Fiction
Di Jantung Borneo [1]

25 Jul 2014


DATANGLAH burung-burung punai. Kemari. Kembali ke sarangmu. Lihatlah angin sudah sangat kencang dan akan segera menyulitkan kepakan sayapmu. Datanglah sewaktu semburat di petala langit itu masih sewarna tembaga. Jangan tunggu menjadi kelam. Sebab kau bisa kehilangan arah. Malam akan sangat jahat untuk spesies kalian. Datanglah. Pilihlah pohon mana yang kau suka untuk bersarang. Kalian pasti sudah teramat letih, bukan? Anak-anak kalian telah menunggu, gelisah menanti.
Angin berkesiur.
Aku guncang-guncangkan sebatang pohon asam. Berhelai-helai daun yang cokelat kering berguguran. Bertebaran. Bertindan di permukaan tanah, lapuk sesudahnya dan akan menghumus. Setelah itu, kuusap batang pohon itu penuh kasih. Tak akan lama lagi, tak sampai satu bulan, putik-putik asam akan segera bermunculan. Di pohon asam ini, juga di pohon-pohon lainnya yang tumbuh memenuhi pinggiran ladang padi dua ribu meter persegi milik Umak.
Jangan bayangkan pohon asam ini serupa pohon asam jawa. Asam ini adalah pauh,   pohon mangga yang tinggi lurus menjulang. Rasa buah jenis mangga yang masam, membuat orang-orang di desaku, Sungaitelang, salah kaprah dengan menyebutnya pohon asam. Juga ladang persawahan itu adalah sabah, sawah rawa-rawa. Padi yang bisa tumbuh di situ, tidak keruan rasanya. Pera. Tidak seenak rasa padi dari Jawa. Aku pernah memakannya. Beras dari Jawa, rasanya pulen. Serta wangi.
“Jep! Jep…!”
Aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku. Suaranya sangat nyaring. Melengking tinggi dan cempreng. Pastilah si bunga sepatu itu. Aku menoleh ke arah sudut kebun. Dari situ, tanah yang legok itu, di atasnya membukit. Pinggiran sabah, pematang yang membatasi petak-petak sabah. Tampak seorang gadis berlarian menuju ke arahku dari tanah yang membukit itu.
Rambutnya hitam panjang sepinggang dan hanya diikat sekadarnya dengan sehelai saputangan. Di telinga kirinya, dia menyelipkan sekuntum bunga sepatu warna merah. Pasti dipetiknya dari tepian jalan yang menuju sawah ini. Umak yang menanamnya, dan gadis kembang sepatu itu enak saja memetiknya. Ah, biarkan saja, selalu begitu komentar Umak. Bunga perdu itu mudah saja menanamnya. Sekadar pemberi hiasan di hamparan yang melulu hijau.
“Sudah kuduga, pasti di sini.” Gadis kembang sepatu itu duduk di hamparan rerumputan. Napasnya terengah-engah. Dia mengusap keringat di keningnya dengan ujung lengan bajunya. Aku ikut duduk di sampingnya. Meski berkeringat, bau tubuhnya sangat harum. Bau lulur dan pupur bangkal.
“Ada apa, Niah?”
“Aku tadi bertemu Bang Resok. Dia sedang mencari orang untuk ikut ngglondong. Kau mau ikut tidak?”
“Ngglondong?”
“Ya, kupikir kau pasti mau. Teman-teman kita  tiap kali menunggu panen juga ikut ngglondong. Apa kau tak tertarik?”
Aku diam sejenak. Kupandangi pucuk-pucuk pohon asam yang membaur dengan lazuardi. Di atasnya, semburat jingga memadankan lukisan abu-abu sore dengan titik-titik bayangan burung yang mengepak melintasi awan. Sangat indah. Tetapi, saat ini aku teringat Umak. Mengglondong, menjadi penebang kayu di hutan, apa komentar Umak nantinya?  
“Aku tertarik Niah, selalu tertarik untuk keluar dari kampung ini. Melihat apa saja yang terjadi di luar sana, mencari hal-hal yang tak kutemui di sini. Tapi, tak akan ada teman Umak, kalau aku pergi nanti. Tak ada yang mencarikannya kayu bakar dan ikan.”
