Fiction
Dua Asa di Bumi Papua [8]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Ning

Dari Lukas, aku dapat kabar tentang Intan, salah seorang bekas teman kerjaku di pub dulu, dikirim dari hutan pedalaman di Asgon ke Timika. Ia sekarang ada di Yayasan Santo Antonius. Aku tahu, Intan dulu gula-gula Lukas. Sekarang, setelah tahu Intan ada di yayasan, ia berkata tidak ingin menemui wanita itu lagi. “Nanti sa tertular moo.  Biar sa sudah dapat resep penangkal penyakit itu, sa harus berhati-hati, bukan?”

Aku termangu mendengar ucapannya. Lukas bercerita, Intan bertahan selama enam bulan di pedalaman mengejar rezeki gaharu. Ya, aku sudah hafal kisah serupa itu. Wanita seperti kami menjadi barter menarik bagi bapak-bapak penduduk asli yang mengumpulkan gaharu. Dimulai dengan perjalanan berat menaiki kapal long boat menyusuri sungai berarus deras selama berhari-hari. Tiba di permukiman Waganu menunggu gaharu diantar, ditukar dengan beberapa malam, tergantung pada berat dan kelasnya. Gaharu kelas satu, bisa bernilai sepuluh juta per kilogram, bisa menghasilkan malam sangat panjang hingga seminggu penuh.

Ketika gaharu makin langka, pengusaha menyuruh wanita asuhannya masuk ke hutan untuk menjemput para pencari gaharu. Tujuannya, mengumpulkan gaharu sebanyak mungkin, mengeruk uang sebanyak-banyaknya. Di hutan, dengan kondisi yang sulit, banyak yang jatuh sakit. Obat-obatan antibiotik tidak akan mempan. Jika hanya sakit biasa, masih ada harapan sembuh. Tapi, jika sudah terkena virus kutukan itu, seperti Intan, kurasa dunia seakan runtuh. Aku tidak berharap kejadian itu menimpaku. Sudah kuusahakan untuk selalu merayu tamu-tamuku mengenakan pelindung, meski satu dua tamu selalu ada yang bandel. Artinya, tidak berarti aku aman seratus persen. Tidak.

“Jangan sampai ko bernasib sama sampai harus pergi ke pedalaman,” ujar Lukas.

Aku terharu oleh perhatiannya. Jika saja kalimat itu diucapkan kakakku…. “Jika terus terdesak oleh nona-nona muda, segar, dan cantik, ke mana lagi nasibku hanyut, Pace?” ujarku, sambil tersenyum.

“Ah, jangan ko pikirkan itu. Bekerjalah sebaik-baiknya, dan jangan ko hambur-hamburkan uang pendapatanmu.”

“Tetap tidak cukup juga.” Lalu aku mengeluh utang yang harus kubayar dan keinginanku menabung untuk bekal. “Aku mau bekerja sangat keras supaya aku tidak perlu lama di sini. Lalu pulang ke Jawa.”

“Ko mau apa di Jawa?”

“Membuka salon atau warung sembako.”

“Ah, apa hasilnya akan cukupkah?”

“Tidak apa-apa jika hasilnya sedikit. Yang penting aku bisa hidup tenang dan tenteram.”

Lukas tertawa. “Apa itu hidup tenang dan tenteram?”

Aku memandangnya heran. “Kau tidak tahu?”

“Yaaa... kalau mau tenang dan tenteram itu di kuburan. Selama ko hidup, pastilah harus bersusah payah mencari uang. Buat makan, bukan obat kalau ko sakit. Benar kan sa pu pendapat?”

Kata-kata Lukas terdengar kejam di telingaku. Masa untuk hidup tenang dan tenteram  tidak bisa diperoleh di dunia! Lukas tertawa makin keras menanggapi protesku. Lalu ia bertanya, apa rencanaku agar tujuan hidup tenang dan tenteram itu tercapai. Meskipun aku dongkol karena ia mengolok-olokku sedemikian rupa, kujelaskan, kalau bisa paling lama aku akan tinggal di Timika selama enam bulan saja. Jadi, aku harus memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya selama enam bulan itu. Aku harus segera pulang ke Jawa membawa bekal cukup, jangan sampai malah tersingkir ke pedalaman.  Amit-amit!

