanan apa pun selain menelepon dan menerima panggilan telepon. Bapak marah tiap ada yang mengirim pesan singkat / SMS padanya.
Ia tak pandai dan tak mau tahu bagaimana cara membaca dan membalas SMS. Alasannya, jempol Bapak terlalu besar untuk memencet tombol-tombol handphone.

Aku, anak satu-satunya, yang terpaksa jadi korban untuk membaca dan membalaskan SMS Bapak. Aku bersungut-sungut karena Bapak merepotkan dan menyita waktu bermainku. Meski terkadang kuakui, aku menikmatinya, sebagai jarak terdekat antara aku dan Bapak.

***
Sepuluh tahun berlalu. Aku telah menapak usia dewasa, Bapak pun sudah tua dan tetap anti-SMS. Siapa pun yang ngotot mengirim pesan singkat kepada Bapak, siap-siap tak dibalas. Pun pergi sudah sang asisten pribadi yang spesialis mengurusi SMS Bapak.

Ya, aku sudah merantau jauh meninggalkan Bapak. Kini kami terpisah jarak dua jam perjalanan pesawat. Walau hubungan kami bisa dikatakan datar-datar saja, tetap aku dan Bapak saling menanggung cemas dan rindu.

Terutama Bapak. Batinnya selalu awas mereka-reka, apakah anak perawannya di luar sana hidup manis dan lurus. Telepon saja tak lagi cukup mengobati derita perasaan-perasaan itu  tiap hari, apalagi SMS. “Masa aku harus pindah ke kota. Aku nggak suka kota,” begitu selalu curhat Bapak kepada seorang tetangga, yang juga lalu diulang-ulang padaku  tiap kali aku pulang kampung.

Sampai di suatu sore, sepi dunia Bapak terusik seorang kawan kecil.
“Ini namanya pesbuk, Kek,” demikian konon Emen, cucu tetangga sebelah, berkata, merujuk pada jejaring sosial Facebook. Bapak yang sedang bertandang, dengan terpesona sekaligus bingung memergokinya ber-Facebook ria. Bapak melongo, sama sekali buta tentang apa yang disebut-sebut murid kelas VI sekolah dasar itu.
“Apa?” Untuk mengulang kembali kata Facebook saja mulut Bapak terkunci saking asingnya.

***

AKU BARU saja duduk di mobil menuju kantor, siap bertempur melawan macetnya jalanan ibu kota, ketika smartphone-ku mendadak berbunyi. Tampak huruf “f” berlatar biru berhias bintang merah muncul di layar. Meski sudah lama terdaftar di Facebook, aku bukan golongan aktif. Begitu juga teman-teman Facebook-ku.
Bukan tidak suka, tapi sering kali tak punya waktu. Karenanya, satu tanda pemberitahuan saja sudah menyenangkan hati. Cepat-cepat aku periksa siapa menyapa kehidupan mayaku pagi-pagi begini. “Satu permintaan berteman dari  Selamat Parman.” Tanpa foto profil, tanpa pesan, tanpa jalinan pertemanan yang sama.

Sebelah alisku terangkat. Kecewa campur bingung. Kecewa karena yang mengajak berteman kali ini namanya tidak terdengar keren, malah beraroma kuno dan kampung. Rasanya nama ini sangat akrab, tapi, kok, muncul di tempat yang tak mungkin memunculkannya? Tapi, kuterima permintaan pertemanan itu hanya karena namanya senama dengan nama Bapak. Lalu, iseng kuperiksa halaman profilnya.

“Astaga?! Beneran Bapak??!!” aku terlonjak kaget sampai mendadak menginjak pedal rem. Untung tidak ada mobil lain di belakang mobilku. Di dalam halaman profil itu terbentang foto Bapak duduk mengangkang tenang, berkaus dalam lusuh kesayangannya, bersarung kotak-kotak hijau sambil mengangkat kaki kanannya ke kursi ruang tamu rumah, dengan kepala mendongak dingin.
Aku mendadak gagu. Antara mau tertawa tapi tak bisa, tertawa atau khawatir. Tapi, kenapa juga khawatir. Kalaupun tertawa, mau tawa senang atau lucu? Tertawa senang karena Bapak punya Facebook, atau tertawa lucu karena mustahil Bapak punya Facebook?

SMS saja Bapak tak bisa. Atau jangan-jangan aku khawatir nanti Bapak bakal melihat foto-fotoku bersama teman-teman, dan pesan-pesan yang mereka tulis di dinding profil Facebook-ku. Tapi, toh, tidak ada foto atau pesan yang aneh-aneh di sana.

Oh, ternyata aku khawatir kalau-kalau Bapak menuliskan sesuatu yang memalukan di dinding profil Facebook-ku, lalu nanti dibaca teman-temanku. Aku menghela napas panjang dan cepat-cepat mengangkat jempol mau menghapus Bapak dari Facebook-ku.

