Fiction
Dua Lelaki, Dua Perempuan, Dua Zaman [2]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

“Justru karena di sana segalanya terasa begitu mudah, maka aku tak bisa menikmatinya. Aku merasa tak punya tantangan yang bisa menggerakkan hatiku untuk tetap tinggal di sana. Cukup sering aku mendiskusikan ini dengan kedua orang tuaku. Aku katakan bahwa aku selalu rindu pada suasana di sini. Rindu main dakon, pasaran, gobag sodor, makan sego liwet, jajan lentho dan cabuk rambak, wis... pokoke aku selalu kangen pada semua yang ada di sini. Hal ini membuatku selalu uring-uringan di rumah dan akhirnya sering membuat Papi dan Mami jengkel. Mereka heran, mengapa aku begitu sulit untuk menyesuaikan diri dengan suasana di Jakarta.”

“Tentu saja mereka jengkel. Kamu ini kan wong Londo, lebih bisa diterima di Jakarta, di ibu kota negara, bahkan mungkin lebih bisa berkembang di sana. Lha, ini, kok, nganeh-nganehi, pengin sekolah di sini, kumpul sama anak dusun, ndeso begini.”

Mata Onie yang kecokelatan itu mendelik. Bibirnya langsung cemberut. Aku tahu, dia paling tak senang jika diungkit kelondoan-nya. Aku memang bermaksud menggodanya.

“Pras! Berapa kali aku ngomong sama kamu, jangan pernah kamu sebut- sebut soal darah yang mengalir dalam diriku ini. Aku tak suka itu. Apalagi kalau kamu berani menyangkut-pautkannya dengan sejarah bangsa ini. Lagi pula, tahu apa kamu tentang silsilah keluargaku?” sergahnya, dengan nada sengit.

Aku meringis. “Lho, silsilahmu cukup jelas, ‘kan? Semua orang di sini juga tahu, kalau kamu, Yosephine Leonie Petersen, anak gadis tunggal Tuan Hans William Petersen dan Nyonya Suzanne Seraphine Petersen. Iya, ‘kan?”

Onie melengos. Wajahnya menatap ke matahari yang hampir mencapai garis cakrawala di balik perbukitan.

“Itulah kamu, Pras. Kadang-kadang kamu terlalu naïf sekaligus menyebalkan. Kamu cuma tahu apa yang kamu lihat tanpa pernah mau berusaha menggali lebih dalam. Kamu cukup senang kalau pohon manggamu itu berbuah dan rasanya manis. Kamu tak pernah mau berpikir bagaimana agar selain manis, buahnya bisa banyak dan besar, sehingga manfaatnya juga lebih banyak. Dan, lebih menyebalkan lagi, kenapa kamu dan semua warga di sini selalu menyebut Papi dan Mami dengan panggilan Tuan dan Nyonya. Kenapa bukan Bapak atau Ibu atau saudara atau panggil saja nama mereka. Feodal banget, sih!”

Wah, wah, wah, Onie sudah sampai pada titik di mana dia tak bisa lagi diajak bercanda. Kadang-kadang aku sendiri kikuk ketika berhadapan dengannya. Dalam banyak hal, sepertinya dia justru lebih Jawa daripada aku. Selain pandai menari Jawa, Onie pun selalu menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, dengan orang yang dituakan, Onie sebisa mungkin memakai bahasa Jawa kromo, sesuatu yang sering terlupakan, bahkan olehku sendiri.

Minatnya pada segala sesuatu yang berbau Jawa memang menakjubkan. Dia mengoleksi beberapa literatur mengenai kebudayaan Jawa dan menjalin hubungan dengan beberapa kelompok peminat kebudayaan Jawa di Keraton Mangkunegaran. Keraton Mangkunegaran pernah mengundang kelompok tarinya untuk berpentas dalam sebuah acara kebudayaan. Hebatnya, sebagai tokoh Abimanyu, perannya dalam sendratari Abimanyu Gugur, mengundang pujian dan decak kagum. Aku yang ikut menyaksikan pentasnya benar-benar terkesima. Seorang dara cantik, berambut jagung, bermata cokelat memerankan Abimanyu, putra Arjuna yang tewas dengan ‘tatu arang kranjang’ (badan penuh luka) dibantai pasukan Kurawa. Ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya pada saat meregang nyawa sangat sulit untuk kulupakan.

