Fiction
Dua Asa di Bumi Papua [9]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Kirana

Sabtu pagi ini aku ikut menumpang mobil keuskupan yang akan turun ke Jayapura untuk sebuah keperluan. Karena ada Yosefa yang bisa kubuntuti, maka kesempatan ini tidak kulewatkan. Tanpa mendapat tumpangan, perjalanan ke ibu kota sejauh kurang lebih seratus lima puluh kilometer membutuhkan biaya ratusan ribu rupiah naik mobil gardan ganda.

Jalan bertanah keras sepanjang puluhan kilo membuat tubuh penumpang terguncang-guncang, meski jok mobil cukup meredam. Aku dan Yosefa duduk di kursi paling belakang, bersama seorang pengajar sekolah menengah pertama milik yayasan. Di tengah diisi keluarga Pak Jonas yang membawa serta putri kecilnya.

Posisi dudukku persis di atas ban, sehingga guncangan kecil saja langsung terasa. Tapi, aku juga bisa menikmati pemandangan hutan-hutan yang, meskipun tak lagi lebat, cukup rimbun. Berkendara terasa nyaman saat mobil memasuki wilayah distrik Arso yang sudah beraspal mulus.

Melewati pertigaan Arso II, suasana cukup ramai. Mama-mama berjualan di pertigaan tempat ojek mangkal. Beberapa orang penduduk sedang menikmati waktu di warung kopi, sekaligus menunggu taksi. Sekelompok anak kecil bergaya dengan sepeda masing-masing di pinggir jalan. Andalan! Aku teringat kalimat khas murid-murid di kelas jika ada sesuatu yang bisa dibanggakan.

Hampir tiga jam perjalanan melewati hutan, semak dan lahan terbuka. Kini mobil memasuki jalan yang diapit tebing batuan yang cukup tinggi di sisi kiri, dan pemandangan terbuka ke arah Teluk Yos Sudarso di sisi kanan. Warna biru permukaannya cemerlang, dengan aksen daratan hijau meliuk-liuk membentuk fraktal alam, aku membayangkan pantai California di seberang sana yang akan menjadi tempat terdamparnya botol berisi surat jika kulemparkan dari sini. Dengan syarat, si botol mampu bergerak dalam garis lurus ke arah timur laut mengarungi Samudra Pasifik yang mahaluas.

Ide-ide khayali semacam ini hanya Dias yang menanggapi dengan antusias. Bahkan, ia pernah berpikir, mungkin sekali air yang pernah diminumnya di Surabaya ketika ia kecil, pernah terminum olehku di Banjarmasin saat remaja. Persis sama denganku yang juga berpikir serupa, karena berangkat dari fakta bahwa air di seluruh bumi ini melewati siklus yang berulang.

Air yang melewati seseorang, juga pasti pernah melewati tubuh musuh besarnya. Entah berapa tetes, ember, atau molekul. Jadi, mestinya tidak akan ada permusuhan, perang atau kebencian, jika semua orang berpikir tentang unsur-unsur dan senyawa yang kita bagi bersama di dunia ini. Itulah, salah satu mengapa Dias dan aku menemukan kecocokan. Tapi....

“Su hampir sampai kita,” ucap Yosefa.

Yosefa turun di Abepura. Aku turut Yosefa menginap di salah satu rumah saudaranya, jadi aku akan membebek ke mana-mana, yang penting bisa menikmati Kota Jayapura. Katanya, pemandangan malam hari di kota itu sangat cantik, juga ada warung-warung ikan bakar enak milik pedagang Bugis di sepanjang pelabuhan. “Juga nanti mama tuaku akan memasak ikan kuah kuning terlezat untuk kita,” ujar Yosefa. “Kepalanya boleh untuk ko seorang, Ki.”

Aku tertawa malu.

Rumah kerabat Yosefa berada di tepi lapangan bola, pepohonan rindang sepanjang jalan menghalangi sinar terik matahari. Belum tengah hari, tapi rasanya matahari seperti memanggang kepala. Di sisi barat, tampak bukit hijau menjulang yang ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon perdu.

“Ini Kirana, Matua. Relawan pengajar di sekolah yang sa ceritakan itu,” ujar Yosefa, memperkenalkan pada tuan rumah, seorang guru taman kanak-kanak berpengalaman. Dari cerita Yosefa, aku tahu bahwa mereka keluarga terpelajar. Putri bungsunya kuliah di Jepang, mendapatkan beasiswa. Putri sulungnya sebentar lagi lulus dari Universitas Cenderawasih.

Aku mengangguk sambil mengulurkan tangan. Ibu itu berbadan tinggi besar, berambut keriting, bermata ramah. “Betahkah tinggal di Waris? Sering-sering saja main ke sini, menginaplah. Mau lamakah tinggal di Papua?”

“Untuk program pertama enam bulan. Tapi, diperpanjang hingga dua tahun. Dan saya ingin terus di sini, jika keadaannya mungkin.”

“Wah, sungguh?” Bu Bonay bertanya antusias. “Mengapa e sepertinya nona ini tertarik dengan Papua?”

“Saya dari dulu bercita-cita mengajar di Papua. Tapi, tidak pernah dipikirkan serius. Eh, kemarin tiba-tiba ada kesempatan. Sebelumnya saya banyak membaca di internet tentang situasi pendidikan di sini.”

“Nona harus bertemu sa pu keponakan kalau begitu.”

