Fiction
Dewi Sri Dan Tanah Kenangan [1]

5 Jun 2013


Aku menuntun Abah Amas memasuki auditorium di sebuah konferensi pangan dunia Salone de Gusto and Terra Madre di Italia. Mendadak tanganku berubah dingin. Apa yang kulakukan di sini? Seharusnya aku tetap saja di kantor distributor mengurusi pengiriman beras-beras lokal organik Indonesia, termasuk dari sawah Abah Amas, ke supermarket-supermarket di seluruh penjuru Eropa. Namun, di sinilah aku, mendampingi Abah Amas yang bersemangat memperkenalkan pangan lokal Indonesia di ajang sebesar ini. Hampir saja hak runcing Manolo Blahnik-ku tak sanggup menopang tubuhku yang gemetar.

“Kamu tahu Dewi Sri? Dewi yang dipercaya menganugerahi sawah-sawah dengan padi-padi yang subur?” tanya Abah Amas, memecah keheningan. “Aku yakin, Dewi Sri selalu menjelma menjadi manusia. Ada di antara kita.”
“Berarti dia sekarang ada di antara kita?” tanyaku, sambil menahan diri kuat-kuat agar tak membuka peti kenangan, berkat mendengar kata Dewi Sri.
“Mungkin kamulah Dewi Sri itu.”
Aku menelan ludah. Kotak itu kini telah terbuka dan kenangan beterbangan. Abah Amas membuatku gugup. Kami bersama-sama menuju barisan kursi VVIP. Di ujung sana, Signore Carlo, petinggi institusi penyelenggara konferensi dunia ini, menyambutku dengan pelukan hangat. Aroma peppermint dan tembakau menguar dari tubuhnya yang tinggi besar.
“Welcome to our Lingotto Fiere, Signore.” Carlo berbisik kepada Abah Amas dan binar matanya begitu cerah menatapku. “Sei bellisima.”
“Grazie,” aku mengangguk pelan. “This is Abah Amas, the notorious man I’ve told you so many times.”

Memang benar. Abah Amas tokoh adat terhormat yang mendorong masyarakat tanah adat Ciptagelar, Sukabumi, untuk kembali menanam padi lokal organik. Abah Amas selalu tertawa jika kutanya apakah tidak menyesal hanya hidup sebagai petani, yang jauh dari kemapanan dan selalui dihantui gagal panen.

“Manusia itu sebenarnya hanya anak-anak, dengan bumi sebagai ibunya dan langit ayahnya,” begitu jawabnya, entah apa maknanya.
Tak tersisa lagi kursi-kursi kosong di auditorium. Presentasi Abah Amas akan segera dimulai. Tanganku makin dingin. Namun, pria di sampingku begitu tenang. Sorot mata teduhnya menghunjam hatiku yang berlompatan ke sana kemari.
“Presentasi Abah akan segera dimulai. Abah ngomong saja apa yang Abah ingin sampaikan. Nanti biar aku menerjemahkan,” aku menepuk punggung tangan Abah yang menua oleh usia. “Terima kasih, ya, Abah, sudah mau memperkenalkan padi lokal Indonesia di konferensi ini.”

“Abah yang mestinya berterima kasih. Kamulah Dewi Sri itu. Kamulah yang sekarang tengah  menyuburkan sawah-sawah di kampung dengan membawa Abah kemari.”
Sesuatu yang hangat menelusup ke dalam batinku. Sawah. Padi. Burung pipit. Panen. Semuanya membawaku melayang-layang ke kenangan masa kecil dulu. Bertahun-tahun lalu, saat telapak kakiku belum terbiasa dengan sepatu hak tinggi, saat angin begitu genit mengayun-ayunkan kepang duaku, saat aku jatuh cinta pada pria yang membuatku jatuh cinta pada pepadian Indonesia. Pria itu juga memanggilku Dewi Sri kesayangannya.

***
“Kau tahu rasi bintang Kidang?” tanya bocah lelaki kurus dengan bola mata besar dan senyum manis berlesung pipit. Aku menggeleng sembari membenahi kepanganku yang terurai karena terlalu bersemangat berlari.

