Fiction
Dengarkan Kisahku, Hasian [5]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Betapapun bahagianya pasangan yang menikah, pasti belum lengkap bila rumah tangganya belum dikaruniai bayi mungil yang seolah berfungsi sebagai lem atau perekat antara suami-istri. Itu adalah pandangan yang dipegang oleh hampir semua orang. Terlebih bagi kelompok masyarakat yang menjadikannya sebagai suatu keharusan. Tanpa anak, perkawinan seolah tiada arti.

Di kampungnya, Jojor sudah pernah menyaksikan sendiri bagaimana seorang kerabatnya dipaksa bercerai, setelah beberapa tahun menikah tanpa anak. Bahkan, ada beberapa suami yang terang-terangan ingin menikah lagi, hanya karena semua anak yang dilahirkan istrinya berkelamin perempuan. Ironisnya, masyarakat adat dapat menerimanya. Terlalu tak berhargakah wanita dibanding dengan kehadiran seorang pria? pikirnya kala itu.

Jojor benar-benar makin tertekan dan mengkhawatirkan kemungkinan yang bisa saja menimpanya. Ayahnya juga dulu mendapat desakan kuat dari beberapa keluarganya untuk menikah lagi, karena semua anaknya adalah perempuan. Ibunya benar-benar tak berdaya kala itu. Jojor yang masih kanak-kanak itu pun belum mengerti sama sekali. Hanya, seiring bertambahnya usia, ia makin maklum. Malah, ayahnya yang berkisah tentang desakan itu.

“Bagiku, kalian itu sangat berharga. Kalianlah hartaku. Saya bangga pada kalian. Jangan pernah merasa dirimu tak berharga hanya karena kamu seorang wanita!” petuah ayahnya suatu kali saat mereka semua berkumpul di jabu gorga, rumah ukir milik mereka.

Kata-kata itu sangat membekas di benak Jojor. Saat itu, kakaknya yang tertua akan berangkat untuk kuliah di kota provinsi, meninggalkan kampung halamannya yang warganya belum bisa mengerti kenapa harus bersusah-susah menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi. Bagi mereka, fungsi wanita itu masih hanya sebatas dapur, sumur dan kasur. Maka selayaknyalah ia akrab dengan pupur, bukan bangku kuliah.

Untungnya, ayahnya–yang hanya sempat mengenyam sekolah menengah pertama tapi tidak tamat itu, memiliki pengertian yang melampaui zamannya. Ia selalu berprinsip bahwa wanita juga bisa dibanggakan. Maka, ia rela menjual berbagai hasil sawah dan ladangnya untuk menyekolahkan putri-putrinya. Bahkan, beberapa petak sawah sempat digadaikannya. Untungnya, setelah dua kakaknya bekerja dan mampu menopang perekonomian keluarga, sawah-sawah itu dapat ditebus kembali.

Maka mata orang-orang desa pun terbuka. Suara-suara miring berubah menjadi pujian tanda salut. Pamor ayah pun melangit setelah keenam putrinya berhasil menamatkan kuliahnya masing-masing dan memiliki pekerjaan yang bisa dibanggakan. Mereka menjadi icon kesuksesan yang selalu disebut-sebut, manakala orang-orang desa berbicara mengenai pendidikan.

Tapi… andai pendidikan dan kesuksesan karier bisa membuat seseorang punya anak, alangkah bahagianya, pikir Jojor. Sayangnya, banyak hal yang memang berada di luar kendalinya. Tak satu hal pun dapat dilakukannya untuk mengubahnya, selain berharap ada kekuatan lain bermurah hati melakukan untuknya. Bahkan, andai hanya akan ada satu permintaan yang boleh dinaikkannya sepanjang hidupnya, maka ia akan minta anak. Tak ada yang lain.

Dalam doa-doa yang dilumuri kemilau air mata, permohonan itu dinaikkannya saban waktu, terlebih saat kesunyian merasuk hatinya. Terkadang ia terbangun tengah malam, memandang wajah teduh suaminya yang lelap di sampingnya, lalu memejamkan mata dan menaikkan doa-doa dengan sikap tetap telentang. Hanya bibirnya yang terkadang tampak komat-kamit, lalu kilau kristal itu menderas dari matanya. Dan kau pasti tahu apa yang sedang dipintanya!

Tanpa pemberitahuan, tiba-tiba kedua mertuanya datang siang ini. Sungguh mengejutkan bagi Jojor.

“Kenapa Amang dan Inang nggak kasih kabar sebelumnya? Kan bisa kami jemput ke bandara?” protesnya.

“Ah, kadang-kadang orang tua juga perlu mendapat pengalaman baru!” sahut ayah mertuanya yang dipanggilnya Amang itu, “Semacam petualangan ringan,” lanjutnya.

“Iya… tapi kan setidaknya kami bisa mempersiapkan sesuatu,” nada suara Jojor masih protes.

