Fiction
DENSEMINA [3]

15 Jun 2012


Gadis muda itu terkesiap. Sepertinya ia tidak siap bersua dengan orang asing yang dulu ditolongnya. Segera ia memalingkan pandang ke arah tungku kembali. Ada rona merah terpancar di wajahnya sebelum ia berpaling itu.

Harjoyo tidak membuang-buang kesempatan. 

“Nona, Albert ada di rumahkah?”

Gadis muda kembali menoleh ke arah Harjoyo. Bukannya menjawab langsung pertanyaannya, ia justru menunjuk ke suatu arah, arah laut. Katanya singkat, “Kaka di sana.”

Harjoyo mengangguk, sambil mengikuti arah yang ditunjukkan gadis tersebut. Sesaat kemudian gadis muda itu sudah kembali menekur di depan tungku. Apa boleh buat. Tak ada yang bisa diperbuat pemuda ini, kecuali melangkah perlahan melewati ruang dalam yang tembus langsung ke beranda belakang. Di bagian paling belakang ini –seperti umumnya rumah para nelayan di sana- ada sebuah teras kecil atau semacam itulah. Teras ini punya beragam fungsi, bisa difungsikan sebagai tempat nongkrong di sore hari menikmati senja, juga sebagai tempat menambatkan kapal.

Saat sampai di sana Harjoyo baru sadar, tak ada siapa-siapa selain dirinya. Apakah gadis muda tadi berbohong? Rasanya, tidak juga. Karena, gadis itu dengan jelas menunjuk ke arah sini. Lantas, di manakah Albert?

Saat itu mentari bersinar dengan garang, seolah hendak menghanguskan apa saja. Laut meti (surut) sehingga menyingkap kekayaan dasar laut yang kini terbuka untuk dijelajahi. Sejauh mata memandang hanya dasar laut yang tampak. Dasar laut yang diawali dengan hamparan lumpur lembek kecokelatan di bagian pinggirnya dan berubah menjadi kelompok-kelompok karang di bagian tengahnya. Lumpur itu tampak menjijikkan, karena membuat air laut menjadi berwarna coklat muda. Tapi, sesungguhnya di dalamnya tersimpan kekayaan tersendiri. 

Dulu ia pernah melihat seorang nelayan, seorang pendatang dari Buton, asyik mencangkul di tengah lumpur cokelat, saat laut meti. Rasa ingin tahunya bangkit. Apa yang dicari nelayan di tengah lumpur menjijikkan itu? Tapi, rasa penasarannya segera terjawab, saat nelayan tersebut menarik sejenis makhluk laut berwarna kemerah-merahan ke permukaan. 

Uh, betapa menjijikkannya. Sekaligus betapa memesonanya. Baru pertama kali dalam hidupnya ia menyaksikan cacing laut. Cacing laut yang panjang dan kemerahan itu menggeliat-geliat di tangan si nelayan.

Laut benar-benar meti. Sehingga, kalau mau, seseorang bisa berjalan kaki melewati dasar laut yang terbuka sampai ke kantor gubernur yang berada di sisi pantai yang satunya.

Saat sedang asyik menyusuri dasar laut dengan matanya, Harjoyo menangkap sosok yang tidak asing lagi baginya. Albert. Sahabatnya itu sedang mengaduk-aduk sesuatu di dasar laut. Apa yang sedang dikerjakan Albert di sana? Apakah ia sedang mencari cacing laut? 

Apa boleh buat. Ia tak mungkin menunggu sahabatnya di teras belakang sendirian. Sesaat kemudian digulungnya celananya dan ditanggalkannya sandalnya sebelum masuk ke dasar laut berlumpur. Segera saja kakinya terbenam ke dalam lumpur sampai ke atas mata kaki. Betapa menjijikkan. Sekaligus, betapa anehnya. Lumpur itu sangat lembek, persis seperti adonan roti kebanyakan air. 

Pantai Base-G sebenarnya hanya berada di balik bukit itu. Tapi, betapa bedanya Pantai Base-G dari pantai di wilayah Kampung Baru ini. Dasar pantai ini benar-benar terdiri dari lumpur lembek yang penuh dengan cacing laut. Pantai yang benar-benar jorok. Cocok dengan sebagian besar penghuninya yang memilih hidup dengan jorok pula.

Albert sedang asyik memeriksa setiap jengkal dasar laut dengan ketelitian seperti yang dimiliki seorang ilmuwan di laboratoriumnya. Ia melongok ke setiap sudut karang, juga ke ceruk-ceruk kecil yang terdapat di sana. Tapi, benda, atau lebih tepatnya hewan laut, yang dicari belum diperolehnya.

“Sedang apa, Sobat?”

Albert mendongak ke arah datangnya suara. Senyum lebar meng­hiasi wajahnya. “Ho… ho…, Anak Jawa. Berani juga ko kemari, ya?”

Harjoyo menyahut riang, seriang sapaan sahabatnya. “Apa yang harus ditakuti? Dulu juga setiap minggu kitorang kamari. Masih ingat?”

Albert tertawa ngikik mengingat masa kecilnya bersama pemuda pendatang ini. Dulu tak ada hari terlewat tanpa bergumul, berenang, menyelam, mengaduk-aduk laut, bagi keduanya. Herannya, dulu itu laut tidak sejorok dan semenjijikkan seperti saat ini. 