“Tak usah khawatir. Masalah umakmu, biar aku yang temani. Aku bisa bantu mengambilkan kayu bakar, juga bantu memasak.” Niah menatapku. “Kalau kau tertarik, pergilah. Datangi Bang Resok malam ini juga. Besok dia sudah akan berangkat bersama rombongannya.”
Aku menolehnya. Balas menatapnya. Dua pasang bola mata kami bertemu. Bola mataku yang menyiratkan kuatnya keinginan untuk pergi, namun masih diliputi selaput keraguan, bersitatap dengan sepasang bola mata Niah yang memancarkan semangat hidupnya.
Aku tahu dia sungguh berharap pada diriku. Berharap aku menemukan pekerjaan yang lebih menghasilkan materi supaya memiliki cukup uang untuk mengajaknya kawin. Cukup uang untuk mengadakan pesta yang meriah supaya seisi kampung bisa ikut merasakan kebahagiaan kami kelak. Pesta dengan ritual adat yang lengkap. Maka harapannya, aku mau ikut mengglondong. Aku sendiri telah lama mengangankan pergi ke tempat yang baru, keluar dari sarangku.
Aku mengangguk. Perlahan. Niah tersenyum. Senyumannya indah sekali, dengan dekik yang muncul di pipinya. Kadangkala aku ingin mencubitnya, lesung pipit  itu.
“Ayo, aku antar pulang.” Aku bangkit dan meraih mandau yang tergeletak di bawah pohon asam. Niah ikut berdiri. Kami berjalan melintasi sabah-sabah, lalu kebun yang luas. Kami sampai di jalanan agregat tatkala kumandang azan kudengar dari musala kecil di permukiman orang-orang Jawa itu. Seorang anak kecil mengumandangkannya dengan suara yang jernih melengking.

                    ******
“UMAK tak mengapa jika kau tinggal. Sudah seharusnya juga kau keluar dari kampung ini. Keluar mencari pengalaman hidup. Masalah Umak, tak perlu risau. Banyak tetangga, saudara sesuku sekampung yang bisa dimintai tolong. Kita semua, kelompok di kampung ini, bertalian darah. Tak akan umakmu kesusahan. Tak usahlah kau resah.”
Aih, sungguh bijaksana kata-kata yang meluncur dari mulut perempuan tua itu. Perempuan yang tak pernah mengecap bangku sekolah. Tak bisa membaca dan menulis, namun petuah-petuahnya senantiasa mengobarkan semangatku, sebagai anak semata wayangnya.  
Aku menatap wajah kerut-merut Umak. Anggun. Kata para orang tua di Sungaitelang, Umak masih ada darah turunan bangsawan dari Kerajaan Nan Serunai yang ikut lari ke Sungaitelang, pinggiran Sungai Barito. Beranak pinak di situ sampai lahir cicit mereka,
Umak. Ah, entahlah. Setahuku Kerajaan Nan Serunai yang didiami salah satu suku Dayak tertua di Borneo, Dayak Maanyan, telah hancur akibat serangan Kerajaan Majapahit. Sudah berabad-abad lampau, lalu bagaimana mungkin para tetua itu mampu menguraikan dan memastikan selarik jalinan kebenaran hanya melalui cerita lisan turun-temurun? Pastilah hanya sekadar dongeng pelipur luka hati, luka atas hilangnya sebuah kejayaan, pun pengikat bahwa kami semua berkerabat. Supaya tak berkurang rasa kebersamaan dalam suku kami.
“Benar-benar tak apa, Mak?”
Umak tersenyum.
“Jep, jodoh rezeki itu di tangan Tuhan. Hidup mati pun demikian. Percayalah, semua sudah digariskan. Kalaupun Umak sudah mau mati, dan engkau masih ada di sini, bisa berbuat apa? Menghidupkan Umak lagi? Dengan minyak bintang? Sudahlah, jangan berpikir macam-macam. Jalani saja kehidupanmu, carilah pengalaman hidup. Jalan Umak sudah pepat, hendak sampai ke ujung, namun jalanmu sungguh masih teramat panjang.”
Aku terdiam. Tak hendak membantahnya lagi. Padahal, aku sedikit berharap perempuan tua itu menghambat niatku. Supaya benar perasaanku yang rasanya masih menyelipkan secuil keraguan.