Bocah itu mengambil sebatang  ranting kering dan menorehkan guratan di atas tanah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat ia pun mulai bersenandung.
“… Datang Kerti turun Wesi, Datang Kidang turun kujang, Turun Kujang datang Kungkang … Kata Abah, menanam padi ada aturannya supaya padinya subur dan panennya bagus. Supaya nasi yang kamu makan di rumah rasanya enak. Nanti kuajak kamu melihat upacara melak pare. Upacara menanam padi.”
“Kapan?”
“Besok pagi buta, sebelum ada matahari. Kamu datang ke sawahku, ya? Di Jakarta, kamu enggak akan ketemu yang seperti ini.”
Aku mengangguk tegas sebelum akhirnya ia menarik tanganku lagi. Kami berdua kembali berlarian dan meliuk-liuk di pematang sawah yang menghijau. Genggamannya seakan menjadi upacara melak pare untukku, menanamkan benih-benih yang bertahun-tahun kemudian kusemai sebagai cinta.

***
Di antara kerumunan yang berjajar mengular memenuhi sepetak lebar sawah, aku dan bocah itu berjinjit mencuri pandang. Abah Amas menggumamkan doa dan menancapkan batang-batang padi. Lalu beberapa orang di belakang mulai mengacungkan senapan dan menembakkan angin ke udara. Sepasang tangan bocah itu menangkup telingaku dan sekejap hangat menjalari pipi. Ia mendongak menatap langit yang sepi, senyumnya persis bulan sabit yang malu-malu mengintip di balik awan.

Tak lama, serempak tanpa ada aba-aba, satu per satu warga desa adat lainnya mulai menanami lahan mereka sampai penuh. Bocah itu menyodorkan dua batang padi ke arahku, lalu dengan satu ayunan kepala, mengajakku mengikutinya menanam padi.
“Aku suka menanam padi,” ujarnya. Matanya berbinar bangga. “Cita-citaku ingin menjadi petani. Aku ingin punya puluhan leuit, lumbung untuk menyimpan padi selesai panen. Semua orang boleh pinjam padi di leuit-ku.”

Ia menunjuk ke arah lereng bukit berundak dengan jajaran lumbung beratap jerami yang menghitam serta berdinding bambu dan kayu. Mataku menyipit ke arah itu. Kudengar dari ayahku, leuit adalah simbol kekayaan warga di sini. Makin banyak, makin terpandang berada. Persis rumah atau mobil di Jakarta.
“Aku juga boleh?”
“Pasti. Kamu boleh ambil sesukamu,” ujarnya, membuat pipiku makin memerah. “Jadi, semua orang  enggak akan ada yang kelaparan, walaupun gagal panen.”
“Tapi, bundaku bisa beli beras di supermarket. Di sana ada macam-macam beras, mana mungkin kami kelaparan.”
“Dewi,” panggilnya, “kamu ini benar-benar anak kota, ya?”
Bibirku mengerucut mendengar ledekannya. Aku besar di Jakarta, tapi ayahku pemuda asli Ciptagelar. Berhubung Ayah memutuskan untuk bekerja di ibu kota, makanya aku hanya sesekali mengunjungi kampung ini. Ia selalu mengejekku begitu. Entah kenapa, ada sedikit rasa malu dan segan mendengar kata anak kota meluncur dari bibirnya.
“Beras yang kamu beli di supermarket mewah itu, semua kan asalnya dari kampung. Kalau panen di kampung gagal, ya, kamu enggak akan bisa makan beras lokal yang enak.”
“Karena itu kamu mau jadi petani?”
“Aku jadi petani karena aku suka menanam padi.”
Kukatupkan bibir kuat-kuat. Aku sedikit tidak setuju dengan kata-katanya. Aku tahu ia anak yang pintar. Ayahku pasti bisa mencarikan beasiswa untuknya, mengirimkannya ke sekolah terbaik di Jakarta, dan ia pasti bisa jadi pengusaha sukses seperti ayahku. Ah, setidaknya kalau dia sekolah di kota, aku bisa bertemu dengannya sering-sering.
“Kamu tidak ingin tinggal di tanah Ciptagelar?” ujarnya.
Mataku langsung melotot mendengar ide gilanya. Meninggalkan Jakarta? Pindah ke ranah yang sepi, hening, dan hijau ini?
“Kamu pernah dengar dongeng Dewi Sri, dewi kesuburan?” tambahnya.
“Ya. Kenapa?”
“Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku?”
Keningku berkernyit tanda tak mengerti. Hanya kupandangi senyum manis berlesung pipit di hadapanku yang tiba-tiba menguncup, saat aku menggeleng kuat-kuat.
***

