Fiction
Dongeng Kunang-Kunang [2]

1 Jul 2011

<< cerita selanjutnya

Ayah sedang berpikir, mungkinkah mengikat serangga itu sehingga membentuk bola kecil, lalu menggantungnya di dahan cemara yang akan menjadi pohon Natal kita nanti?

Wow, akan menjadikan pohon Natal yang ajaib! seruku, takjub. Tapi, tak boleh, itu akan menyiksa dan merampas kebebasan mereka.

“Apa kau tahu, selalu menyenangkan melihatmu begitu gembira kala bermain-main dengan serangga cahaya itu. Rasanya Ayah ingin kau menjadi anak kecil lagi.

Aku tertawa, setuju dengan keinginan Ayah. Ya, kalau aku menjadi anak kecil kembali, maka hari-hariku bersama Bunda juga akan kembali. Akan kumiliki lagi ayah-bundaku seutuhnya.

Sebuah keinginan yang mustahil. Waktu adalah sesuatu yang tak terhentikan dan tak terlawan oleh upaya apa pun juga. Segala sesuatu akan terhanyut dalam arus waktu, dengan atau tanpa keinginan.

Lalu kususupkan diri lebih dalam pada pelukan Ayah. Pelukan Ayah tetap hangat, meski tak terhindarkan ada yang merapuh dalam pelukan itu. Lengan dan punggungnya tak lagi setegap dahulu. Namun, di atas semua itu, Ayah tetap menjadi Ayah terbaik bagiku. Seseorang yang akan kumiliki selamanya.

“Besok Ayah berangkat, kata Ayah, perlahan.

“Besok? kulepaskan pelukan, lalu beralih meneliti kalender. Bulan genap, tanggal pertengahan. Itu jadwal rutin Ayah mengunjungi sebuah kota di perbatasan provinsi. Bagian dari pekerjaan, tugas kantor yang telah dilakukannya bertahun-tahun.

“Mengapa Ayah masih melakukan tugas itu? aku merajuk. Ini hari-hari menjelang Natal, tidakkah sebaiknya berada di rumah?

Ah, Ayah sudah akan kembali sebelum Natal itu. Tak mungkin membiarkanmu sendirian di malam kudus.

Sudah saatnya tugas itu didelegasikan pada staf yang lebih muda.

“Tidak mudah memilih seseorang yang tepat. Ayah mengusap-usap punggungku, gerakan yang selalu mengalirkan rasa hangat di dalam diriku. Hangat yang menenangkan.

“Tapi, bukan berarti tidak ada. Kurasa Ayah terlalu memaksakan diri untuk melakuan tugas itu. Bunda pasti akan setuju denganku tentang hal ini.

“Belum tentu. Barangkali justru Bunda akan senang, dan segera membantu Ayah mengemas pakaian.

“Mustahil! bantahku. “Bunda adalah seseorang yang penuh dengan kekhawatiran tentang orang lain. Dulu, kalau aku bermain di kebun, Bunda cemas nyamuk-nyamuk akan menggigitku. Nah, dengan usia Ayah sekarang ini, kupastikan Bunda tidak akan setuju Ayah masih melakukan tugas kunjungan ke kota itu.

“Kau yakin? Ayah negosiator yang baik, kumiliki banyak strategi untuk memadukan beberapa keinginan yang berlawanan.

“Tapi, Ayah, ini sesuatu yang berkaitan dengan usia, sebuah faktor yang mengisyaratkan keterbatasan yang tidak bisa dinegosiasi.

“Benar, Nak, kita tidak bisa melawan usia. Tetapi kukira, ayahmu ini belumlah terlalu uzur, belum 60 tahun usiaku. Masih banyak hal bisa kulakukan. Kukira aku masih tegap, sehat dan… gagah. Apakah aku tampak terlalu tua bagimu? Atau kau ingin buru-buru memasukkan ayahmu ini ke panti jompo?

“Ih, Ayah! Kuberikan cubitan lunak pada lengannya. “Tentu bukan itu maksudku. Aku hanya mau Ayah lebih banyak beristirahat. Perusahaan kita itu sudah beroperasi sejak lama, tata pelaksanaan tiap bagian sudah mapan. Ayah cukup melakukan tugas-tugas pengawasan saja, tanpa perlu mengampu tugas kunjungan ke pelanggan, apalagi luar kota.

“Tapi, Nak….

“Kota itu jauh, Ayah. Di perbatasan provinsi. Jalan menuju ke sana juga tidak bagus, banyak yang rusak. Bukan karena berbahaya, melainkan akan sangat melelahkan dan itu pengaruh buruk untuk kesehatan, bantahku panjang.

Ayah menatapku. “Kau mewarisi kekhawatiran bundamu.

“Lagi pula, apa menariknya kota itu? Sudah kecil, jauh pula.