Namun, harus kuakui pula bahwa di sisi lain darah Eropa-nya itu juga tampak dari caranya bertutur yang tegas, runut, dan juga sikapnya yang mandiri. Betapapun kami sudah kenal lama dan rumah serta sekolah kami berdekatan, sepanjang waktu itu aku hanya punya tiga kesempatan untuk memboncengkannya dengan motorku. Pertama, saat motornya pecah ban, kedua, sewaktu mengejar papinya ke Bandara Panasan karena ada surat-surat penting yang tertinggal, dan yang terakhir ketika mengantarnya ke rumah sakit karena maminya keguguran. Selebihnya, dia ke mana-mana naik motor sendiri, tidak peduli jauh, dekat, sepi, ramai, panas, atau hujan.

Sikap mandirinya (mungkin juga keras kepalanya) mencuat pula pada saat menentukan studi yang akan ditempuhnya semasa memasuki  kuliah. Dia memilih kuliah di fakultas sejarah dan antropologi, fakultas yang dianggap tidak terlalu menjanjikan kesuksesan finansial bagi para lulusannya. Padahal, nilai-nilainya di SMA sangat memadai untuk kuliah di fakultas kedokteran atau teknik sekalipun. Sekali lagi orang tuanya dibuat bingung dan kewalahan untuk menasihatinya. Bahkan, bujukan dan iming-iming kuliah di Rotterdam, Belanda,  ditampiknya dengan tegas. Papinya yang kehabisan akal memintaku untuk bicara dengannya.

“Onie, mbok, ya, kamu itu menghargai sedikit keinginan orang tuamu. Apa, sih, yang salah dengan rencana mereka? Wong nilaimu bagus, dana tersedia, masa depan dijamin, apalagi kamu akan menemukan kembali akar budayamu yang selama ini sepertinya kamu tolak. Cobalah pertimbangkan lagi rencana mereka. Siapa tahu kamu juga akan menemukan jodohmu di sana, he... he... he....” Aku terkekeh dengan kalimatku yang terakhir. Namun, bersamaan dengan rasa geli itu tiba-tiba muncul desir aneh yang melintas dan membuat diriku tercekat.

Onie seperti  biasa merapatkan bibirnya.

“Begini Pras, sahabatku, suka atau tidak, kuakui ada bagian dalam diriku yang sepertinya menjebakku untuk ditarik ke sana-sini dengan alasan darah keturunan dan kenyataan hidup yang aku alami. Orang selalu memandangku sebagai orang Eropa, yang katamu, suatu kenyataan lahiriah yang tak mungkin kupungkiri. Tapi bagiku, aku lebih mengenal Dusun Mojosongo ini daripada Rotterdam, kampung halaman Papi dan Mami. Aku lebih tahu tentang Bengawan Solo daripada Sungai Rhein, aku lebih menikmati sego liwet dengan areh daripada roti dengan keju, aku bahkan lebih bisa berbahasa Jawa daripada bahasa Belanda.

Aku memilih antropologi sebagai studiku bukan karena sok idealis, apalagi ngawur. Pras, aku ingin dalam menjalani kuliahku nanti, sekaligus aku akan dapat menentukan secara permanen di bumi mana aku akan berpijak. Kamu tahu, aku sudah membayangkan berbagai penelitian yang akan kujalani, yang selain sebagai bagian dari proses belajarku, juga sebagai cara diriku lepas secara total dari tarik-menarik dalam jiwaku.

Jadi Prasetyo, sahabatku kinasih, dukunglah aku, janganlah jadi penghalangku. Suatu saat aku akan pergi lagi ke Tawangmangu. Aku ingin meneliti legenda candi-candi di sana. Candi Cetho, Candi Sukuh, Grojogan Sewu... wow… pasti sangat menyenangkan. Aku juga akan ke Bromo, aku ingin bergaul dengan masyarakat Hindu Tengger, juga ke Trowulan, lalu Blambangan, menjejaki sisa-sisa laskar Majapahit. Bukankah itu sangat menantang? Pras, ayolah, dukung aku, ya?”
Aku tak bisa bicara lagi.

Malam ini aku menghabiskan butir kacang goreng yang terakhir. Pesanan kami sudah datang. Tanpa banyak bicara aku langsung menusuk beberapa potong kikil bakar dan menyantapnya. Nyyuss, rasa gurih, aroma bakar, dan tekstur daging yang kenyal membuat lidahku menari sejenak. Aku menyeruput minumanku dan menggelontor kerongkonganku dengan aroma kopi dan jahe. Rasa hangat meremang di sekujur tubuhku.

Onie masih diam. Dia belum menyentuh pesanannya. Hari ini sesuatu telah terjadi dan itulah yang membawa kami berkelana seperti burung yang gelisah karena kehilangan dahan pijakan.


Penulis: Fadjar Tri Prasetyo


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?