“Sudah berapa kali kubilang, aku tidak mau,” ujarnya kuat. Tak kusangka, bocah yang dulu pernah menggenggam tanganku menyusuri pematang, kini bisa lantang membentakku. Wajahku langsung pias. Bisa kudapati gurat sesal di wajah dengan rahang tegas itu.
“Kamu bisa kuliah di Jakarta. Ambil teknologi pangan atau kimia pertanian atau apa gitu. Nanti kamu bisa mengembangkan padi-padi lokal Ciptagelar dan kembali ke tanah ini, membangun desa ini lebih maju.”
“Aku tidak mau. Aku tetap di sini membantu Abah meneruskan warisan leluhur.”
Kata-katanya terdengar kering dan dingin. Aku menggigiti bibirku sendiri.
“Kamu sungguh-sungguh mau jadi petani?”
“Apa salahnya dengan itu? Kamu malu punya pacar petani?”
Spontan aku menggeleng. Bukan itu. Sungguh bukan.
“”Apa kamu masih mau menjadi Dewi Sri-ku?”
Aku diam membiarkannya menumpahkan kekesalan.
“Dewi, sekali lagi kutanya. Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku? Berada di sini menemaniku sampai mati?”
Untuk pertama kalinya, bibirku terkunci rapat. Tak tahu harus kujawab apa pertanyaan itu. Segera ia membuang wajah dan berlari menyusuri pematang. Tak lagi menggenggam tanganku. Dan itu untuk terakhir kalinya aku menabung kenangan tentang pria berbola mata besar, yang senyumnya manis berlesung pipit.
***

Tepuk tangan membahana seakan hendak meruntuhkan langit-langit auditorium yang kokoh menjulang. Aku menarik napas panjang dan menyerap segenap energi yang terpancar dari bangku pengunjung. Lama-kelamaan hanya ada aku dan kegelapan yang dikuak oleh terangnya lampu sorot. Kupejamkan mata. Suara makin pudar dan yang ada hanya hening.

Manusia itu sebenarnya hanya anak-anak, dengan bumi sebagai ibunya dan langit ayahnya. Kalimat Abah Amas kembali terngiang. Kini aku paham maknanya. Namun, bocah kecil bermata besar dan bersenyum lesung pipit itu telah memahaminya di usia yang belum genap dua belas tahun. Lima belas tahun sejak upacara melak pare itu, selepas kami menanam padi bersama, kami juga mulai menanam rindu. Rindu yang makin lama makin merimbun, menagih kami bergegas memanennya. Sebelum layu. Sebelum membusuk.

Namun, bukankah yang indah itu, walaupun melayu, akan tetap indah adanya.
Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku?
Aku tersenyum sendiri. Masih bau kencur, tapi sudah berani-beraninya ia melamarku? Apa yang ada di kepalanya waktu itu?
Abah Amas menggenggam tanganku. Berdiri selama tiga puluh menit di atas podium ternyata lebih melelahkan baginya daripada bertanam padi di sawah. Aku sontak terkejut. Lamunan itu memudar dan cepat kutuntun Abah ke belakang panggung.

