Fiction
Dua Sisi [2]

4 May 2012

<< cerita sebelumnya

Duduk dengan posisi bersila di pinggir jalan, Andari mengeluarkan telepon selulernya yang seharian tersimpan di saku celana. Tidak ada sinyal. Ia membenamkan wajahnya di balik kedua telapak tangannya yang sarat akan debu, tidak tahu harus menangis atau berteriak penuh amarah. Kepada siapa ia harus marah?

Seorang wanita yang kehilangan suami dan anaknya bersandar di dalam pelukan seorang petugas kepolisian, histeris, memanggil nama-nama yang terdengar asing bagi orang-orang di sekitarnya.

Seorang pemuda yang kehilangan saudaranya berdiri di tengah jalan dengan mulut bungkam dan tangan mengepal. Wajahnya tercoreng hitam seperti tubuhnya yang juga dibalut oleh lapisan debu dan arang. Ia menolak untuk makan ataupun minum. Menunggu kabar baik yang tak kunjung datang.

Mereka yang terluka kini terbaring di rumah sakit, dihantui oleh kehidupan mereka pagi itu, sebelum kedua pesawat komersial lepas landas dari Bandara Logan di Boston dan menerjang puncak gedung tempat mereka mencari nafkah. Jam-jam ketika mereka bangun dari tidur, berbasuh di kamar mandi, menyiapkan sarapan pagi, dan berjalan keluar dari kediaman masing-masing. Seperti biasa, mereka berkendara di dalam subway, commuter rail, atau bis umum, menikmati bacaan baru atau memadati kepala mereka dengan rencana-rencana seru untuk akhir pekan. Namun, layaknya detik waktu yang bergegas meninggalkan hari, semua itu takkan kembali.

Menjelang malam, sang presiden dijadwalkan untuk memberi pidato kepada seluruh warga negeri. Semua orang menanti dengan mata nanar di depan televisi, menunggu pemimpin mereka mengucapkan apa yang ingin mereka dengar: balas dendam.

Dalam waktu dekat, sebagai tindakan retaliasi, Amerika akan mengecam bangsa-bangsa di seberang lautan, menciptakan suasana yang jauh lebih mencekam, yang akan mengorbankan ribuan nyawa tanpa ada pertanggungjawaban. Tapi, tentunya, belum ada yang bisa memprediksikan hal ini sekarang.

Bagi mereka yang telah kehilangan sanak saudara, yang terbaring di atas dipan dengan luka sayatan dan tubuh hangus terbakar, perang adalah satu-satunya jalan keluar. Siapa yang berani melempar batu harus berani menghadap. Amerika sudah menyiapkan jenderal-jenderal, pasukan, tank, dan peluru yang terbuat dari kulit, jiwa dan raga.

“Seharusnya kita membunuh pemimpin mereka, selagi kita punya kesempatan,” kata seorang wanita setengah baya, yang berdiri tidak jauh dari Andari, berbisik pada temannya. “Ini pasti hasil sekongkolan grup teroris,” lanjutnya, dengan nada sinis.

Padahal, di sekitar mereka, luka yang bersarang di tubuh para korban masih banyak yang belum tersentuh.

Andari termangu mendengar pembicaraan itu. Matanya terpejam sebentar, mengusir lelah. Otaknya tidak mau berhenti bekerja. Terorisme bukan hal baru. Mereka bukan manusia naif. Oplah media cetak selalu melonjak setiap tahun, dan program-program televisi pun makin mendidik dengan saluran-saluran baru yang khusus terfokus pada politik dunia. Rating selalu meroket, dan dari waktu ke waktu selalu ada pembahasan lengkap tentang konflik di dalam maupun luar negeri.

Mereka orang-orang terpelajar yang sudah terbiasa dengan teori konspirasi. Darah tidak lagi membuat mereka muntah. Kekejaman tidak membuat mereka bersembunyi di balik tembok beton seperti pengecut. Mereka adalah orang-orang yang mengadvokasi kebebasan setiap insan, yang takkan tinggal diam bila diserang.

“Permisi,” sapa seorang wanita muda yang mendadak muncul di samping Andari. Perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan rambut hitam pekat dan sepasang mata lebar berbulu lentik. Caranya berbicara mengandung aksen yang belum bisa diperkirakan dari mana asalnya. “Boleh aku duduk bersamamu?” tanya wanita tersebut, yang berusia di awal dua puluhan.

“Sure,” jawab Andari singkat, seraya bergeser untuk menyisakan ruang duduk. “Maaf, tidak ada tempat yang lebih bersih,” ujar Andari, mengibaskan telapak tangannya ke atas permukaan jalan, menepis debu.

Wanita muda itu mengedikkan pundaknya, tidak keberatan. “Namaku Aysha,” katanya memperkenalkan diri.
Andari menjabat tangannya yang halus. “Andari,” balasnya.

“Aku berani bertaruh, kau bukan dari sekitar sini.”

Andari melepas senyum singkat. “Pendatang.”

“Aku juga,” Aysha ikut tersenyum. Sebentuk lesung tergores di masing-masing pipinya yang tirus. Wanita muda itu pun menatap sisa-sisa reruntuhan yang menumpuk seperti sampah. Di wajahnya tidak tersirat kengerian, atau rasa muak dan jengah akan rusaknya dunia yang mereka tinggali. Lain dari wajah-wajah yang ditemui Andari hari itu, Aysha memiliki ekspresi yang amat tenang. Seolah kejadian ini lumrah adanya.

“Tragis, ya,” ujarnya, datar.

Andari mengangguk. “Aku masih sulit memercayainya,” katanya.

“Kulihat kau terpuruk di tengah jalan pagi tadi,” tutur Aysha, menatap dengan iba. “Kau kehilangan seseorang?”
Andari menggeleng. “Untungnya tidak.”

“Dari mana asalmu?”

“Indonesia.”

“Keluargamu ada di sini?”

Andari menggeleng lagi. “Hanya aku,” jawabnya.

“Muslim?” tanya Aysha, bak seorang detektif.

Andari terkesiap mendengar pertanyaan Aysha. “Memangnya kenapa?”

“Kau pasti tahu bahwa semua ini kehendak Yang Di Atas,” tutur Aysha. Andari mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Aysha tersenyum, meregangkan tubuhnya yang ramping. “Sudah saatnya negeri ini mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya terhadap orang lain.”

Andari merinding mendengar ucapan wanita di sampingnya. Ngeri. Tidakkah dilihatnya darah segar yang masih mengalir dari luka-luka yang diderita para korban? Tidakkah didengarnya erangan mereka yang terekam jelas di telinga Andari?

“Boleh, kan kupanggil dengan sebutan Andy?” bisik Aysha.

Andari tidak menjawab. Lidahnya kelu. Ototnya kaku. Beku.


Penulis: Maggie Tiojakin


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?