Aku menatap pelita yang menempel di dinding rumah panggung kami. Langesnya menjelaga pekat melukisi dinding rumah. Menorehkan warna hitam yang menyemburat seperti gambaran ekor komet di dinding papan. Pelita berkedip-kedip terkena  embusan angin. Tingkap masih terbuka.
Aku lalu bangkit dan menutup daun jendela. Udara sekarang terasa lebih sesak. Terperangkap dalam lamin kami. Oksigen menjadi sedikit dalam lamin, sebuah rumah yang berdiri tegak di atas tiang-tiang penyangga sebagai rumah panggung. Terkadang orang menyebutnya juga dengan rumah betang.
“Nanti Jep suruh si Niah membantu Umak.”
Umak diam saja. Mulutnya sibuk mengunyah sirih. Lalu dengan sekali sembur, diludahkannya pinang sirih di mulutnya ke kaleng di sampingnya. Ludah yang merah, seperti darah dengan bau yang sengak. Orang-orang Jawa yang kadang-kadang datang ke kampung kami untuk membeli ikan itu, telah menjual pula pinang sirih. Umak menyukainya. Saling bertukar adat katanya, mengenali kebiasaan masing-masing. Yang baik-baik, diambil. Yang buruk, jangan ditiru.
Tangan Umak menggerapai, hendak bangkit. Perempuan tua itu ingin segera membaringkan tubuhnya ke dipan di dalam bilik. Kubantu Umak berdiri dan melangkah. Malam sudah larut dan bunyi binatang malam di luar sesekali bersahut-sahutan, lantas diam. Agak lama kemudian berbunyi lagi.
Aku mengambil bantal dari sudut ruangan dan meletakkannya di lampit. Tak ada bilik khusus buatku di rumah panggung kecil ini. Dan  tiap malam, aku terbiasa tidur di lampit, tikar yang terbuat dari jalinan rotan. Bekas-bekas lampit membuat beberapa bagian tubuhku yang sering tertekan, siku, tumit dan mata kaki menjadi kapalan.
Aku tak bisa tidur nyenyak. Masih sempat terbayang ajakan Bang Resok barusan sebelum aku mengutarakan niatku kepada Umak untuk ikut mengglondong.
“Percayalah, Jep. Kau bakalan dapat banyak duit. Lihat teman-temanmu juga ikut ngglondong tiap kali menunggu musim panen. Tidak susah. Menebang kayu dengan mesin gergaji, lalu menengkong, menarik batang-batang kayu yang sudah ditebang, menarik bersama-sama pengglondong lainnya. Kulihat badanmu kekar. Pastilah tenagamu kuat dan kerjamu sangat bagus.”
“Tapi, Bang….”
“Ah, kau mau berpikir apa lagi? Bayar dimuka! Gaji per minggu!”
Aku masih bimbang. Dan Bang Resok melihatnya di raut wajahku. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Bang….”
“Terima ini dulu, uang mukanya. Besok kau ikut rombongan bersamaku. Yah, kau bisa pakai untuk apa saja. Kau bawa untuk beli kebutuhan selama di hutan, atau kau berikan pada umakmu supaya dia lega melepasmu.”
Bang Resok mengepalkan beberapa lembar uang dua puluh ribuan ke tanganku. Aku tertegun. Dan kini, separuh uang itu telah kuberikan pada Umak. Ia menerimanya dan bersedia melepasku.
Tapi aku yakin, seandainya tidak kuberi uang pun, Umak tetap melepasku. Supaya aku melihat dunia baru, dunia yang lain yang luas. Supaya ada gunanya aku bersekolah hingga lulus SD. Juga lulus SMP. Orang berpendidikan tertinggi di desaku yang kebanyakan anak-anaknya tidak bersekolah. Jelas Umak sangat bangga. Ia bahkan membingkai ijazahku di dinding ruang tamu. Dipajang, supaya  tiap orang yang bertandang bisa melihat keberhasilan anaknya. Puih, geli aku.
Ah, kalau benar pekerjaan mengglondong itu banyak bayarannya, tak ada salahnya kucoba. Banyak nian pengglondong di sekitar kami, sekitar hutan dekat Sungai Barito. Yang kutahu, mereka bekerja dan memilirkan kayu hingga ke hilir sungai. Hingga mencapai Banjar. Di sana, ada perusahaan-perusahaan kayu besar.