“Abah capek berdiri, ya?” bisikku lembut. “Presentasi tadi luar biasa. Aku sampai mau menangis. Aku enggak menyangka ternyata negeri yang sudah lama aku tinggalkan ini….”
Dengan tangan yang gemetar dan rapuh, Abah menyusut bibit air mataku yang hampir jatuh.
“Kenapa menangis? Kamu ini seorang dewi, tidak boleh menangis.”
“Ah, Abah. Siapa yang dewi?”
“Pulang ke Indonesia, Nak. Dia menunggumu di sana.”
Aku terkejut, tak bisa berkata-kata. Beberapa kali aku mengerjap tak percaya. Apakah Abah Amas masih mengenaliku sebagai gadis kecil berkepang dua yang dulu sering berlarian di pematang sawah bersama cucu laki-lakinya yang kurus, yang berbola mata besar dan memiliki senyum manis berlesung pipit?
“Abah enggak mungkin lupa sama kamu. Kamu itu sejak dulu selalu jadi Dewi Sri. Setidaknya untuk dia.”
“Abah….”
“Dia masih menunggumu di sana. Di tanah adat Ciptagelar.”
“Sudahlah, Bah.”
“Bulan depan  ia akan memimpin melak pare pertamanya sebagai pemangku adat di Ciptagelar. Ia membutuhkan Dewi Sri berdiri di sampingnya. Menjaga kampung halamannya tetap subur.”
Kukepalkan tangan kuat-kuat. Penolakannya waktu itu membuatku nekat berangkat ke Italia meneruskan bisnis keluarga sebagai distributor beras organik di Eropa selepas kuliah. Kutinggalkan semua kenangan di tanah adat Ciptagelar, membenamkannya di dalam tanah berlumpur, persis seperti dulu kami menancapkan batang padi di upacara melak pare.

Namun, makin hari batinku terus dipenuhi sulur-sulur rindu yang merimbun padat. Seharusnya rinduku dituai, tapi jarak dan waktu seperti hama yang siap menggerogoti dan membinasakan hingga bulir terakhir.
“Dewi…,” sebuah suara melantun di sisi kiriku.
Belum sempat aku menyeka air mata, sebelum selesai aku menata hati yang porak-poranda, ia berdiri di sana. Ah. Tak peduli seberapa ia telah tumbuh tinggi atau  makin kekar tubuhnya kini, bola mata besarnya itu tetap sama. Senyum manis berlesung pipi itu tak sedikit pun berubah. Kedua lututku terasa  makin lemas. Tiap langkah yang ia jejakkan mendekatiku,  makin cepat kenangan berputar-putar di benakku.
“Kamu? Sedang apa di sini? Bukannya kamu ada di Ciptagelar?” tanyaku bertubi-tubi, dengan mata terpaut pada binarnya yang pernah memikatku dua puluh tahun lalu.

“Aku menjemput Abah Amas. Tadi diam-diam di kursi pengunjung, aku melihat presentasi Abah dan kamu.”
“Ah.” Entah aku harus menjawab apa.
“Bulan depan melak pare pertamaku.”
“Ya.”
“Pertanyaanku tetap sama, Dewi.”
Abah sengaja perlahan menjauh meninggalkan kami. Abah seakan paham, ada yang harus dituntaskan di antara kami. Kini, pria itu hanya serengkuhan lengan. Aku bisa mencium wangi padi di pagi hari menyelimuti kami. Membungkus kami erat dengan kenangan. Saat kami berlarian di pematang sawah. Saat kami mengikuti melak pare pertama kami. Saat ia menyisipkan  rangkaian kembang padi di kepang duaku.
Ya, Tuhan, aku tidak tahu kalau merindu bisa seberat ini.
“Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku?”
Bukan kotak beludru berisi cincin berlian. Bukan sebuket bunga mawar. Namun, ia mengambil hiasan rambut dengan kristal-kristal terangkai membentuk kembang padi yang dipadati bulir-bulir berisi. Disematkannya hiasan itu di kepalaku.
“Dulu dan sampai nanti, kaulah Dewi Sri-ku,” bisikku.
Dunia seperti berhenti berputar, seakan menghormati pria sederhana dari tanah Ciptagelar dan Dewi Sri-nya yang tengah saling memeluk. Saling menuai rindu yang tunduk menguning, persis bulir-bulir padi di tanah ibu bumi, bernaung ayah langit.


***
Anggun Prameswari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?