Duduk berimpitan di dalam gerbong kereta bawah tanah, menelusuri rel-rel besi yang dibangun untuk mengangkut penumpang ke tempat tujuan masing-masing, Andari merasakan jantungnya berdebar waswas. Aysha duduk di sebelah Andari, dengan kepala menekur, hingga dagunya nyaris bersentuh-an dengan dada. Kedua tangannya diletakkan di atas pangkuan dengan rapi.
Andari memerhatikan pemberhentian demi pemberhentian yang mereka lalui, ketika penumpang kereta satu per satu mulai mengosongkan gerbong tempat mereka berdiam diri. Setiap kali pintu kereta terbuka di salah satu pemberhentian, deru angin mendesak masuk ke dalam gerbong. Aysha menutup matanya, menahan udara dingin yang menyergap.
Mereka turun di bilangan Queens, perlahan-lahan mendaki anak tangga yang menuju ke permukaan jalan. Hari sudah lumayan gelap, lampu-lampu jalan mulai bersinar redup di tengah pekatnya malam.
Segerombol pejalan kaki menapak di atas trotoar dengan bahu membungkuk demi mengusir angin musim gugur yang berembus. Lusinan mobil terparkir di tepi jalan, ditemani meteran yang tertancap di atas kaki lima, menghitung setiap menit yang berlalu.
Aysha menarik lengan Andari dengan sigap, langkahnya tergesa-gesa menelusuri kompleks pertokoan yang sarat akan berbagai macam kedai restoran, toko kelontong, tempat penyewaan video, dan sejumlah bangunan yang tidak memiliki papan nama, ataupun warna, melainkan cuma sederetan gedung beratap rendah, yang pintunya dilindungi oleh teralis dan temboknya semarak oleh graffiti.
Wanita muda itu menggiring Andari masuk ke dalam sebuah toko kelontong, yang menjual berbagai macam keperluan rumah tangga. Lampu neon yang bertengger di langit-langit tampak sudah tidak kuat lagi memancarkan sinarnya, berkedip antara gelap dan terang, menyebabkan tegangan listrik di sekitarnya berdengung seperti suara sekumpulan lebah.
Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali timbunan perabotan usang yang dijual setengah harga pasaran. Andari menengok pada Aysha, penuh tanya.
“Lewat sini, tunjuk Aysha, membimbing Andari ke belakang counter, menghadap ke sebuah pintu.
“Tunggu, sanggah Andari, melepaskan tangannya dari genggam-an Aysha. “Toko siapa ini? Kita bisa bermasalah memasuki wilayah orang tanpa izin.
Aysha tersenyum. “Jangan khawatir. Ayo.
Di balik pintu yang tampaknya tidak mungkin menyimpan ruangan besar, ternyata masih ada koridor yang lumayan panjang, dibanjiri cahaya lampu minyak yang menempel di dinding. Andari mengikuti langkah Aysha dari belakang, menerka-nerka apa yang terdapat di ujung koridor itu: sebuah ruangan sempit tanpa jendela, yang dindingnya dihiasi oleh potongan-potongan kertas koran menyambut kedatangan mereka. Tiga meja kayu yang saling berdempetan memanjang terletak di satu sisi tembok. Di atasnya ada sebuah mesin tik usang, beberapa buku jurnal, dan lusinan kertas yang diremas menyerupai bola kasti. Di lantai, ratusan edisi koran harian yang sumbernya beragam tergeletak sembarangan.
Sebuah bohlam dua puluh lima watt terpasang di langit-langit ruangan, memancarkan sinar remang yang membuat Andari sulit menyesuaikan pandangannya. Asap rokok bertebaran di mana-mana, menyesakkan seisi ruangan seperti lapisan kabut tebal. Di salah satu sudut, Andari melihat setumpuk piring kotor yang ditemani beberapa pasang sendok garpu.
Seorang pria muda duduk di salah satu meja kayu tadi, badan membungkuk sedekat mungkin ke permukaan meja, memandangi selembar halaman surat kabar. Ia mengenakan kaus longgar dan sepasang celana jins belel yang penuh lubang.
Aysha berjingkat mendekati pemuda itu, menyergapnya dari belakang sambil menghujaninya dengan kecupan sayang. Mereka bertukar sapa dalam bahasa yang tidak dimengerti Andari.
“Siapa namamu? tanya Ahmed dengan suara serak, tanpa membalikkan tubuhnya untuk menghadap Andari.
“Andari, jawab Andari, menyesakkan kedua tangannya di dalam saku celana, enggan bersentuhan dengan benda-benda yang mengelilinginya. “Kau sendiri?
“Ini Ahmed, tukas Aysha cepat, bersandar di pundak pemuda tadi. “Ahmed, ini teman baruku, Andy.
Kontan Ahmed berbalik badan, memandangi Andari dari ujung kepala hingga kaki, disusul oleh tawa. “I see. Ahmed mengangguk, seolah menemukan sesuatu dalam diri Andari, yang bahkan Andari sendiri tidak mengetahui. “Kau mau minum? Anggur, soda, air putih?
Andari menggeleng.
“So, Andy, panggil Ahmed, beranjak dari duduknya, berdiri di samping Aysha dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Kulitnya kecokelatan, rambutnya ikal berwarna hitam. Hidungnya mancung, tulang pipinya tinggi dengan rahang menonjol. Bibirnya tipis, seperti wanita, dan pelafalan Inggris-nya kental akan aksen asing. Meski caranya berpakaian sediki
Penulis: Maggie Tiojakin