Fiction
Dengarkan Kisahku, Hasian [4]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Dan, Jojor pun memulai kehidupan barunya sebagai wanita rumahan. Istri yang setia menunggui suaminya pulang di sore hari dengan masakan yang lezat sudah terhidang di meja. Wanita dengan bibir selalu berhias senyum selebar Danau Toba dan dengan sigap menyimpankan tas dan dasi suaminya sepulang dari kantor.

“Kau nggak bosan?” Entah sudah yang keberapa kalinya Togi melontarkan pertanyaan itu.

“Apa tak ada pertanyaan lain?” balasnya.

“Beri contoh!”

“Kayak anak kecil saja harus diajari bertanya,” sungutnya.

“Apakah kamu menyesal menikah denganku?”

“Pertanyaan macam apa itu?”

“Apakah kamu menyesal menikah denganku?” Togi mengulanginya.

“Seperti itukah kau mengartikan apa yang telah kulakukan untukmu?” suara Jojor lirih, seperti nyaris tersumbat oleh sesuatu.

“Aku nggak pernah meragukan hatimu, Hasian. Tetapi, terkadang pengakuan yang jujur dapat memompakan semangat yang goyah!”

“Kalau begitu Abang yang sudah bosan denganku. Abang yang sudah menyesal menikah denganku karena kita belum punya anak.”

Togi tersenyum pahit. “Maaf, aku tak bermaksud begitu.” Lengannya memeluk pundak istrinya erat, memberi perasaan nyaman di hatinya.

“Hmm… enak! Sangat enak!” Togi memuji kue buatan istrinya.

“Serius?” tanya Jojor.

Ia baru saja selesai mencoba salah satu resep masakan dari sebuah majalah wanita edisi terbaru. Sejak dulu, dia memang suka bereksperimen dengan segala masakan. Hanya, karena keterbatasan waktunya, maka hobi itu harus mengendap menunggu ada waktu senggang. Namun, sejak ia mundur dari pekerjaannya, ia dengan leluasa meneruskan minat itu. Dan, suami terkasihnya selalu menjadi tukang cicip pertama, yang lalu diikuti dengan semburan pujian.

Beberapa kali Jojor malah merasa tidak puas dengan pujian itu. “Abang pasti hanya ingin membuatku senang,” katanya.

“Abang hanya menjawab melalui rasa yang dikatakan oleh lidah Abang. Kalau memang enak, kenapa harus bilang tidak?”

“Tetapi, masa nggak pernah ada komplain sama sekali?”

“Kalau kita sudah merasa puas, apa yang harus dikeluhkan?” bela Togi. “Atau, gini saja… Coba kamu kasih ke beberapa tetangga. Minta pendapat mereka biar lebih objektif. Siapa tahu kamu beranggapan karena aku suamimu, maka aku hanya pantas melihat hal-hal baik yang ada dalam dirimu,” usul suaminya.

Jojor pun mengiyakan. Dan, ia mulai menerima banjir pujian bertubi-tubi se¬perti air bah atas kue-kue buatannya. Malah beberapa tetangga minta diajari cara membuatnya. Sementara tetangga lain ngotot memesan kue buatannya.

“Mungkin itu cara yang bagus untuk mengisi waktumu di rumah. Kamu nggak perlu merasa harus membunuh waktu dengan bengong seharian. Abang keberatan jika harus punya istri yang akhirnya hanya ngobrol dengan dirinya sendiri sepanjang hari, dukung Togi, saat Jojor menceritakan pesanan kue-kue yang mengalir itu.

Maka, ia pun mulai menekuni hobinya membuat kue-kue dan menyanggupi pesanan beberapa tetangga. Menurutnya, hobi itu tidak akan menyita banyak tenaganya. Dan, ketika beberapa tetangga sudah kecantol pada kue-kue buatannya, iklan gratis dari mulut ke mulut pun beredar. Kontan pesanan naik. Umumnya untuk skala kecil dan sedang. Proyek besar yang pernah disanggupinya hanyalah untuk sunatan cucu Haji Abdullah, itu pun karena pertimbangan khusus, karena mereka hidup bertetangga, sebelah menyebelah.

Dengan segera ia dikenal sebagai tetangga cantik yang pintar bikin kue. Namun, ia hanya berhasil membunuh waktu. Ia sama sekali tidak berhasil membunuh suara-suara yang menanyainya tentang apa yang tidak ingin dia dengar. Sesekali, tetangga yang memesan kue juga mulai menyinggung-nyinggung itu. Kupingnya pun makin sensitif, seolah bahkan dapat mendengar suara-suara yang tidak terucap. Mampu menyerap bisik-bisik yang bernada kasihan terhadapnya.