Siapa tahu, dengan uang hasil mengglondong, aku bisa memperbaiki dan menghiasi rumah panggung yang dindingnya berlubang di beberapa bagian. Juga menikahi Niah. Lalu kami akan tinggal di rumah lamin kami, beranak pinak serta hidup bahagia.
Aku tersenyum membayangkan gambaran-gambaran aneh yang berkelebatan di benakku. Seolah esok hari akan datang begitu pasti. Datang dengan segala kebahagiaan. Tapi, mengapa perasaan mengganjal itu masih juga mengendap di hatiku? Meninggalkan ampas keraguan yang mengerak.

            *******
ANAK Sungai Barito berkilauan dibiasi sinar matahari pagi. Gemerciknya masih sama seperti hari-hari kemarin. Hari-hari di mana kerap aku habiskan untuk mencari ikan dengan seser dan tombak, bila sedang tidak di sabah.
Kupandangi riak sungai yang kecil melenggang mengalir. Sungai yang tenang. Setidaknya saat ini, saat terakhir kulihat. Jika aku pergi nanti, apakah akan tetap sama warna sungai ini? Apakah akan tetap sama besar riaknya? Apakah akan tetap sama banyak dan jenis ikannya? Betapa aku pasti akan merindukan segala kehidupan yang telah aku lewatkan sebagai suku Dayak Sungai.   
Aku melihat Rasin sudah menyandang bubu, keranjang anyaman di punggungnya. Sebilah tombak dengan ujung dari logam bermata tiga yang runcing tergenggam di tangan kanannya. Dia hendak mencari ikan dan dia melihatku. Lalu dia berteriak dari tempatnya berdiri. Di seberang sungai sana. Aih, rajin sekali sahabatku itu, sudah mengabahkan perahu kecilnya dan menambatkannya di seberang.
“Hooi Jep, kau tidak menumbak ikan?”
“Tidak, Sin.” Aku menggeleng tegas. Kupandangi wajah teman sepencaharianku itu. “Hari ini aku hendak ikut rombongan glondong ke hutan.”
“Haa…!? Engkau hendak mengglondong?” Mulut Rasin menganga. Terkejut.
“Ya. Dengan Bang Resok,” jawabku, gagah. “Kau tahu Sin, aku bahkan sudah mendapat panjar. Dua ratus ribu, Sin!”
Rasin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lebih baik kau tangguhkan niatmu itu. Pekerjaan itu tidak baik, kata kakakku. Lebih nyaman hidup bekerja seperti biasa. Ada beras dan manggala buat ditanak, dan ada ikan untuk lauk. Sayur tinggal memetik, tinggal mencabut umbut rotan. Makan kenyang, ranai sudah. Masih kurang apa lagi?”
“Peduli amat dengan kata kakakmu. Tidak nyaman katanya, karena dia tidak pernah ikut mengglondong, ‘kan?”
“Bukan, Jep. Dia pernah ikut mengglondong sekali. Apa jadinya? Banyak utang! Sama agen-agen glondong itu. Kau kira hidup di hutan tak perlu makan? Dari mana bisa makan kalau tidak membeli bahan makanan dari para agen glondong? Tak cukuplah uang segitu. Yang ada, ambil barang dulu untuk makan, lalu dipotonglah uang gajimu. Sering kali lebih banyak jumlah belanjaan daripada bayaran.”
“Sudahlah, tak perlu menggurui aku, Sin. Hidupku, aku sendiri yang atur. Aku sendiri yang jalani. Hidup kau, engkau juga yang jalani. Kalau kau lebih suka menumbak, tak perlu pengaruhi aku supaya batal mengglondong.”
Aku sedikit emosi. Pertemuan dengan Rasin yang terakhir kalinya sebelum berangkat mengglondong, seharusnya diakhiri dengan salam perpisahan yang hangat. Kami berdua karib yang akrab. Rasin jadi teman sekolahku sampai lulus SD. Dia lebih pintar daripada aku, terutama ilmu buminya. Tetapi, dia tidak meneruskan ke SMP. Terlalu jauh ke kota, katanya. Sayang sekali untuk otaknya yang encer cerdas itu. Kini, aku malah berbalik pergi dari sungai tanpa menggubris kata-kata Rasin.