“Hapus?” aku membatin. “Kok, aku tega sama Bapak?”
Rasa bersalahku setara durhaka Malin Kundang yang tak mengakui ibu kandungnya.
Astaga, ini kan  cuma Facebook! Kalau Bapak kuhapus dari daftar teman, bukan berarti Bapak kuhapus dari silsilah orang tuaku, ‘kan? Kalau begitu, kenapa harus dihapus? Aku berdebat dengan diri sendiri dan resmi menjadikan Facebook seakan isu hidup mati hubunganku dengan Bapak.

Akhirnya aku mengambil langkah praktis, cepat-cepat mengunci dinding profilku agar Bapak tak bisa meninggalkan tulisan apa pun di ruang publik itu. Toh, Bapak tidak mungkin tersinggung karena tidak akan tahu bahwa aku melakukannya dengan sengaja.

Apalagi Bapak juga tidak mungkin mengerti Facebook sampai sejauh itu. SMS saja Bapak gagal. Segera, pertanyaan bagaimana Bapak bisa ikut demam Facebook langsung tertimbun kesibukanku menaklukkan macetnya jalanan pagi ini.

***

“WAH, DINDINGNYA dikunci, Kek. Kakek jadi nggak bisa nulis apa-apa di pesbuk anak Kakek,” keluh Emen, kecewa. Parman diam. Emen menatap khawatir kalau-kalau Parman sedih. Dia lalu mencoba mengalihkan masalah.
   
“Kakek sedih, ya, foto Kakek nggak aku pasang di foto profil? Abisnya nggak keren, Kek. Tapi, kalau Kakek sedih, ya, sudah, aku pasang.”
Dalam hitungan detik, Facebook Parman kini tak lagi tanpa wajah. Fotonya dengan sarung dan kaus lusuh kebanggaannya pun terpampang ganjil. Ya, ganjil, di antara foto-foto pamer khas kenarsisan penggila Facebook. Dan  makin ganjil bersanding dengan foto putrinya yang tampak supermodern dan kekotaan.
Parman masih dalam tepekurnya.
   
“Nanti kalau sudah ada foto Kakek yang keren, ganti, ya, Kek,” usul Emen.  “Biar eksis.”
Parman tetap diam. Bukan mencemaskan ketidakhadiran kata keren dari Facebook-nya, tapi sejatinya Parman diam karena bingung. Dia masih tak terlalu mengerti apa yang sedang dibahas Emen.

Setelah berkutat seharian dengan kursus Facebook dari si guru cilik yang begitu bersemangat mengajari, Parman tampak masih terkagum-kagum tak percaya menyaksikan apa yang bisa diberikan internet pada dunia.

Apa itu internet, apalagi bagaimana cara kerjanya, adalah hal yang terlalu rumit buat otak sederhana pensiunan guru sekolah dasar negeri inpres itu. Teknologi paling tinggi yang pernah disentuhnya selain telepon genggam satu-satunya cuma mesin ketik listrik sumbangan pemerintah daerah di kantornya.

Parman takzim pada apa yang di-klik-klak oleh Emen. Kini  tiap hari dengan mudahnya ia bisa melihat foto-foto putri kesayangannya di berbagai suasana. Di kantor, di jalan, di tempat kos, di restoran-restoran, di mobil, di mana-mana. Parman bisa melihat dengan siapa-siapa saja putrinya berteman, seperti apa laki-laki yang bergaul dengan anak perempuannya, juga pikiran-pikiran dan perasaan putrinya.

Suatu hari, Parman lagi-lagi sedang berguru Facebook pada Emen, ketika tiba-tiba muncul tulisan baru di dinding profil Facebook putrinya: “Kangen Bapak.”
    “Tulisan yang ini disebutnya status, Kek. Jangan lupa lagi, ya,” Emen menggurui, sabar.
    “Itu beneran tulisannya maksudnya untuk saya?” tanya Parman blingsatan, masih belum mengerti jelas akan maksud dan tujuan kegiatan tulis-menulis pesan di media sosial itu.
    “Ya, iyalah, Kek. Masa buat bapak saya,” celoteh Emen asal, tapi terdengar polos. “Kan itu gunanya pesbuk. Buat ngasih tahu perasaan kita ke orang lain,” jelas Emen dengan perasaan bangga bisa lebih pintar dari orang tua, guru pula, macam Parman.

Mata Parman menerawang menatap tulisan itu. Diam-diam matanya berkaca-kaca. Lamunannya terlempar ke masa-masa silam, saat putrinya baru-baru merantau.
“Pak, aku kangen sama Bapak,” ucap putrinya suatu hari dengan canggung saat menelepon.
“Nggak perlu kangen-kangen segala. Bapak nggak suka anak Bapak jadi manja. Gimana kamu bisa berhasil di perantauan kalau cengeng!” jawab Parman tegas. Padahal dalam hati, Parman menangis haru mendengar suara rindu itu.
   
“Nah, Kakek bisa komentar di  statusnya anak Kakek. Untung comment-nya nggak dikunci. Kakek mau nulis apa?”
Lamunan Parman dibuyarkan pertanyaan Emen yang memintanya berkomentar pada status putrinya. Cepat-cepat dipalingkannya wajah untuk menghapus air mata.

“Emen ketik bilang Kakek kangen juga, ya?” lanjut Emen bersemangat, sambil dengan cekatan siap mengetik.
   