“Ha…ha…ha.... Betul juga.”

Setelah benar-benar berada di sebelah sehabatnya, Harjoyo mengu­langi lagi pertanyaannya, “Sedang cari apa?”

“Ko masih ingat ikan lembek yang ko pegang dulu?”

Harjoyo berusaha keras memutar ingatannya ke masa kecilnya. Seingatnya, ia sering sekali ke tempat ini. Jauh di masa lalu, lebih dari dua belas tahun lalu. Saat sedang asyik mengamati ikan-ikan kecil yang terperangkap di ceruk karang-karang, tangannya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang terasa lembek, berwarna cokelat kehitaman, berdenyut-denyut dan menempel di dasar karang.

“Ih, ikan apa ini?” teriak Harjoyo spontan, melihat hewan laut yang baru pertama kali ditemuinya.

Albert mengamati ikan itu. ”Ini ikan lembek. Tak bisa dimakan.”

Maka, hewan lembek itu selamat dari jangkauan tangan kedua bocah cilik yang saat itu juga segera berlalu dari sana. Tapi, kesejahteraan ikan lembek itu akan segera berubah, seiring dengan permintaan yang datang dengan deras dari wilayah barat Indonesia. Saat ini ikan lembek yang tidak enak dimakan itu justru dicari-cari orang. Karena, ikan-ikan lembek ini merupakan salah satu bahan makanan utama di restoran-restoran Cina terkemuka di dunia.

Beberapa tahun terakhir para nelayan tradisional seperti Albert bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan mencari ikan lembek alias teripang. Ada seorang pengepul, pendatang dari Pulau Buton, yang biasa membeli teripang-teripang hasil tangkapan para nelayan. Harga jual teripang sangat mahal, terlebih dalam keadaan kering. 
Bila sedang beruntung, ia bisa mengumpulkan teripang-teripang kelas satu yang harga per kilonya saja dua ratus lima puluh ribu. Sayangnya, jalan satu-satunya untuk mengumpulkan teripang adalah dengan mencarinya di habitat aslinya. Karena, teripang belum bisa dibudidayakan. Terutama, teripang-teripang kelas satu yang habitat aslinya jauh di wilayah-wilayah terpencil.

“Ikan lembek yang dulu itu? Teripang maksud ko?”

“Itulah. Itulah yang sa sedang cari.” 

Albert kembali asyik dengan pencariannya. Saat sedang asyik-asyiknya membalik karang-karang, ia memaki sendiri, “Gila benar kamorang pendatang. Kamorang makan apa saja.”

Harjoyo meringis saat Albert menyebutnya sebagai pendatang. Memang penduduk asli seperti Albert biasa menyebut para perantauan yang tinggal di Pulau Papua sebagai pendatang. Tidak peduli apakan para perantau itu orang-orang dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, atau Maluku. Semuanya disebut sebagai kaum pendatang. Para warga keturunan Cina yang bermukim di wilayah ini pun masuk ke dalam kelompok ini.

Harjoyo tergelitik geli dengan istilah yang dilontarkan Albert tadi. Karena, sebenarnya Albert sendiri bukanlah penduduk asli daerah ini. Ia dan keluarga besarnya adalah para perantau yang datang dari Pulau Yapen. Bila dilihat dari kacamata suku Kayu Batu yang adalah penduduk asli wilayah ini, Albert sebenarnya bisa dikategorikan sebagai pendatang pula.

Tapi, bukan soal pendatang dan bukan pendatang yang memenuhi benak Harjoyo. Saat ini ia tengah mengukur jarak antara tempat Albert mencari ikan lembek dan permukiman penduduk. Jarak kedua tempat itu tak sampai dua ratus meter. Ia berpikir keras. Apakah di dekat permukiman padat penduduk seperti ini, masih bisa ditemui hewan mahal seperti teripang?

Meski begitu, ia tak segera memberitahukan perhitungannya. Bukannya memberi tahu, ia justru ikut-ikutan mengintip ke balik batu karang, siapa tahu masih ada sisa-sisa ikan lembek yang hidup di sana. Kenyataannya? Persis seperti yang diperkirakannya. Sesiangan ini keduanya tak menemukan seekor pun teripang. Gila apa? Apa para pendatang di sana itu rela membiarkan harta karun tergeletak begitu saja di depan matanya?

Saat mentari condong ke arah barat air mulai mengisi dasar laut yang terbuka. Permukaan laut perlahan-lahan meninggi dan terus meninggi. Tanpa dikomando dua pemuda itu kembali menapaki lumpur menuju beranda belakang rumah Albert.

Saat itu hampir seluruh keluarga besar Albert berada di rumah. Ia menyempatkan diri bertegur sapa dengan kedua orang tua Albert. Tapi, matanya terus mencari-cari gadis muda yang tadi ditemuinya sedang duduk di depan tungku. Siapakah gadis itu? Mengapa ia memanggil ’kaka’ kepada Albert? Setahunya Albert itu anak bungsu. Sayangnya, saat itu ia tak menemukan sosok gadis muda itu di sana. Dan merupakan suatu usaha yang berlebihan untuk menanyakannya kepada Albert. Tidak saat ini.


                                                                                 cerita selanjutnya >>


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2007


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?