                    ******
AKU berjalan menaiki anak tangga lamin. Kulihat Umak membekalkan dendeng rusa untukku dalam jumlah banyak. Satu kilo lebih. Barangkali persediaan dendeng rusa di rumah ia bungkuskan semuanya untukku. Oi, kasihan Umak. Mudah-mudahan ia tidak sengsara aku tinggal.
Ah, berpikir apa aku ini. Aku hanya hendak pergi bekerja menjadi glondong sementara waktu saja. Paling lama dua tiga bulan. Ya, hanya dua tiga bulan! Saat itu, pastilah pohon asam sudah dipenuhi buah-buah yang ranum, dan padi di sabah kami mulai menguning. Aku akan pulang dengan cukup uang untuk memperbaiki rumah dan menikahi Niah. Apalagi ditambah dengan hasil panen padi kami kelak. Saat yang paling bagus untuk membuat perayaan. Pernikahan Jep dengan Niah.
“Sudah Umak siapkan bekal untukmu di jalan, Jep.”
“Terima kasih, Mak. Tapi apa tidak terlalu banyak? Apa Umak habiskan semua dendeng persediaan di rumah?” Aku membungkuk menarik ransel dan menaruhnya di dekat pintu. Umak hanya tersenyum.
“Tidak usah khawatir. Di rumah, apa pun bisa Umak jadikan makanan. Lain dengan engkau di jalan. Tak ada orang yang mau berbaik hati. Tak ada tempat buat engkau sembarang meminta. Jadi, berhematlah baik-baik. Jaga harta karunmu ini.”
Aku mengangguk. Dari jendela aku melihat Niah berlari kecil menuju lamin kami. Sebelum dia menaiki tangga, aku sudah bergegas turun menyongsongnya.
“Jadi, hari ini kita berpisah?” tanya Niah. Matanya yang sedikit runcing di sudut kelopaknya dipaksa melebar.
“Seperti keinginanmu,” jawabku enteng. Aku mengajaknya duduk di bale-bale kayu sederhana yang kubuat dari potongan-potongan meranti sabah di bawah  rerimbunan pohon.
“Berusahalah, Jep. Supaya aku tidak menunggu-nunggu terus. Malu dilihat tetangga. Malu aku ditanya-tanya.” Ucapan Niah terdengar serius. Tetapi kemudian dia menoleh padaku sambil tersenyum. “Aku sudah katakan pada orang rumah, nanti kalau kau pulang, kau pasti melamarku.”
Aku terperanjat. Tapi aku diam saja. Bukan salah Niah. Kami selalu bersama-sama semenjak kecil. Teman sepermainan bersama Rasin. Kami tumbuh bersama. Dan orang-orang sepertinya menyetujui kalau seandainya dua di antara kami, aku dan Rasin, cepat atau lambat nantinya akan berjodoh dengan Niah. Dan Niah sudah memilihku.
“Aku minta satu pertolonganmu, Niah.”
“Apa itu?”
“Tolong jaga Umak selama aku pergi.”
“Tak usahlah kau meminta. Aku sendiri sudah berjanji.”
Hatiku sedikit lega. Kubiarkan angin mempermainkan perasaan kami berdua beberapa jenak lamanya. Lalu kami berdua menaiki anak tangga rumah. Aku akan berpamitan dengan dua perempuan itu. Umak hanya mengusap lenganku. Ekspresi wajahnya datar, seperti juga ekspresi wajahnya sehari-hari. Tak banyak cakap, tak banyak tertawa, hanya tersenyum sesekali saja. Tak baik terlalu berlebih-lebihan menunjukkan perasaan, selalu begitu katanya. Kali ini pun, Umak tak bercakap banyak.
Niah, berdiri diam. Namun Niah mengiringiku turun dari rumah sampai menyeberang halaman menuju jalan desa. Tak ada kata-kata perpisahan di antara kami. Aku hanya menatapnya sekilas, berbalik, lalu segera melangkah pergi. Entah nasib apa yang kelak akan membawaku kembali kemari. Dua atau tiga bulan, sepasti itukah?


*******
Irine Rakhmawati
Pemenang II Sayembara Menulis Cerber 2014



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?