“Siapa?” kali ini Yosefa yang bertanya.

“Niko. Ko juga belum pernah ketemu.”

“Nicholas Rumainum-kah? Bukannya dong tinggal di Bandung?”

Kemudian aku mendengar tentang sosok Niko itu dari cerita si ibu. Ayah dan ibunya orang terpelajar, keduanya dosen perguruan tinggi di Bandung. Kakeknya yang berasal dari Biak merupakan generasi pertama yang menempuh pendidikan ke Pulau Jawa.

Sebenarnya, ia seperempat Papua, sisanya campuran. Mengambil kuliah teknik sipil, tapi waktunya sebagian besar habis untuk demo jalanan juga di ruang-ruang diskusi. Terakhir minat besarnya adalah menggerakkan generasi muda Papua di bagian bumi mana pun untuk bersatu merawat tanah tumpah darah mereka dengan memanfaatkan jaringan internet. Ia sendiri telah memutuskan akan berada di barisan depan, bergerak langsung di jantung tanah Mutiara Hitam. Aku tahu, keinginan, keahlian, dan kesempatan yang aku punya berjodoh dengan cita-cita anak muda bernama Nicholas itu. Mungkin aku bisa menawarkan diri untuk mengelola komunitas berbasis web. Tapi, hari itu Niko sedang berkunjung ke Sarmi bersama suami Bu Bonay. Besok mereka kembali.

Aku sempat mengirim SMS kepada Dias soal Niko, tapi tak kunjung ada jawaban. Mungkin sedang sibuk sahabat baikku itu. Beberapa kali aku SMS Dias, tetap tak ada jawaban. Ah, mengesalkan. Ketika kutelepon, nadanya aktif, tapi tidak diangkat. Padahal, mumpung ada sinyal, harusnya komunikasi lebih lancar. Tidak tahukah dia, aku kangen bercerita dengannya? Pikiran tentang Dias terlupakan waktu kami bertiga jalan-jalan ke Kota Jayapura. Makan ikan bakar di tepi laut, melihat kerlap-kerlip lampu kapal yang sedang berlabuh.

Menjelang tidur aku hubungi lagi nomor Dias. Malah sekarang mati. Kucoba nomor yang lain, ah, ketiganya juga mati. Tentu aku panik dan bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Tapi… mungkin saja Dias sedang dalam perjalanan ke Jayapura, itu satu-satunya dugaan optimistis tentang matinya ketiga nomor Dias. Meski Dias bukan tipe orang yang suka memberi kejutan. Kemungkinan lain, ia telah kecopetan dan sang pencuri mencopoti semua kartunya untuk menghilangkan jejak.

Kasur yang kutiduri di rumah keluarga Bonay rasanya yang paling nyaman selama aku di Papua. Tapi, tidurku tidak nyenyak. Sekitar pukul satu telepon berbunyi. Di tengah tidur, dering ponsel sontak membuatku terjaga. Nama Dias di layar.

“Ki...  lagi tidur, ya?”

“Sudah bangun.”

“Maksudnya terbangun?”

“Hmm….”

“Marah, ya, SMS dan teleponmu nggak kurespons?”

“Enggak.”

“Dari nadanya iya.”

“Baru bangun tidur.”

“Iya, deh. Kamu tahu kan Ki... aku ini sulit menyimpan rahasia, daripada jadinya bocor, ya, sudah mending aku diemin. Tapi, aku nggak tahan lama-lama menahan diri.”

“Hmm, tunggu Dias… kamu mau kasih aku kejutan? Kamu ada di bandara, ‘kan? Masih di Cengkareng atau sudah di Sentani?”

“Enggak keduanya, Ki.”

“Jadi, kejutan apa kalau bukan kamu datang ke sini?”

“Ya, aku ke situ. Ini lagi transit di Makassar.”

“Tapi, aku besok sudah kembali ke Waris.”

“Ya, aku cuti lima hari. Mau mencicipi paket jejak petualang ala Kirana.”

“Tapi, di sana pedalaman. Kamu akan terisolasi dari dunia luar.”

“Ya, paham.... Eh, aku harus segera boarding, nih. Ponsel kumatikan dulu, ya. Sampai ketemu nanti pagi, pukul tujuh waktu Indonesia Timur, Ki... Jangan lupa! Bye.”

Aku belum pernah merasakan malam seterang sekarang. Menerima kunjungan Dias setelah terpisah jarak dan keadaan adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Selain ongkos ke sini yang cukup mahal, Dias jarang sekali berlaku impulsif tanpa peduli pertimbangan ini-itu. Sekadar kangen? Lari dari masalah besar? Misterius! Besok akan kuinterogasi dia! Aduh, meski setengah mati dibuat penasaran, aku senang minta ampun. Juga membayangkan rencanaku dengan orang bernama Niko, menjadi gairah tersendiri. Semesta sedang berbaik hati, mempertemukanku dengan sebuah kebetulan yang bisa memperpanjang waktuku di Papua. Bahkan, rasanya aku tidak keberatan, jika suatu saat nanti tulang belulangku menyatu dengan tanah ini. Ada sihir yang tak kumengerti padanya, cintakah itu?

Ya, cinta yang mendesak hasrat agar menjadi bagian dari yang dicintai. Tetapi, pada Dias, Diasti, cinta itu adalah sepasang sayap yang membiarkannya bebas terbang.


Penulis:  Vitalies Melinda
Pemenang penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2009


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?