“Apakah Nak Jojor punya parpadanan –perjanjian dengan seorang pria– sebelum menikah dengan Togi?”

Jojor menatap pria tua di hadapannya lekat-lekat. Semua rambutnya sudah memutih. Lipatan-lipatan wajahnya menunjukkan usianya yang sudah sepuh. Namun, wajah itu bersinar-sinar, seolah memiliki aura positif yang kuat yang membuatnya makin berwibawa. Pria tua itu bernama Ompu Jonggi, salah satu kerabat mereka yang tiba-tiba datang berkunjung ke rumahnya.

“Nggak ada Ompung –Kakek,” Jojor menggeleng. “Emangnya kenapa?”

“Coba kamu ingat-ingat dulu!” Ompu Jonggi mendesak.

Jojor pura-pura berpikir keras. Lalu menggeleng dengan perlahan. Ia tahu, ke mana percakapan ini akan bermuara. Pria tua di hadapannya menduga bahwa ia terkena sapata –karma atau kutukan– akibat perjanjian yang tidak ditepatinya dengan seorang pria. Itu lagu lama. Hampir semua orang di kampungnya masih memercayai mitos-mitos semacam itu. Walau memang harus diakuinya ada beberapa pasangan yang akhirnya mendapat keturunan setelah bertahun-tahun menikah, setelah massigabean –saling membereskan hubungan dengan ikhlas sehingga tidak ada lagi sakit hati yang dipendam–dengan seseorang dari masa lalunya. Tetapi, itu mungkin bagi banyak orang, namun tidak untuknya. Karena, ia memang tidak memiliki hubungan yang khusus dengan seorang pria, selain Togi.

“Saya turut prihatin dengan keadaan keluarga kalian. Saya cuma bisa berdoa agar rumah ini segera dihiasi tangisan bayi yang lahir dari rahimmu sendiri, Cucuku! Saya permisi dulu.” Dan, pria tua itu pun memeluknya haru. Jojor sesak. Perasaannya tak keruan. Ia tak tahu bagaimana bersikap dengan pria tua itu.

“Pasti Inang yang menyuruh Ompung itu,” lapor Jojor pada Togi. Togi yang baru selesai makan tidak segera merespons. “Apa maksudnya coba nanya-nanya apakah aku punya janji dengan pria lain sebelum menikah sama Abang?” ucapnya, ketus.

“Itu kan nggak perlu diambil hati, Hasian. Biasalah… orang-orang tua.”

“Secara nggak langsung dia udah beranggapan bahwa akulah penyebab semua ini. Kesalahan ada samaku sehingga kita belum punya anak sampai saat ini. Begitu kan, Bang?”

“Beberapa hari lalu Ompu Jonggi juga sudah menemui aku dan menanyakan hal yang sama.” Kata-kata Togi mengejutkan Jojor.

“Di mana? Kok, aku nggak diberi tahu?” Jojor protes.

“Ompung itu menelepon Abang dan menyuruhku singgah ke rumahnya sepulang kerja sebentar. Ia juga menanyaiku hal yang sama. Tetapi, karena Abang anggap itu nggak ada artinya sama sekali, maka Abang tak kasih tahu sama kamu,” jelasnya, membuat wanita cantik di hadapannya bernapas sedikit lebih lega.

“Aku jadi takut, Bang!” tiba-tiba suara Jojor bergetar.

“Kenapa?”

“Jangan-jangan kita tidak akan pernah punya anak.”

“Hush!” sergah Togi cepat.

Lalu hening.

“Bang…!”

“Hmm?”

“Apakah Abang masih mencintaiku?”

“Pertanyaan macam apa pula itu? Kau sudah tahu tanpa kujawab.”

“Tetapi, aku ingin mendengarnya lagi dari mulutmu, Bang!”

“Iya!” jawab Togi, singkat.

“Iya apa?”

“Memangnya kamu tadi tanya apa?”

“Apakah Abang masih mencintaiku?” ulang Jojor.

“Iya!”

“Jawabnya jangan cuma ‘iya’, dong! Jawab yang lengkap,” suara Jojor terdengar manja dan sedikit merajuk.

“Iya, Abang masih mencintaimu, Hasian!” Togi menatap Jojor gemas, sambil mempermainkan ujung hidungnya. Lalu keduanya larut dalam kemesraan yang direnda dengan pijar-pijar cinta.

Penulis: Hembang Tambun
Pemenang III Lomba Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?