“Kayak pejabat negara yang berkunjung ke daerah saja, harus ada sambutan-sambutan segala,” kali ibu mertuanya yang menanggapi.

“Tadi ada kesulitan di jalan, Inang? Langsung bisa menuju ke rumah ini kan?”

“Di hutan rimba kita bisa tersesat. Tapi, kalau di hutan beton seperti ini, yang penting kan ada alamat lengkap. Sopir taksinya saja tadi langsung tahu. Lagi pula, kami kan sudah beberapa kali dari sini, masa lupa lagi?” sahut ayah mertuanya.

Protes yang sama juga dilontarkan Togi, ketika ia sudah tiba di rumah sepulang kerja. Menurutnya, kedua orang tuanya nekat. “Syukurlah, tidak ada rintangan apa-apa,” ucapnya, menyerah.

Acara makan malam sedikit kaku. Jojor menangkap sesuatu maksud tersembunyi dengan kedatangan tiba-tiba mertuanya. Togi juga berfirasat sama. Sekalipun mereka sudah berusaha setenang mungkin, tetap saja terasa dibuat-buat. Mereka merasa sesuatu akan terjadi, tetapi tidak tahu apa itu. Hanya bisa pasrah dan menduga-duga.

“Kami datang khusus untuk membicarakan keluarga kalian,” ayah Togi memulai pembicaraan seusai makan malam.

Situlluk mata ni horbo, begitu to the point!

“Maksud Bapak?” tanya Togi.

“Ya… seperti yang sudah kalian bisa pikirkanlah. Kalian kan sudah menikah selama lima tahun…,” suara ayahnya menggantung, terdengar berat. Jojor tetap diam. Danau di hatinya berombak tak beraturan. Togi juga terdiam. Keduanya bagai sepasang terdakwa yang sudah tak bisa mengajukan pembelaan lagi. Pun, apa yang bisa mereka katakan?

“Kami sudah tidak tahan lagi menunggu cucu dari kalian,” gumam ibu mertuanya seolah ditujukan pada dirinya sendiri. Ayahnya mengangguk perlahan. Keduanya memandangi anak dan menantunya itu secara bergantian.

“Sebenarnya Bapak sama Mamak juga harus memahami bahwa kami juga sangat menginginkan anak dalam keluarga kami,” desah Togi sambil menegakkan duduknya.
“Kami sudah melakukan banyak usaha untuk mendapatkan momongan. Hanya, sampai saat ini Tuhan belum memberi. Padahal, kalau dari segi medis, tidak ada yang salah pada kami berdua. Dokter bilang ini hanya masalah waktu.”

“Hanya masalah waktu bagaimana? Sampai kapan? Sampai kami berdua mati tanpa pengharapan bahwa keluarga kita tidak memiliki seorang pun penerus? Sampai kiamat?” ayah Togi mulai tersulut emosi.

“Jadi Bapak sama Mamak mau apa? Ini juga bukan kemauan kami. Pasangan mana, sih, yang tidak menginginkan anak dalam keluarganya?” suara Togi juga meninggi. Jojor menenangkan suaminya dengan menekan pahanya sedikit keras.

“Mungkin kalian tidak marrokkap, tidak berjodoh!” jawab ibunya tenang.

Jojor menatap wajah ibu mertuanya. Mimik wajah itu terlihat datar tanpa ekspresi. Sepertinya baru kemarin wajah cantik itu berseri-seri memujinya sebagai menantu terbaik yang bisa dimiliki seorang mertua. Namun, kali ini ia pula yang hendak merobohkan mahligai yang dibangunnya dengan seluruh cinta dan hidupnya.

“Jadi mau kalian apa?” suara Togi terdengar gemuruh.

“Bang…!” Jojor menyikutkan pinggang suaminya, memintanya tetap tenang dan jangan terpancing emosi.

“Bapak sama Mamak mau kami bercerai?”

Jojor tegang. Tak berani ditatapnya wajah-wajah di sekelilingnya. Ia seperti menanti pembacaan vonis mati di sebuah persidangan, setelah semua pengacara dan pembelanya tak lagi berdaya menghadapi tuntutan lawan.

“Tolong mengerti keadaan kami!” suara ayah mertuanya memberat, ada nada kepasrahan di sana. Walau perkataan itu ditujukan kepada anak dan menantunya itu, matanya lebih sering mengarah kepada Jojor. “Togi itu anak tunggal. Anak satu-satunya. Hanya dialah harapan keluarga untuk meneruskan marga. Sepertinya harapan itu tidak bisa dipenuhi lewat pernikahan kalian. Kami sudah cukup sabar menunggu. Lima tahun! Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu kepastian bahwa akan ada generasi yang menyambung garis hidup kami. Kami sudah tua, dan kami tidak ingin mati lalu lenyap selamanya dari ingatan semua orang.”

Penulis: Hembang Tambun
Pemenang III Lomba Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?