“Jangan!” Parman langsung menghentikan tangan Emen. Baginya, tabu mengungkap perasaan kepada putrinya, apalagi di tempat yang bisa dibaca orang lain. Dan lagi, naluri Parman rasanya paham betul, bahwa dirinya hanyalah orang tua yang tergilas zaman, yang tak keren, tak up to date.
Mengetik SMS saja dia tak lulus, apalagi Facebook. Satu-satunya alasan Parman rela berkutat di dunia maya ini cuma karena media ini membantunya menatap jejak-jejak hidup putrinya saat jauh dari jangkau tangannya. Dirinya bisa menepis rasa cemas tak beralasan yang sering mendera kala memikirkan putrinya. Perasaan-perasaan yang selama ini begitu hebat menggerus pikiran dan sarafnya, membuatnya harus bergantung pada empat butir pil penenang saraf  tiap hari.

“Sudah, ya, Kek. Sudah malam. Emen capek,” keluh Emen, sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. “Laptop Emen ditinggal sini aja nggak apa-apa. Emen masih bisa main pesbukan pakai BB. Dadah Kakek….” Emen ngeloyor pergi.

Kini tinggal Parman dan laptop. Jam sudah pukul satu dini hari. Mata Parman sedari tadi masih belum beranjak dari layar laptop. Sudah sejak empat jam lalu rupanya Parman, ayah yang tegas, dingin, dan berharga diri tinggi meski di depan darah dagingnya itu, dengan mengumpulkan segenap nyali, melawan canggung, melupakan keasingan rasa, menahan malu, mendobrak prinsip, meletakkan gengsi, merapuhkan hati, untuk pertama kalinya, berhasil membuat dirinya menulis status di dinding Facebook-nya, “Bapak juga rindu Putri.”
Diam-diam di lubuk hati Parman berharap, putrinya meninggalkan komentar di bawah tulisan statusnya.

***

AKU BARU SAJA masuk kamar dengan keletihan tingkat akut. Sudah pukul lima subuh, aku baru pulang mengedit berita-berita yang kuliput sepanjang sore dan malam untuk tayang pagi ini. Kutengok telepon genggamku. Lima belas panggilan tak terjawab. Tiga dari nomor teman, dua dari orang kantor, tiga nomor tak dikenal yang menelepon sampai delapan kali, dua yang terakhir dari nomor Bapak.

Bukan hal aneh bagiku mendapat telepon dari nomor-nomor asing sebanyak itu. Orang-orang yang haus pemberitaan terkadang dengan membabi buta sengaja menelepon untuk minta diliput. Aku periksa jam panggilan-panggilan itu.
   
“Tumben Bapak nelpon jam tiga pagi?” Aku menatap bingung, tapi boro-boro berpikir, mengganti baju saja aku sudah tak bertenaga. Kuempas badan ke atas tempat tidur sambil memejamkan mata.
Aku sudah nyaris tertidur ketika sadar. Astaga! Aku baru saja melewatkan hari ulang tahun Bapak! Tadi mau kutelepon Bapak, tapi lupa karena bangun kesiangan dan harus segera rapat di kantor. Mau kutelepon balik, takut mengganggu. Pastilah Bapak sedang terlelap. Jangan-jangan Bapak tadi tak bisa tidur gara-gara aku belum mengucapkan selamat seperti biasanya. Aku jadi merasa bersalah.

Mendadak, a-ha!
“Untung Bapak punya Facebook,” aku membatin sambil tersenyum lega. Aku benar-benar bersyukur waktu itu akun Bapak tak jadi kuhapus dari Facebook-ku. Terbayang senang dan bingungnya Bapak mendapat ucapan selamat ulang tahun pertama kali lewat Facebook.

Sambil membuka profil Facebook bapakku, aku tak berhenti senyum-senyum membayangkan bagaimana Bapak akan menjelaskan padaku revolusi apa yang telah terjadi di kepalanya.

Mau nulis apa ya, di wall Bapak?
Aku ingin melukis kata-kata terindah di hari lahir Bapak.
Tapi, tiba-tiba aku terpaku, membeku. Tanganku seketika mati. Sekujur tubuhku mendadak terasa seperti batu. Dingin, panas dalam waktu bersamaan. Jiwaku mendadak terentak, seakan terlepas dari ragaku.

Bumi tiba-tiba terasa kosong, gelap, sunyi, hampa. Napasku sesak. Air mata sudah membasahi tubuhku yang lunglai. Aku tak percaya menatap satu-satunya pesan yang ditinggalkan oleh satu-satunya teman Facebook Bapak selain aku.
Emen menulis pada pukul 04.45 lewat Blackberry:
“MeT jaLAn yA KeK. SmG aRwaH KaKEk diTriMa d! sisi AlLaH. MA’Fin EmeN gA bisa nGajaRin kaKeK fB tiaP h4ri ya Kek.”

Tepat di bawah tulisan itu,  mataku membaca satu-satunya status yang ditulis Bapak padaku. Aku pun lunglai, serasa separuh jiwa melayang mencoba mengejarnya. Tapi, yang ada tinggal Facebook Bapak.

***



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?