Fiction
Dua Asa di Bumi Papua [2]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Ning

Kulihat bercak lembap di celana dalamku. Ah, barangkali karena mau datang bulan, pikirku menghalau kecemasan yang kembali menyerangku. Nanti periksakan ke klinik sebelum pekerjaan dimulai, perintahku pada diri sendiri. Bagaimana jika diketahui teman-teman? Lalu mereka menyebarkan berita yang tidak-tidak. Aku benci benar dengan gerombolan penggosip di kanan-kiri. Mengapa mereka tidak mengurus dirinya saja, tidak usah memedulikan orang lain.

Aku buru-buru menyudahi urusan kebeletku. Setelah merapatkan ritsleting celana jeans, aku keluar toilet. Dengan pikiran berkecamuk, kulihat wajahku di cermin. Sepasang mata lelah dan asing menatapku tajam. Lalu wajah di dalam cermin itu tampak berkedip, memejam dan menarik napas panjang. Kedua sudutnya basah. Kuseka dengan ujung jari dan telunjuk. Sesaat kemudian sorot matanya nanar, siap menantang apa pun yang berada di hadapannya. Lihat, ia seorang penakluk, bisikku seolah bergema dalam tulang dada.

Di dalam cermin sekelebat kulihat diriku menempuh ribuan kilo, dari Karawang ke Bandara Cengkareng, menumpang pesawat kelas ekonomi menjelang tengah malam. Kulihat jelas bayangan rumah yang kutinggalkan, jalanan tanah di tengah hamparan sawah, lampu-lampu mobil yang dipacu sepanjang jalan tol, kemudian tampak deretan kamar di belakang bar, ingar- bingar lagu-lagu dan lelehan keringat di leher tamu.

Kulihat orang di dalam cermin itu menghela napas. Lalu memutuskan untuk keluar dari toilet.

Namun, mataku menumbuk bayangan tas kertas di cermin bagian bawah. Ragu-ragu, kuulurkan tangan, menguak isinya: sebuah buku cukup tebal, sebotol air mineral, dan dua bungkus roti. Seingatku, tadi waktu masuk tidak ada benda itu. Pasti milik seseorang yang tadi tersenyum canggung kepadaku.

Beberapa orang masuk ke toilet. Aku lekas menyingkir sambil meraih tas jinjing kertas itu. Orangnya mungkin masih berada di seputar bandara, pikirku. Aku menyeleksi puluhan orang di dekat pintu masuk sambil mengandalkan ingatan yang seadanya untuk mencocokkan. Seperti apa, ya, orang tadi? Seingatku ia memakai baju hangat berlengan panjang. Kalau bukan merah darah, warnanya mungkin cokelat gelap. Tingginya tidak beda jauh denganku. Berambut lurus, ya! Tapi, tak ingat apakah kulitnya sawo matang atau kuning langsat. Tidak kutemukan juga setelah aku mondar-mandir menyerupai setrikaan dari ujung selasar timur ke barat. Ibarat mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami, pikirku mengingat peribahasa yang diajarkan sewaktu SMP. Lalu kuapakan barang-barang ini? Aku tak memerlukannya. Baca buku? Wah, gaya si Devi sekarang. Makan apa di Jawa sampai jadi doyan baca? Kubayangkan gosip gerombolan menyebalkan itu dengan cekikikan bak kuntilanak kebelet melahirkan.

Aku duduk di kursi kayu. Kembali kuperiksa isi tas. Botol mineral masih tersegel. Mudah-mudahan jadi barang halal kalau kuminum, toh, harganya tidak seberapa. Kubaca tulisan di bungkus plastik roti. Hot chicken floss. Aku tahu, chicken artinya ayam. Sepertinya merujuk pada abon yang menyelimuti permukaan roti. Hot artinya panas. Mungkin cocoknya dimakan selagi panas. Floss aku tidak tahu apa. Enakkah jika dimakan dingin?

Kubuka bungkusan roti dan menggigitnya pelan-pelan. Campuran rasa pedas, asin, dan samar-samar asam mengiringi kelezatan roti pilihan dan gurihnya abon ayam. Menghemat sarapan, pikirku senang. Aku kemudian baru teringat kalau pernah memakan roti serupa oleh-oleh Philip, satpam di Kuala Kencana. Kukunyah roti sambil melihat sekeliling. Sekarang aku benar-benar tidak berharap menemukan pemilik tas. Aku pasti akan dipergoki sebagai pencuri karena telah memakan rotinya. Tetapi sungguh, aku berniat untuk mengembalikan kepada yang punya. Bukankah tadi aku sudah mondar-mandir mencari?

Kulihat serombongan orang melintasi jalan menuju tempat parkir. Menjelang batas area parkir, seseorang membuka topi kuncungan yang dipakainya. Ia memakai bandana merah. Aku tersedak. Baru teringat bandana merah yang dikenakan orang yang berpapasan denganku di toilet tadi. Sisa roti tersangkut di kerongkongan, menyebabkan aku terbatuk-batuk. Lekas kuambil botol minum yang mendadak susah dibuka. Sialan, orang-orang banyak yang memperhatikanku, tapi tidak ada yang memberi bantuan. Setelah batukku reda, kuminum air banyak-banyak. Beginilah akibat makan barang tak halal, sergahku membatin.

Mau dikejar ke tempat parkir, Ning? Aku menimbang-nimbang. Roti dan air minumnya sudah tak utuh. Kuintip lagi isi tas. Tinggal buku. Aku tak tahu buku apa dan tidak berniat untuk tahu. Ah, hanya sebuah buku. Pasti bisa dibeli lagi, daripada aku malu menyerahkan isi tas yang berkurang dibanding semula.

Aku membiarkan orang itu berlalu dalam mobil bersama rombongannya. Lalu, kuapakan buku ini? Kemudian rasa sesal tidak menyerahkan kepada pemiliknya menguasaiku. Ah, bodoh. Ini kan hanya kertas. Kusimpan saja di kursi agar ditemukan orang lain. Tapi, pikiranku berubah kemudian. Baiklah, karena aku merasa tidak enak hati telah membiarkan dengan sengaja tas ini tidak kembali kepada pemiliknya, aku harus membuat buku ini bermanfaat. Yang pasti bukan untukku. Siapa tahu aku menemukan orang yang tepat untuk diberi buku ini. Siapa tahu.

Ha…ha…ha…. Aku tergelak sendiri dalam hati. Ee, ada apa kau Ning, kok, sekarang bisa-bisanya memikirkan buku? Kerasukan roh baik ‘kali. Syukur-syukur kalau kemudian dihampiri nasib baik. Mudah-mudahan, dalam kedatanganku kali ini rencanaku akan lancar. Bekerja di Timika setahun, menabung yang banyak, uangnya harus cukup jadi sawah barang beberapa petak, juga untuk membeli angkutan pedesaan, kalau bisa lebih dari satu. Sebetulnya aku sudah tidak berniat kembali ke tanah Papua. Tetapi, nasib membawaku kembali. Seperti kubilang tadi, mudah-mudahan kali ini nasib baik.


Penulis: Vitalies Melinda
Pemenang penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2009


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?