“Kau keliru. Kota itu justru sangat potensial. Dia adalah sebuah sentra. Produktivitasnya sangat tinggi, meskipun sistem pengelolaannya cenderung tradisional. Nah, para pemilik perusahaan itu mengelola usahanya turun- temurun, dari generasi ke generasi berikutnya terjun langsung pada pabrik masing-masing. Mereka adalah pelanggan lama perusahaan kita. Hubungan antara kami lebih dari sekadar bisnis belaka, lebih berunsur kekeluargaan.

“Justru karena hubungan baik itu, maka mereka akan tetap menjadi pelanggan, meskipun bukan Ayah petugas penjualnya.

“Kau kira kita tidak punya pesaing di sana? Salah besar, Nak. Banyak perusahaan ibu kota mengirim tenaga penjualannya ke kota itu, berbekal berbagai fasilitas dan strategi pemasaran mutakhir. Sungguh tak mudah menghadapi pesaing kuat semacam itu. Tapi, setiap perdagangan atau bisnis memiliki seni dan tantangan tersendiri. Maka, di situlah kupergunakan hubungan baik sebagai sebuah seni untuk menjaga supaya usaha dagang antara kami terjalin, tanpa saling merugikan, apalagi melukai. Bagi mereka, kunjungan Ayah bukanlah kunjungan dagang semata-mata, melainkan demi terjalinnya persahabatan dan hubungan baik. Karena itulah, mereka tetap menjadi pelanggan kita, meski tawaran perusahaan lain lebih menguntungkan. Itu semua adalah demi rasa saling menghargai, maka demikianlah sebuah relasi bisa terus dipertahankan.”

Aku tercenung. Penjelasan Ayah membawaku pada sesuatu pemahaman yang selama ini tidak kumengerti.

“Kau masih muda. Masih sangat pemula menjalani sebuah bidang usaha. Hal-hal semacam itu barangkali tidak mudah kau mengerti. Tapi bersabarlah, makin jauh kau melangkah, akan makin banyak yang kau pahami nanti.”

“Sebuah proses belajar sembari berjalan?”

“Begitulah.”

“Selama Ayah mendampingi dan mengarahkan, tentu akan kupelajari banyak hal. Aku tidak akan khawatir.”

“Ya, semoga bisa kulakukan pendampingan itu untukmu. Kau tahu, kau selalu menjadi yang terutama bagiku. Mutiaraku selalu.”

“Ya, Ayah, terima kasih,” dan kupeluk Ayah erat-erat. Satu-satunya seseorang yang kumiliki. Ayahku, sekaligus ibu, guru dan sahabat bagiku. Begitu pula aku bagi ayahku. Akulah mutiara tunggalnya, selamanya.

Keberangkatan Ayah

Pagi yang bercahaya.
Aku terlambat bangun pagi itu. Saat mataku terbuka, cahaya telah benderang menerangi seluruh kamar. Matahari telah tinggi.

Aku segera melompat, memburu sesuatu yang barangkali telah meninggalkan aku. Itu adalah keberangkatan Ayah.

Setiap kali menuju ke kota di perbatasan itu, Ayah selalu berangkat pagi-pagi sekali, didampingi seorang sopir. Demikianlah yang terjadi berulang selama bertahun-tahun.

Kubuka pintu dengan cepat, sembari cemas memenuhi benak, khawatir Ayah telah berangkat. Aku tidak ingin melewatkan keberangkatan Ayah, ke mana pun beliau pergi. Aku selalu mengantarkan setiap keberangkatannya, meski setiap kali harus menahan ada yang berat di hati. Sesuatu yang sedih, sesuatu yang memunculkan rasa jauh, rasa khas sebuah kehilangan, perasaan ditinggalkan. Itu semua adalah perasaan-perasaan yang tak terhindarkan dalam setiap perpisahan.

Selama ini aku tidak pernah terlambat. Selalu kupersiapkan keberangkatan ayahku dengan rapi. Entah apa yang terjadi padaku semalam sehingga sedemikian pulas tidurku.

Pintu terbuka. Kulihat Ayah di beranda samping membaca koran.

“Ayah, aku terlambat bangun,” seruku lega, menepis cemas yang menguasai.

Ayah tersenyum dan meraihku duduk di pangkuannya.

“Tidak apa-apa, Ayah bisa menunggu.”

“Mengapa tidak membangunkanku?”

“Ha, siapa sanggup mengusik tidur sepulas itu? Ayah lebih memilih untuk menunggu.”

“Bunda selalu sanggup melakukannya,” kataku, tersipu.

“Itu karena dia tidak ingin kau melewatkan masa sekolahmu yang berharga,” gumam Ayah, lembut.

Lalu kami terdiam. Seakan terdatangi oleh sebuah kenangan yang serupa, kenangan tentang Bunda, tentang hari-hari yang pernah kami jalani bertiga, tidak hanya berdua seperti sekarang ini.


Penulis: Sanie B. Kuncoro




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?