“Dengan bekerja seperti ini, kurasa sulit sekali, Devi. Paling tidak ko butuh dua tahun untuk menabung sampai ko pu modal itu cukup. Itu sudah.”

Kusangga dagu dengan kedua tanganku. “Lalu aku harus apa, Pace?”

“Ko tadi bilang mau bekerja apa saja, bukan?”

“Ya. Apa saja.”

“Begini,” ujar Lukas, dengan gaya serius.

“Ko selama ini mencegat para meno di dekat pasar Swadaya sewaktu mereka turun untuk menukar emas, ‘kan? Di kota, sainganmu banyak.”

“Kau suruh aku ke hutan gaharu? Di sana juga saingan banyak, nyamuk malaria pun tidak kalah banyak.”

“Ah, ko dengar dululah sa bicara,” ujar Lukas. “Kalau ko benar-benar mau mengumpulkan banyak uang, mengapa tidak kau langsung datangi saja tempat mereka menambang?”

“Ke Sungai Ajkwa?”

Lukas mengangguk. Aku membelalakkan mata mendengar usulannya. Aku membayangkan diriku bagaikan perawan di sarang penyamun, jika memasuki kawasan penambang emas sisa limbah pabrik raksasa di pucuk Gunung Grasberg itu.

“Ko harus naik ke atas, bisa ke Arwanob atau Banti, karena di sana lebih dekat dengan pabrik. Penambang di atas mendapat emas lebih banyak.”

“Gimana cara aku ke sana? Sendirian jelas tidak mungkin.”

“Apa gunanya ko kenal pace Kamoro, heh?”

“Kau mau mengantarku, Lukas?”

Lukas menyeringai. “Ada hitungannya, Devi. Anggap saja sa ini manajermu.”

Aku mendelikkan mata padanya. Lukas memperlihatkan giginya yang kemerahan oleh sirih pinang. Ia mengangkat kedua telapak tangannya di depan wajahku. “Tenang, Devi. Aku tidak akan mengisap uangmu seperti bos-bos itu.”

“Lalu apa?” Aku menangkap isyarat licik pada wajahnya.

“Ah, ko ini tidak percaya sa pu usul rupanya. Padahal, kita sudah kenal bertahun-tahun. Tidak mungkin sa ada niat jahat padamu.”

Aku mengalihkan tatapan Lukas. Mataku memandangi foto seorang pemain sinetron tampan yang ada di lembaran kalender di dinding kamar. Lalu kutatap  lagi Lukas yang sedang bersila di hadapanku.

“Jadi, bagaimana perjanjian tong pu bisnis kali ini?”

Lukas tertawa sebelum menjawab. “Sa senang berurusan denganmu. Ini uji coba. Kalau berhasil, sa bisa ambil nona-nona lain, bukan? Ah, mengapa juga tidak sejak dulu sa pikirkan? Ko ini memberi ide untuk menjemput langsung ke penambangan. Sa pikir tra ada wanita yang mau repot-repot turun sampai sana. Selama ini cukup menunggu di kota saja. Tapi, ko memang selalu lain, Devi.”

Selalu lain? Lukas mengada-ada. Kurasa kata-kata selalu lain itu ditujukan padaku karena beberapa hari lalu Lukas menemukan sebuah buku cukup tebal di antara tumpukan barang-barangku. Kuberi tahu, buku itu bukan milikku, tapi kutemukan di toilet Bandara Sentani. Belum kubaca karena aku tidak suka membaca. Lukas bertanya, jadi untuk apa aku pungut buku itu. Kubilang, aku tidak tahu. Tapi, kalau dibuang, aku merasa berdosa, ia boleh mengambilnya jika mau. Lukas tertawa keras. Ia sempat membuka-buka sebentar. Seperti aku, ia juga merasa tidak tertarik. Menurut Lukas, aku ini aneh, memungut benda yang tidak bisa digunakan.

“Kau memang lain,” ujarnya.

“Lain apanya?”

“Hanya ko yang paling keras memaksa tamu mengenakan pelindung.”

Aku tertawa kecil. Ternyata, itu maksud kata ‘lain’. “Kalau tidak begitu, aku bisa kena. Lagi pula, aku tidak memaksa. Masa merayu disamakan dengan memaksa?”

“Ah, ko pandai putar lidah sudah,” ujar Lukas.


Penulis: Vitalies Melinda
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2009


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?